Oleh: Ardiman Kelihu (Mahasiswa S2 Fisipol UGM dan Fasilitator pada gerakan Interfaith di Maluku)
Telah lama Kartini dinobatkan sebagai simbol perlawanan perempuan Indonesia terhadap patriarki. Setidaknya ada dua perlawanan yang di-notice ketika tokoh Kartini dibicarakan. Pertama, perlawanan terhadap dominasi struktur masyarakat kita yang sangat patriarkis, kedua, simbol emansipasi perempuan di dunia pendidikan. Kartini kemudian merengsek ke dua arena besar ini : pendidikan dan masyarakat.
Menubuhkan Kartini dalam sejarah perempuan Indonesia, seolah membuka tiap lembar surat-surat Kartini yang menjadi dasar perlawanan. Semangat Kartini kemudian menubuh dalam setiap perayaan, euforia, gaya berdandan, bentuk sanggul, media massa, hingga nama organisasi sayap sejumlah aliansi dan partai politik.
Terlepas dari semua ini, satu pertanyaan mendesak yang mesti diajukan kembali di tengah hari Kartini ini adalah : mengapa kehadiran Kartini seolah mereduksi model perlawanan dan simbol emansipasi perempuan Indonesia yang justru sangat bervariasi ?
Dua penjelas penting yang bisa dijadikan jawaban adalah, pertama karena Kartini berani melawan struktur bangsawan yang sangat feodal dan patriarkis. Kartini menentang struktur dominan dimana ia tumbuh dan sangat dihormati dalam masyarakat Jawa. Ia adalah seorang Raden yang melawan struktur kebangsawanan masyarakatnnya yang sangat laki-laki.
Yang kedua, jejak-jejak perlawanan Kartini masih ditemukan dalam bentuk catatan-catatan dan arsip sehingga mudah dijadikan rujukan atau tentang perlawanan perempuan. Ini berbeda misalnya dengan Christina Martha Tiahahu di Maluku yang lebih banyak diarsipkan melalui tutur. Christina tidak diarsipkan lewat catatan-catatan peninggalan. Dua jawaban yang sejauh ini telah memberi maklum mengapa kita menokohkan Kartini sebagai simbol perempuan Indonesia.
Kartini kemudian dirujuk sebagai perempuan Indonesia yang membawa satu periode terang ke dalam sejarah perempuan yang sebelumnya gelap. Kartini menjadi batas antara masa lalu perempuan Indonesia yang gelap dan setelah itu terbitlah terang. Tapi apakah model dan situasi perlawanan Kartini masih relevan untuk diterapkan ke segala konteks di Indonesia? Tulisan ini juga akan berusaha memotret soal-soal itu dengan menyodorkan diskusi cepat sebagai sebuah pertimbangan balik terhadap sombolitas perempuan yang terlanjur kita labelkan pada Kartini.
Kartini-sentris
Proses Jawasentris sebagian besar mengajar dengan sangat kuat dalam tiap organisasi dan tradisi ke-Indonesiaan kita. Puncaknya pada orde baru Soeharto. Model organisasi hingga desa-desa diseragamkan mengikuti tipe organisasi dan desa di Jawa. Imajinasi hingga bacaan di buku-buku sekolah semuanya penuh dengan ornamen yang konteksnya Jawa. Mulai dari gambar pemandangan sawah yang luas, makanan pokok semisal beras, cara berpakaian, model berpakaian, hingga nama tokoh di buku-buku sekolah seperti Budi, Ani, Andi, yang bias semangat Jawasentris.
Segala pembiasan itu kemudian melebar ke cara negara mendefinisikan perempuan dan memunculkan konsepsi Ibuisme Negara dengan segala macam turunannya seperti : Dharma Wanita, PKK, dan panggilan-panggilan seperti : Ibu Ahmad, Ibu Joko, yang merujuk pada status sosial atau nama seorang suami. Sebuah pengkondisian atas perempuan yang sangat terstruktur dan berlanjut hingga ke level desa dan panggilan sehari-hari. (lihat Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara, 2011).
Dari narasi-narasi di atas, orde baru beranggapan bahwa perempuan akan berharga karena posisi penting sang suami, bukan karena prestasi dan perannya sendiri (Soyomukti, 2017). Secara jelas, negara orde baru ingin menekan peran kaum perempuan dengan meletakannya sebagai pelengkap struktur sosial dan status laki-laki di masyarakat meskipun mereka sudah diorganisir secara khusus
Nama Kartini yang tenar, juga mengalami depolitisasi yang sama meskipun hingga hari ini masih terus dijadikan role model perempuan Indonesia. Embel-embel Kartini dilekatkan sebagai nama dari organisasi sayap partai yang membidangi masalah perempuan, meskipun seringkali punya peran yang sangat terbatas karena sekadar menjadi pelengkap struktur partai politik kita yang sangat laki-laki. Atau rujukan terhadap Kartini terus dihidupkan saat para perempuan coba mengorganisir diri kedalam kelompok-kelompok dharma wanita, PKK, menjadi pagar hidup/pagar betis saat penjemputan pejabat negara, berkelompok dalam majelis ta’lim dan grup-grup arisan dengan berpatokan pada status sosial para suaminya di masyarakat. Atau misalnya dengan sangat banal ketika kriteria Kartini dilekatkan pada perempuan yang sekadar mengisi struktur sosial kelas dua dengan beranggapan bahwa perempuan lebih tepat memegang jabatan bendahara atau sekertaris saja, dan bukan Ketua.
Pada hari ini, pembiasaan-pembiasan serupa masih diperluas dengan mereproduksi kaum perempuan dengan merujuk pada Kartini sebagai satu-satu role model perempuan Indonesia. Padahal Kartini bukanlah figur tunggal dalam sejarah perempuan Indonesia yang berdiri diluar situasi sosial politik yang membentuknya.
Kalau saja diperiksa, status kebangsawanan Kartini yang istimewalah yang sangat berkontribusi penting bagi perlawanannya. Status kebangsawanan yang memungkinkan dia sehingga punya perangkat atau sumberdaya untuk melawan. Berbeda misalnya dengan perempuan lain yang tidak hidup dalam struktur masyarakat bangsawan atau berjuang dalam konteks yang jauh lebih sulit dari Kartini. Dengan kata lain, ada struktur sosial istimewa yang memberi dispensasi bagi Kartini untuk melawan. Artinya status kebangsawaan Kartini yang turut berkontribusi mengantarkan dia menduduki piramida puncak diantara tokoh perempuan Indonesia. Upaya menjadikan Kartini sebagai episentrum ketokohan perempuan inilah yang patut kita periksa atau kota uji relevansinya kembali.
Semangat Kartisentris ini telah memfiksasi sejumlah varian dan model perlawanan kaum perempuan Indonesia yang sangat kompleks. Konteks perempuan Indonesia yang sangat bervariasi tidak bisa diwakili hanya oleh figur Kartini. Tidak semua model perlawanan perempuan semisal, Cut Meutia di Aceh atau Christina Martha Tiahahu di Maluku direpresentasi oleh Kartini. Apalagi masing-masing dari mereka memiliki model perlawanan yang berbeda-beda. Misalnya, perlawanan Christina Martha Tiahahu melalui perang fisik, berbeda dengan perlawanan berbasis surat-menyurat.
Cara kita yang mereduksi situasi dan jenis perlawanan kaum perempuan sangat esensialis. Kita terlanjur mereferensikan segala terminolgi tentang perempuan kepada Kartini. Paradigma yang pada akhirnya menjadikan kita mengabaikan sejumlah dinamika dan jenis kerentanan yang dihadapi perempuan secara berbeda-beda. Kita gagal melihat berbagai prakondisi yang dialami perempuan karena terlanjur mereduksi dinamikan dan kerentanan perempuan hanya melalui kisah seorang Kartini. Ibarat menarik garis dari Kartini ke sembarang peristiwa yang dialami oleh macam-macam perempuan. Terlampau matematis, dan hitam putih.
Hari ini situasi rentan kaum perempuan Indonesia tidak lagi seesensialis masa-masa Kartini. Perempuan Indonesia menghadapi situasi rentan yang tidak saja patriarkis, dan dapat dilawan dengan tampil ke ruang publik atau sekadar surat menyurat. Kerentanan kaum perempuan juga melibatkan dimensi ekonomi, politik dan psikologis yang tidak kecil. Mereka pada satu sisi bisa tampil ke publik dan bekerja dengan alasan pengembangan kreatifitas dan karier, namun pada sisi lain terus menerus dihadapkan pada kerentanan-kerentanan tanpa akhir.
Mereka menjadi cemas karena upah yang kecil, kerja magang, kerja part time atau freelance yang tidak pasti, khawatir jika sewaktu-waktu di-PHK, terbebani karena tidak adanya cuti hamil dan menikah, atau dihadapkan pada ketiadaan pekerjaan reguler bertahun-tahun. Mereka bekerja dan survive dari satu kontrak kerja ke kontrak kerja lain dengan perasaan cemas terus menerus meskipun kreatifitas dan ketokohan mereka telah dikenal di ruang publik. Bekerja dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain agar bisa bertahan hidup. Bulan ini bekerja sebagai HRD di perusahaan, dua bulan kemudian bisa jadi berkarier cleaning service atau asisten rumah tangga.
Perempuan hari ini tidak melawan struktur patriarki dan ingin bersekolah saja, melainkan struktur berhadap-hadapan dengan struktur penindasan berlabel karier dan pendidikan. Ketimpangan dan penindasan terhadap perempuan menyelinap diam-diam dalam relasi kerja dan orientasi kepublikannya.
Mereka sudah berkarir dan tampil di ruang publik seperti apa yang diinginkan Kartini pada masa lalu, tapi pada satu sisi menjadi rentan karena struktur ekonomi-politik yang mempekerjakan semua orang termasuk perempuan persis seperti mesin-mesin modern di abad digital. Para perempuan kemudian mengalami kecemasan berlebihan (over-anxiety/ mentall illnes), atau hidup dalam ketidak-bahagiaan di tengah karier dan pekerjaannya.
Tidak Harus
Kartini bukanlah model tunggal dari perempuan Indonesia yang jamak.Ia hanya salah satu model perlawanan perempuan, namun bukan satu-satunya model perlawanan kaum perempuan di Indonesia. Orang-orang di sudut-sudut desa, di pulau-pulau terdepan, di kantor-kantor, di jalan-jalan, di hunian-hunian kontrak, di perusahaan tak harus menjadikan dirinya persis atau sama dengan Kartini. Mereka dapat menjadi perempuan menurut versinya sendiri sepanjang itu membebaskannya dari segala jenis peminggiran da ketidak adilan : baik karena struktur kebudayaan, sosial, ekonomi maupun politik, tanpa perlu mencontohi Kartini. Dengan begitu, para perempuan dapat menjadi berdaya, berkuasa, bahagia dan otonom atas pilihan-pilihannya.
Jika kita bersikeras untum menaruh parameter bagi perempuan, tindakan ini justru makin mereduksi kebebasan dan kedaulatan kaum perempuan. Kita tak perlu menjustifikasi perempuan bahwa : perempuan itu “harus begini” atau “begitu”, harus persis “Kartini” atau “Christina”. Harus “cantik” atau “pintar”, “bekerja atau berkarier” Tindakan yang demikian justru menbuat kita cenderung mengobjektifikasi perempuan mengikuti selera dan indikator-indikator yang kita buat secara perempan untuk men-define perempuan. Padahal menjadi perempuan adalah proses yang tidak pernah selesai. Peremluan adalah sebuah identitas yang diperoleh melalui negosiasi yang terus menerus secara equal antara laki-laki dengan laki-laki, laki-laki dengan perempuan, perempuan dengan perempuan, ataupun antara sebuah struktur sosial dengan pilihan-pilihan bebas seorang perempuan atau laki-laki. Ia tidak pernah fiks dan terjelaskan secara tuntas melalui indikator-indikator sepihak yang “harus begini” atau “mesti begitu”.
Tidak harus menjadi Kartini pun demikian. Tidak mesti mendudukan semua perempuan dalam indikator-indikator ala Kartini. Baik jejak ataupun model perlawanannya Bahkan menjadi Kartini yang sangat emansipatorian dan benderang bisa jadi dengan tidak merujuk pada praktik dan konteks Kartini secara utuh.
Masing-masing perempuan dan situasi perlawanan yang ia hadapi di Indonesia, tantangan dan solusinya justru berbeda-beda. Sehingga seorang perempuan dapat merujuk pada konteks dan lokalitas perlawanan dimana dia tumbuh. Contohnya : para perempuan Maluku dalat menjadikan Christina Martha Tiahahu sebagai simbol perlawanan tanpa harus mengikuti Kartini seutuhnya. Atau seorang perempuan Aceh dapat mengadopsi sekali-duagus semangat Kartini dan Cut Nyak Dien secara bersamaan. Lokalitas-lokalitas inilah yang justru menjadi sangat realistis dalam menginspirasi model perlawanan perempuan di ranahnya masing-masing. Dengan begitu, kita tak perlu memaksakan konteks Kartini ke dalam masyarakat Maluku atau Aceh untuk mendefinisikan perlawanan perempuan sebagai satu-satunya referensi perlawanan. Sebaliknya, kita juga tak perlu menginjeksi konteks Aceh atau Maluku ke dalam masyarakat Jawa saja. Masing-masing ranah tersebut memilih konteks berbeda-beda. Yang Paling mungkin dilakukan adalah saling meminjam nilai-nilai emansipasi tentang perempuan.
Konteks dan ruang hidup perempuan yang sangat kompleks tak bisa direduksi dalam satu model. Perempuan ala Kartini pun demikian, mengalami ramifikasi yang sangat bervariasi dan multi perspektif. Konteks keperempuanan tidak mesti merujuk pada Kartini sebagai satu-satunya simbol perempuan Indonesia. Sehingga, upaya menemukan kembali (reinventing) perempuan Indonesia dapat dilakukan terus menerus sebagai proses sejarah yang tidak pernah selesai. Identitas perempuan dan perlawananannya terus dinegosiasikan pada segala situasi, pada sembarang waktu dan pada berbagai jejak perlawanan perempuan manapun di Indonesia. Tanpa harus merujuk pada Kartini saja.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi