Pendidikan & Kesehatan

Sembuh: 17% Menjadi 100%

BERJALAN DALAM BAYANG-BAYANG COVID-19 (25)

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret penulis menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, kisahnya kami tampilkan. Inilah tulisan ke-25, yang menjadi bagian terakhir dari tulisan bersambungnya.

Tanggal 17 April 2020, setelah dimandikan pukul lima pagi, saya tertidur. Cukup pulas pagi itu. Tidak terasa, waktu menunjukkan hampir pukul 10 pagi. Saat perawat berkunjung rutin ke ruangan ICU. Biasanya, saya sudah bangun sebelum perawat berkunjung. Hari ini berbeda. Perawat membangunkan saya.

“Selamat pagi,” sapa perawat setelah mendekat ke tempat tidur saya. Sambil berusaha membuka mata saya menatap ke perawat itu. “Selamat pagi. Apa kabar?” jawab saya. Buru-buru saya merapihkan piama bertuliskan RSUP RS Kariadi yang menutupi tubuh.

Perawat itu menuju tiang infus dan obat yang berada dekat kaki saya. Botol infus diketuk-ketuk beberapa kali. Supaya lancar aliran cairan dan obat. “Gimana kondisi pagi ini? Lebih baik?” tanya perawat itu setelah selesai
mengecek botol dan selang infus. “Lebih baik. Terimakasih!” jawab saya sambil mengangkat jempol kanan. Tenaga medis ini tidak menjawab. Hanya mengangkat dua jempol tangannya.

“Nanti siang kami pindahkan ke ruangan isolasi biasanya yah,” tambah perawat tadi. Sesaat, saya hanya dapat memandang perawat itu sambil mengangguk kecil. Wajah saya pasti terlihat gembira saat itu. “Akhirnya saat untuk keluar dari ruangan sakral ini datang juga,” pikir saya ketika perawat selesai menjelaskan.

“Terimakasih banyak,” jawab saya sambil tersenyum pada perawat itu. Saya memang sudah tidak betah berlama-lama di ruang maut ini. Tidak sabar untuk pindah dari ruang ICU. “Aku pingin pindah dari ruangan ini. Stres. Aku lihat kematian berulang-ulang,” kata saya pada Retno di ujung telpon tanggal 16 April, pagi hari. Malaikat pencabut nyawa seperti terus mengintip di balik jendela ICU itu.

Saat mulai dibebaskan dari obat sedasi, saya melihat banyak kematian di sini. Beberapa pasien yang masuk sebelum saya, tidak bisa pulang hidup-hidup. Waktu mereka dijemput ambulans, saat itu keluarga terakhir kali melihat langsung pasien-pasien ini. Peti yang terbungkus plastik tidak boleh dibuka. Begitu protokol
penanganan korban Covid-19.

ICU room adalah ruang terakhir penanganan pasien Covid-19. Pasien-pasien berat menggunakan ventilator berjejer di sana. Tak berdaya. Bahkan bernafas saja harus dibantu mesin. Di sini air mata bercucuran, doa-doa dalam diam dinaikkan dan banyak nyawa bertemu dengan Sang Pencipta. Dalam ruangan ini banyak jiwa mengakhir lomba kehidupan. ICU menjadi garis finish.

“Iya, aku uruskan ke Kariadi hari ini,” jawab Retno. Setelah menutup telpon Retno langsung menuju Semarang. Mobil dipacu sepanjang jalan bebas hambatan Solo – Semarang. Kurang dari 90 menit, Retno sudah berada di RSUP Dr Kariadi. “Kondisimu masih harus dimonitor lagi,” jelas Retno setelah konsultasi dengan tim medis Rajawali. Tanggal 16 Maret, saya gagal pindah.

Screen Shot 2021 03 31 at 21.47.00
Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang.(Foto: Dok. Penulis)

Tanggal 17 April 2020 adalah hari pembebasan. Saya mulai menunggu saat pemindahan itu sejak makan siang. Bubur halus yang diberikan saya habiskan. “Biar cepat-cepat dipindahkan,” pikir saya ketika makan. Waktu terasa sangat lama berputar. “Koq perawat belum datang juga,” tanya saya dalam hati.

Saya menghabiskan waktu menonton video-video dukungan. Satu-satu lagu saya dengar kembali. Ayat-ayat Kitab Suci dari Kaka De saya baca berulang-ulang. Sejak berada di ruang ICU, Kaka De mengirimkan ayat-ayat ini setiap pagi dan malam. “Jagalah aku ya Allah, sebab padaMU aku berlindung,” begitu bunyi salah satu ayat.

Pukul lima sore, dua perawat menuju tempat tidur saya. “Pindah sekarang yah,” ujar salah satu perawat sambil menyiapkan barang-barang saya. Tas punggung, pempers, tisu dan beberapa barang kecil ditaruh di samping saya. Di atas tempat tidur. “Terimakasih banyak!” imbuh saya. Mata saya pasti telihat berbinar-binar saat itu. “Akhirnya saya betul-betul keluar dari ruang maut ini,” kata saya dalam hati.

Tempat tidur saya didorong keluar dari ruangan ICU. Ruang isolasi biasa di Gedung Rajawali tidak jauh. Hanya beberapa meter dari pintu ICU tadi. Pintu ruang isolasi buka perawat. Mulai masuk ke ruang kecil bernama anteroom. Baju-baju hamzat dan helm-helm pelindung berwarna kuning digantung pada dinding ruang
antara itu.

“Sekarang perawatannya kami serahkan ke tim ruang isolasi,” kata perawat setelah membuka pintu bagian dalam ruang dalam isolasi. Ukuran ruang ini lebih kecil dari ICU room. Kurang lebih seluas 3 x 4 meter. Kamar mandi kecil berada di pojok kanan dan jendela besar menghadap ke luar. Hanya ada satu tempat tidur pasien di dalam ruangan itu. “Saya sendiri di ruangan ini?” tanya saya pada perawat tadi dan dijawab dengan anggukan.

Kurang lebih satu minggu saya dirawat di ruang isolasi. Meski sudah berada di dalam ruang isolasi saya tetap belum bisa berjalan. Infus, kateter dan kabel-kabel monitor masih masih melekat di badan saya. Tidak bergerak dari tempat tidur. Hari pertama dan kedua, semua kegiatan masih dibantu perawat.

“Nanti sudah bisa makan bubur agak keras dan ikan,” jelas perawat cerdas dan baik yang baru saya kenal hari itu. “Asmanipun panjenengan sinten Mas?” (namanya siapa Mas?) tanya saya pada perawat itu. “Nami kulo Joko,” (nama saya Joko) jawab Mas Joko. Perawat ini selalu dapat membantu saya memahami kondisi per hari. Bagaimana perawatan saya dan apa usul perawat kepada dokter, dijelaskan pada saya. Beruntung Mas Joko ada di sana.

“Saya akan usul pada dokter untuk melepaskan kateter dan infus,” kata Mas Joko. “Terimakasih Mas. Semoga diterima. Saya pingin mandi,” ujar saya. Hampir satu bulan badan saya tidak tersentuh guyuran air kamar mandi. “Nanti dalam dua hari ke depan kita belajar duduk dan jalan,” lanjut Mas Joko.

Sejak dipindahkan ke RSUP Dr Kariadi tanggal 31 Maret, saya belum pernah turun dari tempat tidur. Hampir satu bulan kedua kaki tidak digunakan. Mulai belajar duduk, lalu berjalan satu dua langkah. Penjelasan dan perhatian perawat seperti Mas Joko sangat membantu pemulihan di ruang isolasi.

Berita baik keluar dari ICU room dan pindah ke ruang isolasi biasa itu saya bagikan pada keluarga, sahabat dan rekan kerja. Tidak semua. Hanya pada kalangan terbatas. Telpon genggam saya banjir dengan pesan singkat dari berbagai tempat.

Dukungan dan doa tidak berhenti. “Terlepas dari malaikat pencabut nyawa di ICU. Disambut malaikat tak bersayap di ruang isolasi dan telpon genggam,” gumam saya. “Nyong kabar bagemana? Su labe bae? Katong berdoa sadiki ee,” kata Bapa Yan, Pendeta senior di Gereja Mennonite. Sejak berada di ruang isolasi, Bapa Yan
setiap hari berdoa bagi saya. Kurang dari lima menit saja setiap hari. Tidak panjang,tetapi doa dan perhatian Bapa Yan sangat menguatkan.

“Hallo Bang apa kabar?” saya baca isi pesan singkat dari petinggi di lembaga legislatif. Nyai dari sebuah pesantren di Jawa Timur ini adalah sahabat sejak kami belajar di Boston/Cambridge. Kebetulan sahabat ini pejabat pada komisi lembaga legislatif Indonesia yang mengurus masalah kesehatan. “Saya sudah hubungi Mas Ganjar dan Direktur RSUP Dr Kariadi. Saya minta tolong mereka memberikan pelayanan terbaik kepada Abang,” kata sahabat saya, politisi dari Partai Politik yang didirikan Gus Dur itu.

“OMG. Senang sekali kamu balas WA-ku,” kata sahabat saya dari Timur Tengah. Beberapa menit sebelumnya saya membalas pesan singkatnya. Sekedar menginformasikan kondisi saya. “Kapan hasil tes keluar? Please update yah,” lanjut profesor sebuah kampus ternama di negeri petro dollar itu. “Nanti akan saya tulis di
FB untuk inspirasi bagi yang lain juga,” lanjut sabahat saya itu “Chaken gimana kabarmu?” tanya Mas Munjid, sahabat saya, dosen di UGM Yogyakarta. “Chaken, kalau longgor aku telpon,” tambah Burdah, sahabat saya yang lain. Burdah adalah profesor muda di Universitas Islam Negara Sunan Kalijaga.

Seperti Mas Munjid, Burdah dan saya belajar bersama di CRCS UGM. Satu waktu kami belajar bersama untuk ujian akhir matakuliah Introduction to Islam. “Cari ruang yang agak tenang,” kata saya waktu itu. Burdah lalu mengajak berlajar di Mushola kampus. Di tempat sembahyang ini memang tenang, Tidak ada yang berani ribut. Saya agak ragu-ragu masuk. “Tenang saja. Paling kamu dikira baru selesai sholat juga,” kata Burdah sambil tersenyum.

“Koq kamu bisa lulus Introduction to Islam. Padahal beberapa teman Muslim malah ga lulus?” tanya Pak Machasin, dosen kami. “Chaken belajar di Mushola Pak, makanya diluluskan malaikat,” jawab Burdah waktu itu. Satu kelas tertawa semua mendengar gurauan Guru Besar Studi Timur Tengah ini. Dukungan doa dan perhatian sahabat dari luar dan tim medis dari dalam membantu pemulihan saya.

“Selamat malam,” sapa tenaga medis ketika pintu penghubung kamar pasien dan anteroom di buka. Hamzat putih membungkus seluruh badannya dan helm putih menutup wajahnya. “Selamat malam,” balas saya. “Saya Dokter Thomas yang bertangungjawab untuk perawatan di sini. Saya senang bisa membantu proses penyembuhan,” lanjut Dokter spesialis paru-paru itu. “Oh ini Dokter Thomas yang selama ini melayani saya,” kata saya dalam hati.

“Terimakasih banyak dokter Thomas untuk menyelamatkan nyawa saya,” kata saya dengan suara berat menahan air mata yang hampir meleleh di pipi. Pahlawan ini berdiri di hadapan saya. Selama ini ,namanya sering disebut Mas Joko.

Screen Shot 2021 03 31 at 21.46.46 copy
Penulis bersama tim medis Covid-19 RSUP Dr Kariadi Semarang dalam konferensi pers di halaman rumah sakit.(Foto: Dok. Penulis)

Baru kali ini saya bertemu dengan pejuang kemanusiaan yang luar biasa itu. “Saya merasa dipakai Tuhan untuk menyelamatkan nyawa jenengan,” ujar dokter Thomas. “Ketika tahu pasien saya terinfeksi Covid setelah kembali dari seminar dan pelayanan di beberapa rumah ibadah di Amerika, saya sangat yakin pasien ini akan sembuh,” tambah Dokter Thomas sambil meminta saya untuk terus berdoa pada beliau dan tim mendis perawatan pasien Covid-19 di RSUP Dr Kariadi.

“Besok sudah bisa keluar dari rumah sakit. Tuhan mengirim saya untuk  menyelamatkan jenengan. Itu iman saya,” ujar Dokter Thomas sesaat sebelum pamit meninggalkan ruangan. “Tuhan memang mengirim begitu banyak orang baik untuk menopang proses penyembuhan saya, “ pikir saya pada tanggal 23 April, malam itu.

Tanggal 24 April pagi, saya dijemput perawat. “Kita mau konferensi pers dulu sebelum pulang,” kata perawat ketika melewati pintu anteroom menuju tempat tidur saya. Baju perawat itu kali ini berbeda. Tidak ada lagi hamzat dan helm pelindung diri. Perawat hanya menggunakan baju medis biasa dan masker penutup
mulut dan hidung.

Saya turun dari tempat tidur. Naik pelan-pelan ke kursi roda. Perawat mendorong saya menuju tempat dokter, perawat dan awak media rumah sakit. “Akhirnya dapat menghirup udara segar di luar kamar,” kata saya dalam hati ketika kursi roda melewati pohon-pohon di halaman RSUP Dr. Kariadi.

“Pasien yang menggunakan ventilator hanya punya peluang selamat sebesar 17 persen, Kemungkinan hidup sangat kecil,” jelas Dokter Muchlis, penanggung jawab penanganan Covid-19 RSUP Dr Kariadi. Di sampingnya, duduk Dokter Thomas, Mbak Suni dan saya. “Ini pertama kali pasien Covid-19 dengan ventilator di RSUP Dr Kariadi bisa sembuh dan selamat dari kritis,” tambah dokter tinggi besar itu.

“Terimakasih Tuhan. Terimakasih juga untuk tim medis yang telah menyelamatkan nyawa saya,” begitu kata saya ketika dipersilahkan bicara. “Terimakasih Tuhan. Terimakasih Tuhan,” kata saya dalam hati tidak henti-
hentinya. “Dia memberikan kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tidak berdaya,” pesan ayat penguatan seperti berbicara dalam pikiran saya. 17 persen kemungkinan hidup itu Tuhan buat menjadi 100 persen. Apa yang mustahil bagi manusia, tidak mustahil bagi Tuhan.

(Amin)

NB: Terimakasih untuk Koran Online Potret Maluku dan semua pembaca yang setia mengikuti kisah ini selama satu bulan penuh. Kisah dan foto-foto lengkap akan muncul dalam buku “Memoar Covid-19: Catatan Autoetnografi Penyintas”


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button