
Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-18 dari tulisan bersambungnya.
Pukul 11 malam, tanggal 30 Maret 2020, ambulans berhenti di depan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi di Semarang. Rumah sakit terbesar di Jawa Tengah. Satu dari beberapa rumah sakit terbaik di Indonesia.
Baru kali ini saya mampir di rumah sakit pemerintah pusat itu. Bahkan menginjak parkirannya saja, ini pertama kali. Saya sering berpergian ke Ibu Kota Jawa Tengah ini. Di tempat berdirinya Syarikat Ambon tahun 1909 itu, saya sempat tinggal selama setahun.
Meskipun sering lalu lalang, saya tidak pernah berurusan dengan RSUP Kariadi. Sejak kuliah di Kaki Gunung Merbabu tahun 1994, saya sering ke Semarang. Sekedar jalan-jalan di Simpang Lima atau diskusi di Universitas Diponegoro (Undip).
Kaki Merbabu dan Semarang hanya satu jam menggunakan bus umum atau 30 – 45 menit dengan kendaraan sendiri. Kaki Merbabu itu memang kecil. Tidak ada hiburan di kota pendidikan itu. Dulu saya sempat bertanya, mengapa kampus tempat saya belajar tidak dibangun di kota besar seperti Semarang. Mengapa kota kecil yang tidak memiliki pusat hiburan untuk menyeimbangkan otak kiri-kanan.
Tidak ada jawaban pasti waktu itu. Namun, ketika belajar di Amerika, saya dapat jawabannya. Meski banyak kampus bagus terbaik berada di kota besar, sebagian banyak kampus ada di kota kecil. Big Red di Ithaca, Cal Bears di Berkeley, Crimson di Cambridge, Badger di Madison, Clemson di Princeton, Bulldogs di New Haven dan lain-lain. Saya jadi bersyukur belajar di Kaki Merbabu yang kecil. Belajar di kota kecil membuat lebih berkonsentrasi. Akhir pekan digunakan untuk jalan-jalan.
“Kita sudah sampai Mas di Kariadi. Monggo,” kata petugas medis sambil membuka pintu mobil ambulans. “Terimaksih banyak Pak,” jawab saya. Ketika pintu dibuka, saya turun sendiri lewat bagian belakang mobil. Saya mencari tempat duduk. Mata sudah sangat berat waktu itu. Entah karena mengantuk, pukul 11malam, atau kekurangan oksigen di otak. Kaki terasa berat. Seperti menarik besi beton rasanya.
Nasal, selang pernafasan, untuk sementara tidak digunakan. Nasal yang saya gunakan di ambulans terhubung dengan tabung oksigen putih di dalam mobil itu. Tidak bisa saya pakai waktu turun. Saya melihat tempat duduk di depan ruang Unit Gawat Darurat Covid-19. Dengan nafas tersengal-sengal dan sesak saya berusaha menuju tempat duduk. “Asal bisa duduk dan bersandar pada kursi sebentar,” pikir saya.
Setelah duduk, saya masih melihat petugas medis Kaki Merbabu melapor ke UGD Kariadi. Setelah itu, mereka tidak lagi kelihatan. Saya bahkan tidak sempat mengucapkan terimakasih. Mereka pasti segera pulang karena malam telah larut. Apalagi ini pengalaman pertama mereka mengantar pasien Covid-19 dari rumah sakit Kaki Merbabu ke rumah sakit lain.
Mungkin mereka juga stres dan berpikir keras ketika bertemu dengan keluarga di rumah. Baru kali mereka langsung menangani pasien yang terinfeksi penyakit dengan virus mematikan itu.
Saya duduk sendiri di depan UGD. Billy dan Ega terpaksa berhenti sebentar di jalan untuk hal yang mendesak. Mereka ketinggalan sekitar 10 menit di belakang ambulans. Retno dan Bapak mertua terlambat sekitar 20 menit. Bapak malah salah memilih jalan masuk ruang UGD. Saat itu, UGD untuk Covid-19 di rumah sakit ini terpisah dari UGD umum. Mereka harus memutar untuk sampai di UGD Covid-19.
Sekitar dua menit saja saya duduk di sana. Berusaha untuk tetap menarik nafas panjang. Meski berat, saya terus memaksa bernafas dengan tarik nafas dalam-dalam. Dari jauh saya melihat petugas rumah sakit mendorong tempat tidur.

Petugas menggunakan alat pelidung diri (APD) berwarna putih dan helm pelindung wajah berwarna kuning. Petugas berhenti di depan saya. “Monggo,” kata petugas medis itu. Tanpa pikir panjang, saya langsung naik ke tempat tidur. “Semoga segerabertemu nasal atau sungkup lagi,”kata saya dalam hati.
“Nanti kalau sudah selesai urusan Retno akan menengok saya. Meski hanya sebentar,” dalam hati saya berharap begitu. Tempat tidur di dorong menuju gedung dengan cat berwarna merah dan putih. Pasti bukan warna bendera negara. Sampai saat ini, saya tidak bertanya tentang arti warna itu.
Gedung lain menggunakan cat biru dan putih. Mungkin merah berarti bahaya, seperti red alert. Wilayah gedung ini memang berbahaya karena pasien Covid-19 dirawat di sini. Penyakit yang telah mematikan ratusan orang di Indonesia waktu itu dan ratusan ribu di seluruh dunia, waktu itu.
Tempat tidur saya didorong memasuki lift. Naik ke atas entah berapa lantai. Saya tidak sempat membaca nama ruang itu. Hanya melihat orang-orang berAPD lengkap lalu lalang di ruangan itu. Pintu dibuka, tempat tidur didorong ke dalam ruangan. “Bisa turun sendiri?” tanya petugas medis. “Bisa Mas” jawab saya singkat.
Saya turun dari tempt tidur dorong. Berjalan pelan menuju tempat tidur di dalam kamar. Tutup tempat tidur dan bantal warna putih dengan tulisan RSUP Dr. Kariadi. “Saya pasang sungkup lagi biar bisa membantu pernafasan,” kata petugas medis ketika memasang alat bantu nafas itu pada wajah saya. “Terimakasih Mas. Nafas saya jadi lebih baik,” kata saya. Bernafas menjadi lebih ringan.
Menggunakan sungkup kali ini sangat membantu. Perjalan dari Kaki Merbabu menuju Semarang, saya hanya menggunakan nasal. Sampai di depan Kariadi, beberapa menit tidak menggunakan alat bantu apapun. Lega. Nafas yang masuk ke dalam paru-paru terasa lebih banyak.
Kamar rumah sakit itu berukuran kurang lebih 6 x 6 meter. Terdapat empat tidur di sana. Masing-masing tempat tidur dipisahkan dengan korden tertutup. Hanya dua tempat tidur yang terisi. Saya di dalam ruangan bersama satu laki-laki berumur antara 26 – 30 tahun. Kondisinya tidak berat. Tidak seperti saya yang menggunakan alat bantu nafas. Laki-laki tadi masih sempat berjalan menuju kamar mandi dalam ruang yang berada di belakang. Saya tidak sempat menggunakan kamar mandi itu.
Kateter yang sudah dipasang sejak dari rumah sakit Gunung Merbabu sudah dihubungkan ke pembungan air seni. Saya tidak bisa lagi buang air kecil secara normal. Hanya bisa langsung mengeluarkan seni pada tabung plastik yang telah disediakan rumah sakit. Lagipula, badan saya terasa terlalu lemah untuk sekedar melangkah ke kamar mandi.
“Retno di mana,” tanya saya dalam hati. Saya mencari HP saya di dalam tas punggung warna biru. Tas punggung ini pemberian Bung Engkin dan Usi Onco di New York tahun 2019 ketika saya mengikuti Pertemuan Tahunan Masyarakat Sosiologi Agama Dunia di sana. HP mati. Saya cash sebentar pada colokan listrik di dekat tempat tidur saya. Beberapa menit baterei terisi. Cukup untuk menelpon atau kirim pesan singkat.
“Sudah sampai rumah sakit?” tanya saya pada Retno ketika mengangkat telpon. “Sudah sampai. Sedang mengurus administrasi di UGD,” jawab Retno dari balik telpon. Retno harus melengkapi beberapa dokumen pendukung. Harus mengisi beberapa formulir dan tandatangan. Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Badan Penyenggara Jaminan Sosial (BPJS) ditunjukan untuk melengkapi persyarakat rujukan. Semua dokumen pendukung harus ada dan lengkap.

Data yang belum disi Billy sebelumnya, dilengkapi oleh Retno. Billy dan Ega telah lebih dulu sampai. Saat keluarga dicari, Retno dan Bapak belum tiba. Billy mengambil inisiatif untuk mengisi beberapa data dosen dan menandatangani beberapa dokumen. Dia mengambil langkah itu dengan sangat tepat. Saya memang harus segera ditangani.
“Tok tok tok,” jendela tempat saya tidur diketuk orang. Saya melihat ke atas, ternyata Retno di balik jendela. Setelah mengisi dokumen, Retno melihat orang keluar masuk ruang perawatan. Dia mengambil resiko untuk masuk ke dalam. Dua masker menutupi mulut dan hidungnya. Sebenarnya tidak cukup. Perempuan yang sedang hamil dua bulan itu berani menerobos ruang perawatan hanya untuk melihat suaminya yang terbaring lemah.
“Di mana Pak Izak di rawat,” tanya Retno pada tenaga medis. “Di ruang itu,” jawab tenaga medis tadi. Retno mengambil bangku dan naik ke atasnya. Dia melihat saya dari luar. Jendela kamar saya diketuk. Saya melihat ke arahnya. Dia melambaikan tangannya. Itu saat terakhir kali saya melihat Retno secara langsung ketika dirawat. Saat terakhir ketika dirawat saya melihat lambaian tanggannya.
Lambaian tangannya adalah dukungan dan doa. Lambaian tangannya adalah cinta yang menguatkan. Air mata tak terasa meleleh di pipi melihat lambaian tanggannya di balik jendela. “Aku, Bapak, Billy dan Ega pulang dulu,” kata Retno di balik telpon. Setelah sampai di parkiran Retno menelpon saya. “Jangan khawatir. Tuhan bersamamu,” kata Retno malam itu.
Malam itu, saya menutup malam dengan doa. “Tuhan beta sudah sampai di rumah sakit ini. Tidak ada keluarga di sini. Beta yakin Tuhan bersama,” doa saya waktu itu. Saya ingat doa sejak kecil yang selalu diajarkan Bapa dan Mama. “Beta tahu Tuhan pegang beta pung tangan. Beta yakin malaikat berkemah mengelilingi kamar dan korden ini. Sayap malaikat Tuhan, beta yakin, sedang melindungi beta.”
Doa seperti ini memang dari kecil sering disebutkan Bapa dan Mama ketika kami mengalami pergumulan berat. Di saat kritis, memori saya memanggil kembali kenangan doa itu. Dalam kondisi genting, Bapa-Mama akan mengumpulkan kami di kamar untuk berdoa bersama.
Kata yang saya ingat selalu adalah “biarlah khodsiat kuat tanganMu melindungi kami. Engkaulah benteng dan dewala bagi kami,” kata Bapa-Mama dalam doa-doa pergumulan waktu masa kecil saya. Saya tidak tahu arti beberapa kata dalam doa itu. Doa itu saya ulangi lagi malam ini. Dalam situasi kritis, kekuatan spiritual menjadi benteng terakhir ketika harapan hampir putus. “Biarlah tangan kasihMu melindungi beta, yah Tuhan,” kata saya dalam doa menutupi hari tanggal 30 Maret 2020.
(bersambung besok)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi