Ambon Dolo-doloKulinerSerba-serbi Ramadan

Ramadan, Orkes, dan Sate Pala

AMBON DOLO-DOLO

Oleh: Rusdin Tompo (warga Makassar, kelahiran Ambon)


Bulan Ramadan merupakan bulan kegembiraan. Gembira dalam arti yang sebenarnya. Karena, dolo, saat masih kacil, bulan puasa berarti banyak kelonggaran. Longgar waktu untuk main, terutama pada malam dan subuh hari.

Beta coba tarik waktu sadiki ke pengujung tahun 70an. Saat masih duduk di bangku SD. Beta skolah di SD Negeri 7, Ambon. Meski posisi skolah ini di Air Putri, tapi anak-anak yang skolah di situ berasal dari beberapa kampung sekitar. Ada yang dari Tana Lapang Kacil, atau dong biasa singkat Talake, ada yang dari Waringin, Batu Gantung, Kampung Ganemo, Wainitu, bahkan OSM dan Kudamati.

Ada beta pung tamang satu orang, namanya La Dangko. Beta bilang tamang satu orang karena seng banyak nama-nama yang beta bisa inga. Selain La Dangko, ada Boy deng Pieter. Cuma dalam konteks carita Ramadan ini, nama La Dangko yang lebih pas beta sebut. Dangko ini Beta pung tamang pi sombayang Jumat.

Waktu itu, memang seng banyak pilihan tampa sombayang. Untuk orang muslim yang tinggal di Air Putri, seperti katong ini, kalau mau Jumatan, pilihannya ke masjid yang ada di Waringin atau ke masjid di OSM. Sekadar gambaran, kalau beta pi sombayang di OSM, maka beta akan lewati Wainitu lalu ke OSM. Kalau ke Waringin, berarti pulang skolah, beta temani La Dangko pi dolo ke rumahnya di Batu Gantung Dalam, baru ke masjid di Waringin. Jang tanya lai katong naik apa. Ya su pastilah, jalan kaki to hehehe.

Kedekatan deng La Dangko, deng ada satu tamang laeng yang tinggal Waringin, bukan hanya di skolah. Tapi terbawa sampai malam hari. Kadang dia datang ke Air Putri hanya untuk pi main orkes. Katong memang kalo di skolah suka bapukul meja, sambil manyanyi. Meja jadi semacam pengganti gendang untuk manyanyi apa saja, yang penting hati sanang. Apalai kalo seng ada guru. Kelas ancor.

Nah, hobi pukul-pukul meja itu berlanjut ke main orkes. Dibilang orkes, karena yang dinyanyikan itu lagu-lagu melayu dan dangdut. Formasi orkes ini sederhana. Hanya ada dua orang pegang gendang, tanpa gitar. Itu pun gendang dari bekas termos yang di bagian mulutnya diberi kantong plastik cukup tebal, lalu diikat dengan karet sisa ban sepeda. Atau gendang dari ember yang ditabuh dengan potongan kayu. Tidak ada vokalis. Semua lagu dibawakan keroyokan secara medley. Ramai, dan tentu saja bahagia.

Katong main orkes di bawah terang lampu mercuri, yang waktu itu kayaknya merupakan barang baru. Katong duduk baslep di atas hamparan rumput hijau, yang dilindungi pagar hidup dari pohon bluntas. Jadi, biar di pinggir jalan, katong terhalang dari pandangan orang dan terhindar dari kendaraan yang lalu lalang.

Bicara bluntas ini, coba dong patah akang pung batang karing. Batang karing itu ada pung rongga. Kadang, batang bluntas karing itu coba dibakar dijadikan rokok. Bagitu isap, terbatuk-batuk. Asapnya memang banyak, mengepul mirip knalpot racing.

Hamparan rumput ini, merupakan halaman rumah orang. Beta inga, rumah itu tempat sewa komik dan buku carita. Koleksi bukunya lumayan beragam. Ada buku-buku karya Hans Christian Andersen, buku komikus Indonesia populer seperti Hans Jaladara “Panji Tengkorak”- dan Ganes TH dengan karya ikoniknya, “Si Buta dari Gua Hantu”. Tapi kalo malam akang seng buka. Saking asyiknya main orkes, katong seng rasa kalo panta calana su basah. Begitu selesai, badiri, baru sadar. Itu karena makin malam tanah dan rumpun yang diduduki berembun. Main orkes biasanya setelah pulang dari masjid.

Masa itu kalau salat Taraweh, katong pi ka  masjid di OSM, tepatnya di sablah jalan kompleks tentara. Itu masjid terdekat. Jaraknya kira-kira lebih 1 km dari rumah. Pertengahan 80an baru ada masjid di Wainitu, tepatnya di Kompleks Pelayaran. Namanya Masjid Nurul Bahri. Selama Ramadan, di sekitar masjid itu rame paskali. Rame oleh anak-anak yang lagi blanja di pedagang yang bajual di sisi kiri kanan pintu masjid.

Beta inga, ada satu jualan yang khas: sate pala.  Namanya bagitu karena makanan ini dikemas mirip sate. Cuma, kalau yang ini, yang ditusuk deng bulu (bambu) yang su diraut, bukan daging ayam atau daging kambing, tapi manisan pala. Buah pala dibelah stengah, lalu dibentuk menyerupai kipas. Supaya palanya tabuka bagus maka dong tusuk deng bulu. Ada 2 rasa yang dijual, padis deng manis. Ini makanan favorit katong tempo dolo. Juga karena harganya tentu murah meriah.

Masjid ini posisinya agak di ketinggian. Ada beberapa trap tangga menuju masjid. Tepat di pintu masjid, menuju tempat air wudu, ada bedug cukup besar. Di dalam masjid bercat putih dengan kusen warna hijau ini, dipenuhi kaligrafi. Selain kalimat syahadat, masjid juga dihiasi kaligrafi nama-nama 25 nabi dan rasul yang ditulis dengan warna hitam.

Lantai masjidnya bersih dan dingin. Terbuat dari tegel semen yang bentuknya kotak-kotak seukuran 15×15 cm. Kadang anak-anak suka baring-baring, hanya untuk menyandarkan pipi ke lantai untuk merasakan sensasi dinginnya.

Salat Taraweh di masa kanak-kanak boleh dibilang hampir tidak pernah khusyuk. Banyak gangguan. Ada-ada saja yang iseng. Gangguan bisa datang dari teman di samping atau belakang. Mulai dari main dorong-dorongan, menarik songkok, sampe saling baku kore deng kaki. Lama-lama makin keras, akhirnya baku tandang.

Keisengan lainnya, yakni menggoda jamaah perempuan seumuran, yang posisinya bersebelahan. Kain putih yang membentang sebagai pembatas, setinggi orang dewasa, kadang diangkat bagian bawahnya. Hanya untuk sekadar mengintip. Itu pun dalam hitungan detik. Sepertinya, gembira kalau lihat ada yang terkejut. Sekalipun risikonya, bisa dapa toki kapala. Talalu asyik barmaeng, tiba-tiba su dengar suara jamaah bilang aaamiinnn. Lalu iko deng suara lebe karas deng lebih lama lagi: aaamiiiiiiiiiiiiin.

Seng heran, kalau salat Taraweh biasa ada lia bapa-bapa bawa rotan vor kasi diam jamaah kacupeng yang datang ke masjid untuk main-main daripada sombayang. Tapi, begitulah dunia kanak-kanak yang punya curiosity. Dong akang jadikan apa saja sebagai ruang bermain untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Dari pengalaman itu anak-anak belajar secara holistik.

Beta jadi inga buku “Tuhan Bukan Hanya Milik Orang Dewasa” karya Yusron Aminullah. Intinya, dia mau bilang, kanapa e, kalau salat Taraweh itu posisi anak-anak sering ditempatkan di saf-saf belakang. Kadang anak-anak malah hanya disisakan di teras masjid di samping. Akibatnya, ya itu tadi, dong main-main. Tapi begitulah dunia kanak-kanak yang penuh sukacita.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button