PendapatSosok

Mahfud MD Jalan Sukses Tamatan PGA

Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pattimura

Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA (Dosen Fakutas Ilmu Sosial Ilmu Politik – Universitas Pattimura)


“Man jadda wajada”. Kata-kata ini merupakan pepatah Arab terkenal, yang memiliki makna “barang siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan mencapai tujuannya”. Pepatah populis yang berasal dari Asia Barat tersebut, rupanya sesuai dengan  kisah perjalanan Mahfud MD dalam meraih impiannya. Ia sejak masih belia sudah serius mengeyam pendidikan. Sesuatu yang tidak sia-sia ia lakukan, dimana membuahkan hasil dikemudian hari, dengan sukses menoreh  berbagai prestasi dalam dunia pendidikan, politik, hukum, dan pemerintahan di republik ini.

Terlepas dari itu, banyak para generasi muda Indonesia, yang sejak tahun 1960-an lampau menempuh Madrasah Tsanawiyah (MTS) Pendidikan Guru Agama (PGA), yang selevel dengan Sekolah Lanjutan Menengah Pertama (SLTP). Mereka pun banyak yang melanjutkan ke jenjang Madrasah Aliah (MA) setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) kejuruan maupun umum sampai dengan menempuh kuliah pada Perguruan Tinggi (PT) bidang pendidikan. Harapannya mereka bisa sukses menjadi guru.

Salah satu diantara sekian generasi muda kalah itu adalah Mahfud MD. Ia menempuh pendidikan pada MTS PGA Pamekasan, Pulau Madura di sekitar tahun 1970-an lampau. Meski pun demikian, ternyata dinamika karier Mahfud pada masa yang akan datang tidak linear dengan ia menjadi guru pada sekolah formal Islam, menjadi ustad hingga bekerja di kantor wilayah kementerian agama provinsi dan kabupaten/kota.

Mahfud MD lahir pada 13 Mesi 1957 di Omben, Sampang, Pulau Madura, Jawa Timur. Ia lahir dari pasangan Mahmodin dan Siti Khadijah. Ayahnya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di daerah Omben, Sampang. Pada saat menginjak usia dua bulan, keluarganya pindah ke Waru Pamekasan. Di Waru, ia menghabiskan masa kecilnya.  Kala itu, surau dan madrasah diniyyah adalah tempat Mahfud belajar agama Islam. Ketika berumur tujuh tahun, ia dimasukkan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN). Sore harinya, ia belajar di Madrasah Ibtida’iyyah (MI).

Ia mengeyam pendidikan di sekolah Islam, ini sesuai dengan latarbelakang keluarganya yang santri. Potret sosial keluarganya itu mengingatkan pada tesis Clifford Geertz (1926-2006) dalam “The Religion of Java”, salah satunya adalah santri disamping abangan, dan  priyayi yang populer dengan istilah trikotomi. Penelitiannya di Mojokuto, Pare, Kediri, Jawa Timur ini. Ia menarasikan tipologi santri bercirikan keluarga Islam taat, mata pencahrian pedagang, dan anak-anak mereka mengeyam pendidikan di sekolah-sekolah santri, dimana beda karakter sosialnya dengan priyayi dan abangan.

Selanjutnya, malam sampai pagi hari, ia belajar agama di surau. Mahfud lalu dikirim ke  pondok pesantren Somber Lagah di Desa Tegangser Laok, untuk mendalami agama. Ketika itu ia masih kelas 5 SD. Sekolahnya pun ia lanjutkan di sana. Pondok Pesantren Somber Lagah adalah pondok pesantren salaf yang diasuh Kiai Mardhiyyan, seorang kiyai keluaran Pondok Pesantren Temporejo atau Temporan. Pondok pesantren itu sekarang diberi nama Pondok Pesantren al-Mardhiyyah, memakai nama pendirinya, Kiai Mardhiyyan, yang wafat pertengahan 1980-an.

Meski nilai ujiannya bagus, Mahfud tidak melanjutkan sekolah ke SMP favorit. Orang tuanya memasukkan dia PGA Negeri di Pamekasan. Sehabis menamatkan PGA selama empat tahun pada 1974, Mahfud terpilih untuk melanjutkan ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). PHIN merupakan sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama di Yogyakarta, yang merekrut lulusan terbaik dari PGA dan Madrasah Tsanawiyah seluruh Indonesia.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2Next page

Berita Serupa

Back to top button