Oleh: Amrullah Usemahu, Wakil Sekretaris Jenderal 3 Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI)
Progress menuju implementasi Lumbung Ikan Nasional (LIN) terus bergerak cepat. Setelah beberapa kali rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga dengan pemerintah daerah yang dikoordinir Kemenko Kemaritiman dan Investasi, hingga kunjungan lapangan untuk melihat kawasan industrilisasi yang akan dibangun di Desa Waai dan Desa Liang Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah, terlihat bahwa adanya keseriusan Pempus untuk membangun Maluku sebagai LIN.
Direncanakan kedatangan Presiden Joko Widodo pada tanggal 24 dan 25 Maret besok ke Ambon, yang salah satunya ialah untuk mengecek kesiapan Maluku sebagai daerah LIN.
Maluku yang memiliki potensi laut mencapai 4,7 juta ton pada 3 Wilayah Pengelolaan Perikanan yakni 714, 715 dan 718, serta terdapat 1.340 pulau dan panjang garis pantai sepanjang 10.630 km, menyimpan kekayaan alam yang beragam berasal dari sumberdaya ikan dan ekosistem pesisir lainnya. Hanya sayangnya dengan kekayaan alam yang begitu besar, belum dapat membawa Maluku keluar dari garis kemiskinan.
Mengapa harus segera LIN diimplementasikan? Kalau dilihat dari postur anggaran Dana Perimbangan tahun 2020 untuk Maluku itu, totalnya hanya Rp.2,8 trilyun, yang berisi Dana Bagi Hasil Pajak/bukan pajak, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain itu Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru mencapai Rp.526 milyar, yang jika dibandingkan dengan Kota Bekasi PAD-nya telah mencapai Rp.1.021 trilyun. Jadi dari sisi dukungan anggaran pembangunan ke Maluku masih sangatlah minim.
Membangun daerah kepulauan ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Kendala jarak antargugus pulau dan laut pulau, membuat sistim logistik kita khususnya perikanan sangatlah tinggi.
Ikan boleh berlimpah tetapi pastinya harganya akan rendah, karena biaya logistik untuk mendistribusikan bahan baku tersebut cukup mahal ke tempat-tempat Unit pengolahan Ikan (UPI). Jangan heran kalau harga ikan di nelayan masih belum memadai, yang akhirnya berdampak negatif bagi kesejahteraan Nelayan khususnya skala kecil.
Industrilisasi perikanan melalui program LIN, sebenarnya salah satu bentuk upaya untuk memperpendek jalur distribusi hasil perikanan, yang selama ini masih terpusat di Jakarta dan Surabaya. Sehingga kedepan semua hasil perikanan dan lainnya dapat diekspor langsung ke negara-negara tujuan dari Ambon New Port.
LIN juga akan menekan tingkat kesenjangan pembangunan wilayah barat dan timur, karena akan ada wilayah ekonomi baru yang didorong untuk berkembang serta akan ada Sub-sub kawasan yang dibangun sebagai bentuk konektivitas antar wilayah.
Masih banyak yang mempertanyakan bagaimana dampak LIN, dengan dibangunnya Sentra Industri perikanan terpadu terintegrasi bertaraf internasional, terhadap kesejahteraan nelayan? Di benak saya terpikir bahwa antara kegiatan industrilisasi dan nelayan, itu merupakan hubungan simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan.
Industri perikanan tanpa nelayan kecil yang jumlahnya mendominasi di Maluku mencapai 90 % ini, maka industri akan kekurangan bahan baku. Begitu pula sebaliknya, nelayan butuh industri agar hasil tangkapannya dapat terjual, dengan harga memadai dan stabil. Selain itu, Kawasan Industrilisasi ini akan membuka ruang lapangan kerja yang begitu luas.
Hanya perlu jadi catatan serius, adalah jangan sampai adanya industrilisasi perikanan kemudian didatangkan kapal-kapal skala besar ratusan GT, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku di pusat industri tersebut. Lalu menjadi tekanan bagi nelayan skali kecil yang dari sisi wilayah penangkapan ikannya terbatas ini.
Jika kita mengejar faktor produksi sebesar-besarnya, maka pasti akan terjadi tekanan sumberdaya yang sangat luar biasa. Nelayan skala Industri dengan kapal GT besar, pastinya bisa survive karena operasional dan wilayah FGnya luas. Bagaimana dengan nelayan skala kecil? Ini yang harus dipikirkan dari sekarang sebelum operasional LIN yang direncanakan beroperasi pada tahun 2023 nanti. Selain kesiapan kapasitas SDM tentunya.
Tata kelola perikanan kita dalam menyambut LIN ini harus diatur lebih baik lagi. Harus dikawal sentra industri perikanan yang akan dibangun, jangan hanya menjadi bangunan megah saja, namun tidak ada ikan dan akhirnya bisa saja menjadi mangkrak serta tidak operasional.
Target tingkatkan produksi yang besar tanpa perhitungan matang, maka sumberdaya ikan dalam tekanan. Apalagi di tengah kondisi WPP kita telah mengalami over fishing serta WPP kita (Maluku), berada pada WPP Kepulauan.
Coba saja ditengok saat ini bagaimana harga pasaran ikan di pasar-pasar tradisional dari sisi stok dan harga. Pastinya ada masyarakat yang mengeluh kalau ikan susah dan mahal.
Adopsi Sistim Hak Perikanan yang dilakukan Jepang dalam tata kelola perikanannya, atau sistim sasi yang dimiliki Maluku, adalah sebuah cara alternatif agar LIN akan dikelola secara terpadu dengan mengatur jumlah armada. Wilayah dan hasil tangkapan yang dapat diatur berdasarkan kuota yang diberikan.
Kita tidak melarang nelayan melakukan aktifitas secara masif, tetapi bagaimana mengendalikan aktifitasnya agar lebih terarah dalam pengelolaan SDInya, dan lebih utama adalah mengupayakan peningkatan Nilai jual (Rp) produksinya.
Semua pastinya berharap kiranya program LIN ini akan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan asli daerah maupun devisa negara. Mari kita kawal bersama agar semua pentahapan dari konsepsi perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan nanti bisa dapat berjalan dengan lancar dan sesuai rencana. Jika pusat telah serius untuk implementasi LIN maka selanjutnya bagaimana kesiapan daerah menyambutnya.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi