Kutikata

Mari Rapat Kamari

KUTIKATA

Oleh: Elifas Tomix Maspaitella (Eltom) – Pemerhati Sosial


Kita sudah dibiasakan dengan “bapanggel” (=mengajak) supaya “rapat” (=berdekatan, menyatu) atau agar “jang jao-jao” (=jangan berjauhan).

Mari rapat kamari” (=mari mendekat ke sini) merupakan ajakan untuk “rapat/bakudekat” (=mendekat) supaya “jang jao-jao” (=jangan terpisah jauh). Ajakan ini sering lahir dari rasa rindu untuk “jadi satu” (=menyatu), sering pula menjadi tanda “bakubae” (=berbaikan, berdamai), karena “bakalai, bakupukul” (=berkelahi, berantam) itu bisa membuat “katong tapisah” (=memisahkan kita). Jadi ajakan itu bermaksud agar “jang ada jurang” (=jangan ada jurang/halangan) karena bila “tapisah” (=terpisah), kadang “setang maso tengah” (=setan masuk di tengahnya; ungkapan ini bermakna adanya peluang godaaan).

Mari rapat kamari” juga merupakan ajakan yang didorong oleh kasih sayang, seperti “mama baru abis marah ana lalu panggel mari rapat kamari” (=seorang ibu yang baru saja memarahi anaknya lalu memanggilnya mendekat).

Ada beberapa tujuannya, seperti:
Satu: “mari mama buju” (=mama membujuk) sebagai tanda kasih sayang, “mama seka aer mata” (=mama menghapuskan air mata anaknya), “goso-goso kapala” (=mengelus kepalanya), “mama pangko lalu mama polo” (=duduk di pangkuan mama lalu dipeluknya).

Tindakan ini dalam kelaziman bahasa “basudara di tanah Hitu” disebut “heka hiti” (=mengangkat anaknya dan menggendong seperti seorang mama, menyandarkan anaknya di dadanya, karena dahulu ia menyusuinya, sebagai tanda cinta kasih, sambil mencium kepala anaknya berulang-ulang sebagai bentuk doanya agar anaknya kelak tidak melakukan kesalahan lagi).

Dua, “supaya dudu rapat-rapat la mama mau bicara” (=duduk mendekat karena mama mau memberi nasehat). Maka ajakan “mari rapat kamari” menjadi suatu bentuk pendidikan keluarga, pendidikan karakter, bahwa anak tidak boleh “malawang orangtotua” (=melawan orangtua). Dan biasanya ajakan ini timbul setelah anak itu “tatongka salah” (=berhadapan dengan dampak kesalahannya), lalu menyesal dan “taku mama/papa” (=takut untuk mendekati papa/mamanya).

Sadar diri/tau diri” (=menyadari diri atas kesalahan yang dibuat) merupakan hal yang penting, karena “orangtotua su ulang paleu kase tau” (=orang tua telah berkali-kali menasehati). Jadi “kalu ulang paleu biking salah” (=jika terus menerus melakukan kesalahan), maka “bukang orangtotua marah la user” (=bukan orang tua marah dan mengusir), “mar tagal tau diri la jao” (=karena sadar makanya menjauh). Tetapi dengan ajakan “mari rapat kamari” inisiatif untuk “bakubae/biking bae” itu datang dari orang tua.

Sungguh, pada ajakan itu terkandung rasa sayang yang “su seng tau mau bilang akang bagmana lai” (=tidak mampu melukiskan rasa sayang orangtua itu dengan kata-kata).

Tuhan seperti itu juga. Karena “rasa sayang” lalu tetap memanggil kita “mari rapat kamari“. Jadi “kalu tau ada biking salah buku mai, mari rapat par Antua” (=bila ada melakukan kesalahan besar, mendekatlah padaNya).

Salamat Har’ Sadu
Salamat konci usbu
Pastori Ketua Sinode GPM Jln Kapitang Telukabessy-Ambon


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button