Pendapat

Nelayan Maluku: Bertahan di Tengah Gelombang Ketimpangan

Langit pagi di sebuah desa kecil pesisir Maluku, terlihat sendu. Perahu-perahu nelayan kecil yang berlabuh pada dermaga kayu di ujung desa, memancarkan bayangan di air yang tenang, seolah menyimpan cerita panjang perjuangan mereka. 

Di ujung dermaga kayu itu, persis di bibir pantai, Harun (bukan nama sebenarnya), seorang nelayan tradisional, duduk memeriksa jaringnya yang mulai usang. Ia menjahit ulang beberapa mata jaring yang sobek. Hari itu, ia tidak banyak berharap. “Ikan sekarang susah, apalagi alat tangkap kami kalah sama kapal-kapal besar dari luar,” ujarnya sambil menghela napas panjang.

Harun adalah gambaran dari ribuan nelayan Maluku yang hidup di tengah kekayaan laut luar biasa, namun terus bergulat dengan ketimpangan dan ketidakadilan. 

Dengan garis pantai yang panjang dan laut yang kaya, Maluku semestinya menjadi surga bagi para nelayannya. Namun kenyataannya, provinsi ini masih menghadapi tingkat kemiskinan yang tinggi, jauh dari harapan untuk menjadi lumbung ikan nasional yang sejati.

Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur: Peluang atau Beban?

Salah satu isu paling mendesak adalah skema Dana Bagi Hasil (DBH) sektor perikanan, yang dinilai tidak adil. Anggota DPR RI Dapil Maluku, Saadiah Uluputty, menyuarakan keresahan masyarakat di negeri para raja ini. 

“Kami daerah penghasil utama, tapi 80 persen dari DBH itu malah dibagi rata ke daerah lain, termasuk yang bukan penghasil. Ini seperti kami yang miskin malah menyubsidi daerah yang lebih kaya,” tegasnya di suatu kesempatan.

Bagi Harun dan nelayan lain, ketimpangan ini terasa seperti luka yang terus menganga. Hasil kerja keras mereka seolah mengalir ke tempat lain, sementara mereka sendiri harus berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Kami ini cuma dapat sisa,” keluh Harun, menggambarkan ironi di balik kekayaan laut Maluku.

Pemerintah telah memperkenalkan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023. Namun, di mata Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, implementasinya masih jauh dari ideal. 

“Sebanyak 95 persen izin usaha perikanan diberikan kepada perusahaan luar, sementara masyarakat lokal hanya jadi penonton di tanah sendiri,” ujarnya dengan nada prihatin.

Kritik ini diamini oleh Burhanudin Rumbouw, Ketua Ikatan Masyarakat Nelayan Maluku. Ia menyoroti bahwa kebijakan PIT cenderung menguntungkan korporasi besar dibandingkan nelayan tradisional. Di WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) 714, 715, dan 718, persaingan antara nelayan kecil dan kapal industri menjadi semakin tidak seimbang. 

“Kami ini berjuang pakai perahu kecil, sementara mereka datang dengan kapal besar dan alat tangkap modern. Mana bisa kami menang?” tutur Harun sembari menyeka peluh yang membasahi dahi.

Transhipment: Kapal Asing, Ikan Pergi

Di tengah tantangan yang dihadapi nelayan lokal, muncul pula isu transhipment atau alih muatan hasil tangkapan ikan di tengah laut Maluku. Praktik ini memungkinkan kapal-kapal besar, kebanyakan dari luar daerah atau bahkan luar negeri, untuk memindahkan hasil tangkapannya ke kapal lain tanpa melalui pelabuhan di Maluku. Dampaknya? Pendapatan yang seharusnya menjadi bagian dari daerah justru hilang.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2Next page

Berita Serupa

Back to top button