Tulisan “Jika Saya Wali Kota Makassar” Bisa Mewujud Nyata
Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
Buku kumpulan tulisan “Jika Saya Menjadi Wali Kota Makassar” yang diinisiasi dan disunting oleh Rahman Rumaday (2024), membawa kenangan saya pada artikel yang saya tulis, 11 tahun lalu.
Bila tulisan yang menghimpun 31 penulis dari berbagai latar belakang itu dibuat oleh founder K-Apel (Komunitas Anak Pelangi) guna menyambut perhelatan politik pilkada serentak 2024, maka tulisan saya dibuat untuk merespons Pemilihan Wali Kota Makassar 2014.
Judul tulisan saya, “Jika Saya Wali Kota Makassar” terbit di halaman Opini Harian Fajar, 9 Mei 2013. Artikel ini saya sertakan dalam buku “MasaDPan Makassar, Dinamika Demokrasi dan Pemerintahan”, yang saya sunting.
Dalam buku terbitan November 2014 itu, ada 3 tulisan saya yang kesemuanya mengusung tema perlindungan anak. Selain “Jika Saya Wali Kota Makassar”, ada pula artikel berjudul “Isu Anak dalam Dinamika Pilwalkot Makassar” (Harian Rakyat Sulsel, 24 Juli 2013), dan “Wali Kota Makassar dan Anak Jalanan” (Harian Fajar, 23 Juli 2014).
Pada artikel “Jika Saya Wali Kota Makassar”, saya fokus mengulas impian saya menjadikan Makassar sebagai Kota Layak Anak (KLA).
Saya bahas sejarah KLA yang bermula dari studi Kevin Lynch di empat kota, mencakup Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City, pada kurun 1971-1975. Hasil penelitian dari arsitek asal Massachusetts Institute of Technology itu terkait “Childrens Perception of the Environment”.
Penelitian ini didanai UNESCO dalam rangka program Growing Up In Cities (GUIC). Salah satu tujuannya, yakni mendokumentasikan persepsi dan prioritas anak sebagai basis peran serta mereka bagi perbaikan kota.
Penelitian sejenis dilakukan Dr Louise Chawla, pada tahun 1994-1995, tapi dengan jumlah kota yang lebih banyak. Hasil penelitian ini menjadi indikator bagi UNICEF dalam mengawasi pemenuhan hak-hak anak di kota sebagai bagian dari Child Friendly City. Melalui Konferensi Habitat II atau City Summit di Istanbul, Turki, tahun 1996, UNICEF dan UNHABITAT memperkenalkan Child Friendly City Initiative.
Ketika berlangsung UN Special Session on Childrens, bulan Mei 2002, para wali kota dari berbagai belahan dunia menyatakan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak-hak anak.
Anak-anak dalam Sidang Majelis Umum PBB khusus itu, juga merekomendasikan agar para wali kota menghadirkan kota yang ramah dan melindungi hak-hak mereka.
Dalam forum ini lahir deklarasi “Dunia yang Layak untuk Anak” (The World Fit for Children). Bahwa dunia yang layak untuk anak, pasti layak untuk semua.
Tulisan saya itu di samping merujuk pada referensi sejarah gerakan perlindungan anak, juga berdasarkan pengalaman mengembangkan program penanganan pekerja anak berbasis komunitas di Kelurahan Pannampu, Kota Makassar.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi