Libido Para Pencari Kebenaran Ilmiah
Oleh : Dr.M.J. Latuconsina,S.IP,MA (Staf Dosen Fisipol, Universitas Pattimura)
“Semua masalah penting yang kita hadapi tidak bisa dipecahkan dengan tingkat pemikiran yang sama dengan yang menciptakannya”. (Albert Einstein).
*
Dalam khasanah ilmu pengetahuan (science) kita tidak asing dengan figure Carl Gustav Jung, dia adalah seorang psikiater sekaligus perintis psikologi analitik berkewarganegaraan Swiss, kelahiran Kesswil, pada 26 Juli 1875 lantas meninggal di Küsnacht pada 6 Juni 1961 lalu.
Dia secara spesifik mendefenisikan diksi “libido” “sebagai energi psikis yang dimiliki individu, untuk digunakan untuk perkembangan pribadi atau individuasi”.
Diksi yang dimaknai Carl Gustav Jung, dapat kita transformasikan ke dalam perspektif filsafat ilmu, dengan tidak secara letterlijk mengadopsi pengertiannya secara utuh, melainkan dalam perspektif “libido para pencari kebanaran ilmiah”.
Mengapa “libido” para pencari kebanaran ilmiah” ? karena ada sebagian orang dengan otoritas otaknya yang “otoriter” memaksakan pikiran-pikirannya untuk kita ikuti. Padahal kebenaran ilmiah itu, bukan monopoli orang per orang, yang mesti dipaksakan untuk mengikuti jalan pikiran mereka.
Tentu jika secara terus menerus dipaksakan ini namanya suatu “imprealisme berpikir”, yang tidak perlu ada. Hal ini dikarenakan pikiran-pikiran manusia itu sangat majemuk sedari penciptaannya oleh Tuhan, sehingga tidak bisa dipaksakan untuk menjadi “monolistik”. Biarlah pikiran-pikiran manusia itu majemuk, berjalan apa adanya, tanpa adanya “imprealisme berpikir”.
Tentu media sosial seperti facebook bukanlah ruang, untuk memaksakan kita guna berpikir illmiah, karena di media sosial itu adalah ruang mini, yang terbatas untuk beberapa bait kata dan kalimat saja.
Ruang yang luas untuk kita berpikir ilmiah adalah makalah, paper, jurnal, skripsi, tesis, disertasi, dan buku, yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Jika kita memaksakan, agar berpikir illmiah untuk membahas sesuatu di media sosial tentu lain, dimana dipastikan ada agenda lain, yang coba disetting untuk mendapat perhatian para nitizen, terkait dengan wacana-wacana yang tidak populer, dimana dicoba untuk didiskusian agar mendapat legitimasi para nitizen.
Jika ini agendanya, maka tentu itu adalah propaganda, yang tujuannya adalah membuat “distorsi”, dengan target mengikuti jalan pikiran mereka, yang naïf ditengah-tengah dinamika zaman yang telah mengalami lompatan peradaban, dengan nilai-nilai trust (kepercayaan) yang lebih dikedepankan ketimbang membuat suatu “distorsi”, yang bukan merupakan pendidikan politik yang baik, dan tidak mendapat simpati penuh dari para nitizen, melainkan mereka menganggapnya sebagai suatu “joke politik”, yang dibiarkan saja ada dan tak perlu ditanggapi secara serius, karena jika ditanggapi secara serius maka secara politik mencoba membesarkan agenda-agenda mereka.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi