Oleh: Eko Saputra Poceratu*, penyair asal Maluku yang dikenal dengan sebutan Penyair Api
Suatu hari aku berjalan mengelilingi kota untuk mencari penerbit. Naskah buku kubawa, pacarku juga. Dari pusat kota, ke gang-gang, tidak kutemukan penerbit, kecuali tempat fotokopi. Ya, aku masuk ke dalam dan hendak mencetak buku.
Pemilik tempat fotokopi itu bilang, di sini bukan tempat mencetak novel dan aku harus mencari penerbit resmi agar bisa punya ISBN (ISBN lebih akrab disebut juga dengan angka standar buku internasional. Nomor ini diberikan untuk buku yang akan diterbitkan oleh penerbit, Red).
Aku tidak ambil pusing soal ISBN waktu itu, jadi kuminta novelku tetap diterbitkan. Pacarku masih di samping, menatapku dengan ragu. Namun tetap kupastikan, novel harus terbit. Maka, setelah diskusi setengah jam, kuputuskan untuk cetak spiral, mirip skripsi, 30 eksemplar, sesuai tabunganku.
Aku masih ingat kala itu, satu buah novel yang dicetak spiral biayanya 30 ribu rupiah. Jadi bisa kau kalikan sendiri, jika ingin tahu jumlah tabunganku waktu itu. Pacarku masih agak ragu dan memintaku berpikir kembali. Sempat kami bertengkar dan air matanya jatuh. Aku bilang padanya, “Kalau kau jadi kekasihku, kau adalah kekasih penyair. Kau tidak perlu takut apapun, sebab jalanku adalah jalan berani.”
Sehari kemudian, berkat bantuan Kaka Rudi Fofid dan Workshop Coffee Ambon, novel pertamaku diluncurkan. Aku datang membawa membawa kebanggan tanpa rasa malu, juga kubawa pacarku.
Di hadapanku hadir banyak kawan-kawan, saudara-saudara komunitas, beserta Bengkel Sastra Maluku. Dengan tangan gemetar, aku berdiri dan menunjukkan kepada semua orang, novelku itu. Bersampul kertas jilid berwarna biru, berjudul Pelangi Biru, rasanya aku berdiri diatas lautan perak, dinaungi langit biru. Aku ingin menangis tanpa air mata. Wajahku sudah mengatakan semuanya pada angin yang kuusir sebelum sempat mengeringkan tangisan.
Aku baca beberapa lembar buku. Aku bacakan dengan gugup, pacarku juga. Tidak ada banyak harapan malam itu, selain ingin menunjukkan pada diriku sendiri, bahwa aku bisa menerbitkan buku dan ISBN bukan halangan saat itu, setidaknya aku harus memulai, membunuh rasa takut dan menyebarkan keberanian untuk teman-temanku juga.
Hari ini aku melihat kembali hari itu. Memandangi diriku dari mataku. Melihat api kecil itu, masih ada sampai saat ini, kecuali pacarku yang dulu. Aku sadari bahwa untuk bisa melihat lembah, aku mesti mencapai ketinggian. Bukan untuk menyentuh langit namun untuk menemukan kesadaran diri.
Seperti biasa, aku terus menulis. Aku bawa prosesku. Aku bawa luka dan air mataku, juga pacar baru. Aku menulis perjuangan, dalam buku-buku, juga kenangan-kenangan api itu. Tidak apa-apa bila kau tidak punya penerbit, setidaknya kau punya matahari yang selalu terbit. Aku adalah Maluku, jika tidak punya nyali, aku bikin malu diriku sendiri!
Selamat Hari Pendidikan Nasional, semoga bapak-ibu yang punya kuasa atas dana-dana pendidikan tidak beli mobil dan simpan dana BOS sambil TOS di hotel terus ya.
Ambon, 2 Mei 2021
*Eko merupakan salah satu Penulis Residensi Indonesia di Belanda 2019 oleh Komite Buku Nasional dan di tahun yang sama, masuk dalam 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa. Pada April 2020, menerbitkan novel kedua, Sebiru Api Rindu dan menerbitkan buku puisi Dosa Penyair pada bulan september 2020.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi