Pelajaran Keindonesiaan dari Desa Aboru, Maluku
Oleh: Muhammad Najib Azca
Dosen Sosiologi Universitas Gajah Mada
Pada suatu hari di tahun 2011 sebuah keberuntungan menyapaku, yaitu bisa melakukan perjalanan istimewa ke sebuah tempat tak biasa: Negeri Aboru, Pulau Haruku, di Maluku. Sebuah wilayah yang secara geografis tak tak terlalu jauh dari Ambon, ibukota propinsi Maluku, tapi secara politik ‘jauh dan nyaris tak tersentuh’…
Desa atau Negeri Aboru dianggap jauh—dan kemudian cenderung diabaikan—karena dalam diskursus politik di Maluku dianggap sebagai daerah “basis RMS”. RMS atau Republik Maluku Selatan merupakan sebuah gerakan perlawanan politik bersenjata yang sempat muncul dan menguat pada tahun 1950an yang bertujuan mendirikan negara sendiri terlepas dari Republik Indonesia. Setelah berhasil ditundukkan secara militer oleh TNI pada 1963, sebagian besar pemimpinnya gugur atau pergi mencari suaka ke Belanda, negeri induk kolonial.
Meski tak lagi eksis sebagai gerakan bersenjata, benih perlawanan mencari keadilan itu tampaknya masih bergeliat. Salah satunya dari ‘ritual’ berkibarnya bendera “Benang Raja” simbol gerakan RMS setiap 25 April—bertepatan dengan HUT RMS.
Desa Aboru nyaris berlangganan setiap tahun menjadi tempat naiknya bendera “Benang Raja” itu di sejumlah tempat, lazimnya di pebukitan. Memang ada versi lain bagi riwayat di balik pengibaran bendera ini: ada elemen tertentu dari negara yang berkepentingan menciptakan kesan seolah RMS tetap hidup sehingga ada dalih untuk terus merawat wacana “bahaya dan ancaman RMS!” Entah mana yang benar atau mungkin keduanya benar adanya.
Demikianlah: karena stigma sebagai “basis RMS” maka pembangunan Desa Aboru pun terlantar—jauh berbeda dengan kawasan lainnya di Maluku. Untuk mencapainya dari pulau Ambon, kami naik kapal dari pelabuhan Tulehu ke Desa Kailolo, disambung naik angkutan darat ke Desa Pelauw. Kami menginap semalam di sana, lalu esoknya naik angkutan umum yang terbatas menuju ke Desa terdekat Hulaliu. Dari sana kami menyewa mobil pick up melalui sejumlah jalanan buruk, lalu berhenti di tengah jalan. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki melalui medan yang sulit sekitar 1 jam untuk mencapai Aboru.
Perjalananku ke Aboru bisa dilakukan dengan bantuan dan ‘pengawalan’ dari dua sahabat: Pendeta Jacky Manuputty dan Bapa Dosen Paul Usmany. Pendeta Jacky beta kenal baik sejak melakukan riset untuk tesis S2 pada 2002 yang berlanjut dengan aneka perjumpaan. Sedang Bung Paul adalah anak negeri Aboru yang jadi dosen di FEB Universitas Pattimura.
Tanpa “pengawalan dan perlindungan” dari dua sahabat Nasrani tersebut hampir mustahil beta yang Muslim dari Jawa ini bisa diterima dengan baik di Negeri Sarani sarat stigma itu. Untuk itu ungkapan terima kasih yang terdalam beta ucapkan kepada keduanya. Dalam perjalanan tersebut juga bergabung Zairin Salampessy—acap dipanggil Embong Salampessy, seorang jurnalis senior di Maluku.
Perjalanan penuh kesan ke Negeri Aboru* itulah yang beta ceritakan dalam PolGov Talk bertema: Melihat Indonesia dari Pinggiran atawa Frontier (link YouTube di bawah). Dalam percakapan asyik yang dipandu dosen muda idola Departemen Politik Pemerintahan, Azifah R. Astrina, aku menyampaikan ihwal pentingnya kita mempunyai lensa yang lain dalam melihat Indonesia; bukan hanya dari perspektif Pusat, atau Jawa, melainkan dari sudut pandang kawasan yang terpinggir dan acap terlantarkan.
Semoga bermanfaat dan memperkaya cara pandang kita membaca kebangsaan dan keindonesiaan…
* kegiatan itu merupakan bagian dari riset dinamika kekerasan pasca konflik di Maluku & Maluku Utara. Hasil riset kemudian dituliskan menjadi buku berjudul “After the Communal War: Understanding and Addressing Post-Conflict Violence in Eastern Indonesia” atau versi bahasa Indonesia “Seusai Perang Komunal: Memahami Kekerasan Pasca Konflik di Indonesia Timur dan Upaya Penanganannya” yang diterbitkan CSPS BOOKS tahun 2012 bersama dg Patrick Barron dan Tri Susdinarjanti alias Didien Soegono.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi