
Pagi itu, langit di kawasan Leitimur Selatan masih kelabu, embun tebal belum juga enyah dari dedaunan hutan di sekitar. Di tengah dingin yang menusuk, seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun menyusuri jalan berbatu, ditemani suara gemericik sungai kecil yang mesti ia seberangi setiap hari untuk berangkat ke sekolah.
Sebut saja namanya Noel, dan pagi itu ia tidak sendiri. Seekor anjing kampung berwarna cokelat gelap selalu setia membuntutinya sejak dari rumah, berjalan tanpa suara, nyaris seperti bayangan.
Tapi hari itu berbeda. Anjing yang biasanya jinak itu tiba-tiba menggonggong keras dan menyerang. Noel jatuh, menangis, lengan kirinya digigit cukup dalam. Ibunya, Mama Lina —bukan nama sebenarnya— berlari dari ujung rumah mereka saat mendengar teriakan, panik, menggenggam anaknya sambil memukuli anjing itu dengan sepotong kayu.
Darah bercucuran, bukan hanya dari luka Noel, tetapi juga dari hatinya sebagai ibu. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan, selain menangis dan berlari membawa anaknya ke puskesmas, yang jaraknya lumayan jauh dari sana.
Sementara di balik angka dan kebijakan yang dibacakan di ruang rapat pemerintah, ada rasa takut yang membeku di dada warga. Sejak awal tahun 2025, sebanyak 1.039 kasus gigitan hewan penular rabies tercatat di Kota Ambon.
Berdasarkan data yang dipaparkan Pejabat Sekretaris Kota (Sekkot) Ambon, Roby Sapulette saat menghadiri pembukaan persidangan ke-13 klasis Pulau Ambon Timur (PAT) di Jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) Rutong, Kecamatan Leitimur Selatan, Senin, 3 Maret 2025, dia menyebut kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 1.039 kasus, tiga diantaranya meninggal dunia.
Data terakhir disampaikan Wali Kota Ambon, Bodewin Wattimena, ketika memimpin apel pagi, Jumat, 25 April 2025, sudah enam nyawa telah melayang.
Tapi di setiap rumah sederhana di gang-gang kecil pemukiman mayoritas warga non Muslim, seperti rumah Mama Lina, jumlah itu lebih dari sekadar statistik. Itu adalah nama, wajah, anak, ayah, saudara, dan tetangga mereka.
Ketua Komisi I DPRD Kota Ambon, Aris Soulisa, menyebut dengan tegas pentingnya sosialisasi rabies kepada masyarakat. “Kalau warga tahu lebih awal, mereka bisa menyelamatkan diri, mereka tahu harus ke mana,” katanya.
Belakangan muncul keputusan keras dari Wali Kota Bodewin Wattimena. “Kalau anjing tak dikurung, akan kami tembak mati di tempat,” ujarnya dalam apel pagi. Pernyataan itu menggemparkan. Banyak warga terkejut, bahkan ada yang marah. Tapi sebagian yang lain justru lega. Mereka butuh perlindungan, mereka tak ingin anak mereka menjadi korban berikutnya.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi