PendapatGaya Hidup

Berjalan Dalam Bayang-bayang Covid-19 (13)

RUANG ISOLASI COVID-19

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-13 dari tulisan bersambungnya.

Hampir dua minggu setelah kembali dari New York, tanggal 27 Maret 2020, kondisi saya tidak berubah. Demam, panas tinggi, sakit tenggorokan, letih dan mulai sesak nafas. Bahkan setelah kembali dari rumah sakit tanggal 25 Maret, gejala yang muncul tidak berkurang. Angka suhu di thermometer tidak makin mengecil. Tetap stabil di angka 38 dan 39 derajat. Panas tetap tinggi dan kesulitan bernafas mulai menyiksa. Terasa seperti kehidupan akan segera berakhir.

“Coba periksa ke laboratorium dulu. Aku pingin lihat hasil lab terakhir,” kata Retno meminta saya segera periksa. Kondisi memang makin berat. Retno sudah menangkap indikasi sangat jelas kemungkinan saya terinfensi Covid-19.

Beberapa angka dalam hasil cek darah yang hanya bisa dimengerti dokter dan perawat, sudah dibaca Retno. Hasil rontgen juga memberikan gambaran kuat, Covid-19 sudah bersarang di tubuh saya.

Saya sepakat dengan Retno. Harus diperiksa lagi ke laboratorium terdekat. Danny tidak kemana-mana hari itu. Dia siap selalu jika kondisi darurat terjadi. “Ayo Om, kita jalan,” kata Danny sambil mengeluarkan mobilnya dari garasi. Saya tidak sempat lagi menghubungi tenaga kesehatan yang biasa berkomunikasi dengan saya.

Kami mengambil inisiatif sendiri saja untuk melakukan pemeriksaan laboratorium. Waktu itu memang rapid test dan PCR belum tersedia luas. Kondisi darurat memaksa waktu itu. Mobil bergerak keluar dari perumahan. Belok kanan menuju jalan utama Semarang – Solo.

“Di mana?” tanya petugas kesehatan yang bertugas mengawasi saya. Mungkin dianggap keluyuran sehingga membahayakan orang lain. Pilihannya serba sulit. Tetap di rumah, saya mulai kesulitan bernafas. Meski hasil diagnosa rumah sakit menyatakan saya baik-baik saja. Sebenarnya tidak. Sebaliknya. Saya sangat tidak sedang baik-baik saja hari itu. Pilihannya hanya satu: keluar periksa darah di lab dengan menjaga protokol kesehatan.

Mobil berhenti di parkiran laboratorium swasta di Kaki Merbabu. Saya membetulkan masker ketika akan keluar dari mobil. Lapor satpam, daftar, langsung ambil darah. Saya berusaha berbicara sehemat mungkin dengan dengan petugas pengambil darah.

Kurang dari dua menit, proses ambil darah selesai. Saya menunggu hasil di mobil bersama Danny. 30 menit, hasil lab selesai. Saya foto dan kirimkan ke Retno. “Wah harus segera ke rumah sakit sekarang,” perintah Retno setelah membaca hasil cek darah saya. Entah apa yang dilihat.

Hanya orang-orang kesehatan yang tahu. Retno tidak menyebutkan tingkat kegawatan kondisi saya. Dia yang biasa bicara lembut, hari itu agak bernada perintah. “Ambil baju, langsung ke rumah sakit sekarang,” tegas Retno.

Mobil segera kembali ke rumah. Baju-baju saya siapkan. Buku renungan kecil saya sisipkan dalam tas punggung saya. Kitab suci sudah ada di dalam telpon genggam, jadi tidak perlu dibawa. Setelah berdoa bersama Danny, Olin dan Mey, kami berangkat.

Screen Shot 2021 03 17 at 20.05.55
Jalan menuju rumah sakit tempat penulis diisolasi Covid-19.(Foto: Dok. Penulis)

Tidak ada pilihan lain kecuali menuju rumah sakit. Berserah dan berharap pada proses medis. Saya masih berharap ini bukan Covid-19. Hanya perlu beristirahat di rumah sakit.

“Opname saja di rumah sakit saja kan?” tanya saya pada Retno sebelum meninggal pintu rumah. Saya masih berusaha merasa, ini bukan Covid-19. Pukul dua siang, mobil berhenti di depan Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit yang sama seperti dua hari lalu, tanggal 25 Maret.

Kami disambut Satpam. Saya menjelaskan alasan ke rumah sakit. Tidak lupa mengingatkan Satpam, saya pasien dua hari lalu yang baru kembali dari luar negeri. Berbeda dari malam dua hari lalu, Saptam ini tidak lagi kaget. Tidak mundur beberapa langkah seperti sebelumnya.

Saya diminta menunggu di mobil. Kurang dari lima menit, Satpam datang kembali dan meminta saya masuk ruang UGD. Kali ini saya tidak diterima di ruangan khusus pemeriksaan terduga infeksi Covid-19. Tenaga medis yang bertugas hari itu masih mengingat saya. “Oh Mas yang baru kembali dari New York yah? Balik lagi toh Mas?” katanya sambil mempersilakan saya masuk ruang periksa UGD.

“Saya mau opname saja di rumah sakit. Beberapa hari ini sulit sekali tidur. Mungkin perlu istirahat,” kata saya kepada tenaga medis tadi. Saya masih berusaha menolak kemungkinan virus Covid-19 sudah bersarang di badan.

Baca Juga:

Saya dianggap sebagai pasien umum biasa kerena sebelumnya sudah diperiksa dan baik-baik saja, menurut rumah sakit. Tanggal 25 Maret ketika datang ke rumah sakit, petugas medis yang memeriksa saya menggunakan alat pelindung diri lengkap. Kali ini, alat pelindung diri tidak kelihatan. Tenaga medis hanya menggunakan pakaian biasa dan masker yang menutup hidup-mulut.

Ketika berhadapan dengan saya, tidak ada kesan petugas medis menjaga diri dari virus
Covid-19. Saya masuk ke ruang UGD. Cukup besar, 10 x 10 meter. Beberapa tempat tidur tersedia dengan pemisah tirai kain. Alat-alat gawat darurat berderet di samping tempat-tempat tidur. Penutup tempat tidur warna hijau muda dan tirai kain dengan warna yang senada.

Petugas medis dengan sangat ramah mengarahkan saya menuju ruang periksa. Saya berjalan sendiri. Berusaha terlihat sehat di ruang UGD waktu itu. Petugas medis berjalan di samping saya menuju ruang itu.

Saya tetap menjaga masker tidak turun dari hidung dan mulut. Tertutup rapat. Petugas medis meminta saya berbaring di tempat tidur. Saat itu, saya terbatuk-batuk kecil tetapi tertahan.

Sejak Covid-19 mulai muncul, semua yang batuk pasti berusaha menahan. Jika tidak, semua mata pasti tertuju pada yang batuk. Ketika antri di pesawat atau menunggu di bandara-bandara dalam perjalanan pulang pergi Jakarta – New York, saya melakukan hal yang sama. Jika ada orang yang batuk, saya mundur beberapa langkah atau menghindar. Bahasa tubuh saya waktu itu pasti tidak mengenakan bagi yang batuk. Mungkin batuk biasa, tetapi hidup manusia waktu itu terlanjur terpenjara dalam kecurigaan.

Screen Shot 2021 03 17 at 20.06.05
Bagian depan rumah sakit yang didirikan Belanda tahun 1930-an.(Foto: Dok. Penulis)

Saya berusaha menahan batuk ketika tenaga kesehatan mengambil darah. Kabel-kabel kemudian dipasang di tubuh saya. Alat pengecekan dipasang untuk melihat persentasi oksigen dalam darah (saturasi). Saya tidak lihat berapa saturasi waktu itu. Sama sekali belum ada pengetahuan awal tentang saturasi sebelum Maret 2020.

Setelah pemeriksaan, saya tetap berbaring di tempat tidur selama satu jam. Mungkin masih menunggu hasil analisa darah dan angka-angka dari kabel-kabel tadi. “Mas nanti rontgen lagi yah,” kata petugas medis ketika muncul di depan saya.

Saya berjalan ke luar ruang UGD. Danny sudah menunggu di depan ruang itu, ketika saya keluar. “Hasilnya baik saja kan Om?” tanya Danny. “Hasur foto rontgen lagi Odang,” jawab saya. Kami berjalan menuju ruang rontgen. Ruang yang sama seperti tanggal 25 Maret. “Kalau siang begini ruangan rontgen ini tidak tampak horror yah Odang,” tanya saya pada Danny. Memang di siang hari, ruangan rumah sakit sejak jaman kolonial ini terlihat lebih terang.

Petugas rontgen sudah menunggu di depan ruang itu. Saya dipersilahkan masuk. “Nanti tahan nafas beberapa detik waktu difoto yah Mas,” kata petugas medis dengan ramah. Kurang dari satu menit, proses foto selesai. Saya dan Danny menunggu sangat lama. “Gimana hasil pemeriksaan,” tanya Retno waktu saya telpon mengabarkan keadaan di rumah sakit. “Sudah dua jam hasil belum keluar,” jelas saya.

Berjam-jam, hasil rontgen belum selesai. Saya mendengar petugas rontgen menerima telpon entah dari mana. “Masyaallah,” itu kata yang saya dengar dari petugas rontgen. Entah apa yang dibicarakan. Perasaan saya jadi tidak enak dan mulai was-was mendengar kata pendek penanda keterkejutan itu. Gawat, kata saya dalam hati.

Pukul lima sore, dari jauh saya melihat petugas rumah sakit seperti “astronaut” menggunakan APD lengkap, mendorong kursi roda. Dia menuju saya. Jantung berdegub kencang. “Mengapa tiba-tiba pakai APD lengkap? Tadi kan sudah dianggap pasien biasa?” tanya saya dalam hati.

Danny juga tidak kalah terkejut melihat petugas dengan APD lengkap datang menjemput saya. “Om tenang saja. Aman saja, Jangan takut Om,” kata Danny sambil melepaskan saya.

“Mas kami jemput menuju ruang isolasi yah,” kata petugas pendek. Saya naik ke kursi roda dan didorong menuju mobil ambulans. Perasaan tidak karuan. Ada apa sebenarnya? Apa saya sudah terinfeksi Covid. Mobil ambulans membawa saya entah kemana. Saya tidak bisa melihat ke luar dari jendela ambulans. Tertutup rapat. Kurang lebih lima menit, pintu ambulans dibuka. Saya dituntun berjalan menuju ruang isolasi Covid-19.

Tujuan ke rumah sakit berubah total. Arah pemeriksaan pindah dari ruang opname ke ruang isolasi Covid-19. Infus melekat pada lengan kiri saya. Saturasi menyentuh angka 80 kata petugas kesehatan saat itu. Alat bantu nafas, sungkup, dipasang di hidung saya. Semua berubah begitu cepat. Bernafaspun saya tidak bisa sendiri. Bernafas yang terjadi secara otomatis berubah total. Pakai alat bantu atau hidup berakhir. Tidak ada yang dapat dilakukan kecuali berserah kepada Tuhan sang pemilik kehidupan.

(bersambung besok)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button