Ambon Dolo-dolo

Sunarti: Beta Seng Bisa Lupa Ambon

SWARA WARGANET

Penulis: Rusdin Tompo (warga Makassar kelahiran Ambon)


Beta bakudapa Sunarti, seng sangaja, dalam kegiatan Kemah Literasi yang diadakan Duta Literasi (Durasi) Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Panrita Lestari di Desa Bissoloro, Kamis-Jumat, 22-23 Juni 2023. Lokasi kegiatan ini merupakan kawasan hutan pinus, yang skarang jadi andalan Kecamatan Bungaya, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

“Dolo katong tinggal di Tantui, Kampung Kolam, Kecamatan Sirimau, di Batu Merah atas. Orang bilang akang aster,” Sunarti.

Perempuan yang akrab disapa Narti itu, lahir di Ambon, 12 Juli 1992. Meski dia terpaksa kasi tinggal Ambon, su lebe dari 20an tahun, tapi dia masih sangat ingat ibu kota Provinsi Maluku itu. Narti mengungkapkan, dia paling ingat deng bahasa atau logat Ambon.

Dia juga ingat, kalau Lebaran, dia pi ka tetangga-tetangga, termasuk kalo Natal, d,ia pi deng tamang-tamang walau beda agama. Namun, suasana keakraban yang dirasakan Narti kacil, hilang pasca kerusuhan Ambon, di tahun 1999.

“Waktu itu beta masih umur 7 tahun, baru mau naik kelas 2,” suara Narti pelan.

Narti melanjutkan, saat kerusuhan, dia lagi ada di rumah. Dia sempat turun dari rumah neneknya, masih di Batu Merah, untuk pi silaturahmi di rumah keluarga mereka. Lalu pecahlah kejadian itu. Karena suasana su kaco, dia seng bisa pulang. Nanti dia pulang saat su Magrib. Itu pun dikawal polisi.

“Beta masih kacil. Balong tau apa-apa. Saat itu tau kalo ada kerusuhan, karena bapak yang bilang,” tutur Narti.

Hari itu juga, mereka disuruh bakumpul di satu rumah. Cuma dia lupa sapa pung rumah. Tiga hari setelah kejadian, bapak deng nenek, serta samua keluarganya disuruh pulang ke Sulawesi Selatan. Mereka naik KM Lambelu.

Narti ingat, ada kejadian yang seng bisa dia lupakan. Dalam suasana panik itu, kakaknya diminta mengumpul pakaian, lalu dikasi masuk ke dalam koper. Setelah tiba di Makassar, dan koper itu dibuka, ternyata isinya lap-lap samua.

“Saking paniknya, pas Mama buka, katong baru tahu ternyata isinya cuma kain lap. Astaga,” kenang Narti.

Hari itu juga, mereka langsung ka Kabupaten Bone, naik bus. Jarak Makassar-Bone 170an km. Dia inga, mereka naik bus yang akang pung kapala berbentuk segitiga.

WhatsApp Image 2023 06 24 at 17.02.01

Setelah tiba di Bone, dia dikasi masuk skola di SD Negeri 3 TA’. Dia sempat kesulitan bersosialisasi dengan teman-temannya. Bahkan di sempat tidak naik kelas karena dikira tidak tahu membaca. Padahal, itu karena dia tidak memahami bahasa Bugis. Kebetulan, kata Narti, gurunya menggunakan bahasa Bugis saat mengajar.

Saat ditanya, bagaimana kemudian dia bisa menyesuaikan diri? Narti bacarita bahwa kejadiannya setelah dia bertemu anak-anak seumurannya, yang tengah memungut plastik dan botol-botol bekas di pinggir jalan. Anak-anak itu bahkan menyusuri sungai kecil untuk cari plastik dan botol-botol yang hanyut. Narti terus mengikuti mereka. Saat anak-anak mandi, dia juga ikut mandi bersama mereka.

Dari interaksi itu, dia mulai bisa bersosialisasi. Dia ngobrol dengan anak-anak itu, dalam bahasa yang dia pahami sapotong-sapotong. Singkatnya, dia mulai belajar bahasa Bugis bahkan dia mulai bisa membaca aksara lontaraq Bugis dari anak-anak itu.

“Beta belajar ka ga ngang ngka,” kata Narti mengeja abjad lontaraq.

Setelah itu, dia su agak pintar membaca dan menulis aksara lobtaraq. Bahkan dia biasa dipercaya mewakili gurunya mengajarkan aksara lontaraq Bugis kepada teman-temannya saat SD. Begitu juga saat SMP, dia dipercaya jadi asisten gurunya. Meski su menetap di Bone beberapa tahun, ternyata dia seng bisa lupakan Kota Ambon Manise.

Narti bilang, dia seng parnah bisa lupa Ambon. Setiap kali ada keluarganya yang datang dari Ambon, dia selalu tanya, kapan bisa kembali ka Ambon. Dia rindu Ambon karena dolo, dia rasakan dimanja orangtua, dan secara ekonomi dong hidup cukup, meski bapaknya cuma jualan pakaian di depan RM Padang, sekitar Amplaz.

Bagitu mereka pindah ka Bone, bapaknya bekerja sebagai tukang becak demi bisa menyekolahkan anak-anaknya. Pernah, katanya, bapaknya hanya dibayar Rp1000 lantaran antua seng tau jalan. Antua seng bisa tarkira saat baku tawar deng penumpang. Antua seng tau jarak. Dikiranya dekat, ternyata jauh.

Dia memuji bapaknya yang ulet bekerja, sehingga beberapa anaknya berhasil meraih sarjana. Yang mengharukan, saat kakak sulungnya, Santi, diwisuda di STAI Al Gazali. Saat itu, kakaknya diantar dengan becak.

Bapaknya, lanjut Narti, merupakan satu-satunya orangtua yang mengantar anak pake becak, sementara orangtua yang lain pake mobil. Sekarang, kakaknya sudah berkeluarga dan jadi PNS di Mamuju, Sulawesi Barat. Becak penuh sejarah itu kini disimpan, tak mau dijual karena dianggap berjasa dalam hidup mereka.
Narti bisa sampe di Rannaloe, tempat tinggalnya yang sekarang, karena ada seorang kakek yang mau bantu pelihara dan kasi kuliah dia di Unismuh. Kakek itu merasa berhutang budi karena pernah dibantu kakeknya.

Narti kemudian kuliah di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Muhammadyah (Unismuh) Makassar, tapi cuma sampai semester 3. Di lalu pindah ke STKIP Muhammadyah Bone sampai meraih sarjana.

Selain aktif di TBM Panrita Lesrari, Narti juga merupakan guru Madrasah Aliyah (MA) Guppi Rannaloe. Dia juga aktif sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Rannaloe. Di Rannaloe, dia bertemu jodohnya, Muh Munir. Keduanya berkenalan pertama kali saat masih di kampus Unismuh. Kini Narti dan Munir, sudah dikaruniai seorang anak, Aura, berumur 9 tahun.(*)

Rusdin Tompo
Penulis, Rusdin Tompo.(Foto: Dokumentasi Pribadi)

Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button