Oleh: M. Jen Latuconsina (Akademisi Universitas Pattimura Ambon)
Figur Andrea Hirata Seman Said Harun, yang populer dengan nama Andrea Hirata, yang hits melalui novelnya “Laskar Pelangi” di tahun 2005, lantas difilmkan di layar lebar dengan judul yang sama pada tahun 2008 mengatakan bahwa, “sastra adalah muara dari segala keindahan.”
Bahkan Gilbert Keith Chesterton (1874-1936) salah seorang penulis berkebangsaan Inggris, yang hits melalui cerita pendeknya “The Blue Cross” di tahun 1910 lampau mengatakan secara gamblang bahwa, “sastra adalah sebuah kemewahan, fiksi adalah sebuah kebutuhan.”
Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk karya Abdul Malik Karim Amrullah, yang populer dengan sapaan Hamka ini, bukanlah sebuah novel yang baru saya beli lantas saya baca di awal tahun 2022 ini. Melainkan membeli baru di Gramedia Trans Mall Makassar pada Rabu 18 Januari 2022 kemarin, untuk menggantikan yang lama, yang sudah terendam banjir yang melanda kediaman saya, tatkala Ambon diguyur hujan lebat seharian pada 1 Agustus 2012 lalu. Pertama kali saya membeli novel karya Hamka ini, jauh sebelum diangkat ke layar lebar di tahun 2013 lalu.
Tatkala saya sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN), untuk merampungkan studi S1 Ilmu Pemerintahan di Fisip, Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, di Kota Administratif (Kotif) Palopo, Sulawesi Selatan di penghujung tahun 2000 lampau.
Saya meluangkan waktu bersama kawan saya, Alfian mahasiswa Fakultas Hukum Unhas asal Kota Samarinda, Kalimantan Timur, untuk ke Pasar Andi Tada, yang terletak di Jalan Ahmad Yani. Melihat tokoh buku dipasar ini singgalah saya, dan saya pun tertarik membaca judul novel karya Hamka yang dipajang di situ.
Sekilas membaca kontennya dan saya pun membelinya. Saat dibeli, novel karya ulama besar ini, cover novelnya masih berwarna biru tua-muda, dengan penerbit Bulan Bintang, tahun terbit 1990-an, dan jenis kertasnya warna krem.
Berbeda jauh dengan terbitan baru dari Gema Insani pada tahun 2017, dimana kualitas kertanya berwarna putih dan lebih bagus. Meskipun jenis kertas pada terbitan Bulan Bintang itu tidak terlampau bagus, namun konten novel ini bagus, dimana kisahnya romantik antara Zainudin dan Hayati. Sebuah kisah lawas yang populer sejak dahulu kala.
Saat balik ke Ambon, di sekitar tahun 2002 saya masih sempat melihat karya lawas Hamka tersebut, yang dijual di salah satu lapak buku Islami dipelataran pertokoan yang bersebelahan dengan Masjid Raya Alfatah di Jalan Sultan Babullah, Ambon.
Cover novelnya masih berwarna biru tua-muda, dengan penerbit Bulan Bintang. Lantaran bagus karya ulama yang pernah ditahan pada era rezim Soekarno di tahun 1964 ini, saya pun menghunting karyanya yang lain yakni, “Di Bawah Lindungan Ka’bah” jauh sebelum karya sastra ini difilmkan ke layar lebar di tahun 2011 dengan judul yang sama dengan novel itu.
Mendapatkan karya lawas ulama kelahiran Sungai Batang, Tanjung Raya, Sumatera Barat ini tidak perlu jauh hingga ke Pasar Andi Tada Kotif Palopo, Sulawesi Selatan sana, melainkan membelinya di salah satu lapak buku Islami di pelataran pertokoan yang bersebelahan dengan Masjid Raya Alfatah di Jalan Sultan Babullah, Ambon, lokasi yang sama dipajangnya novel lawas Tenggelamnya Kapal Van der Wijk tersebut di tahun 2004 lalu. Konten novelnya juga romantik, dimana kisahnya antara Hamid dan Zainab.
Lantaran “pamer” kepada salah seorang sahabat, yang kini telah menjadi ipar saya novel ini pun dipinjam dan tak pernah kembali lagi. Tak cukup sampai di novel Hamka saja yang saya hunting. Namun juga novel pengarang Angkatan Balai Pustaka, yang seangkatan dengan Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, Muhammad Kasim, dan Merari Siregar yakni, Marah Roesli juga saya cari. Ia merupakan salah satu penulis yang hits melalui karyanya Siti Nurbaya di tahun 1920 lalu. Ia oleh kritikus sastra Hans Bague Jassin diberi gelar Bapak Roman Modern Indonesia.
Novel karya kakeknya Harry Roesli ini sebelumnya saya hunting di tahun 2003 lalu, dengan judul La Hami, dimana karya sastra ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1953 lampau.
Saya menemukan novel ini di salah satu tokoh buku di depan Ambon Plaza, masih dalam terbitan Balai Pustaka, dengan tahun terbit 1997. Novel ini kisahnya tentang La Hami yang asal muasalnya adalah anak Raja, yang sengaja di buang dan ditemukan Ompu Keli.
Ia dibuang agar tidak menjadi penerus ayahnya Sultan Komarudin dari Kesultanan Bima.
Kisahnya humanis, tatkala saya membacanya diteras rumah tetangga sebelah rumah pun lewat matanya tertuju pada cover novelnya.
Ia lantas membaca judul novelnya keras-keras La Hami, dimana disangkanya figur dalam novel ini berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara sana. Novel La Hami karya Marah Rusli yang saya miliki tersebut, ternyata bernasib sama dengan novel karya Hamka Tenggelamnya Kapal Van der Wijky, yang pertama kali saya beli di tahun 2000 lalu di Toko Buku di Pasar Andi Tada, Kotif Palopo, Sulawesi Selatan.
Keduanya tercebur banjir di kediaman saya, tatakala Ambon diguyur hujan seharian pada 1 Agustus 2012 lalu. Namun lebih malang nasib novel La Hami yang basah dan menjadi bubur. Sedangkan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk masih ditemukan dalam kondisi basah lantas kering dan sudah mengeras, dimana sudah tidak bisa dibuka untuk dibaca lagi.
Meski sudah membaca novel-novel lawas itu, tapi masih ada ekspetasi untuk menghuntingnya kembali. Barangkali ini kebalikan dari ungkapan Eveline Kartika, penulis novel Serpihan Bintang di tahun 2009 lalu bahwa, “saat serpihan kenangan perlahan menghilang… Itu pasti karena waktu.” Tak cukup kenangan, tapi perlu dihadirkan kembali karya-karya itu.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi