Pendapat

Ventilator: Gelap dan Misterius

BERJALAN DALAM BAYANG-BAYANG COVID-19 (20)

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-20 dari tulisan bersambungnya.

Tanggal 31 Maret 2020, menjelang siang hari. Saya sudah mempersiapkan diri. Bila hidup berakhir di sini, saya siap. “Anak-anak dijaga dengan baik yah,” kata saya pada Retno sebelum video call kami tutup. “Tolong bilang mereka, “Daddy love them so much,” lanjut saya. Retno tetap berusaha tegar. Tidak ada sebutir air mata pun yang jatuh dari matanya. “Harus tetap kuat yah. Anak-anak menunggu,” pinta Retno di balik layar.

“Nanti kalau si kecil lahir, kalau laki-laki, namakan dia mengikuti nama Pak Joe Fischer dan campuran nama Bapa Edu-Kakung. Jangan lupa pakai Lattu,” pesan saya pada Retno. Bapa Edu adalah nama ayah saya, Eduard Lattu. Nama Kakung (Ayah Mertua) saya adalah Bambang Wirawan. Sejak rencana punya anak lagi, kami sudah ingin menggabungkan dua nama ini, jika anak ketiga kami laki-laki.

Pak Joseph Fischer adalah suami dari pembimbing disertasi saya di Berkeley, Ibu Clare Fischer. Pak Joe adalah orang yang mengajarkan saya untuk menulis disertasi dari hati. “Tulis disertasi yang dekat di hatimu. Disertasi itu akan menjadi pencarian akademik dan pengembaraan pribadi,” kata Pak Joe.

Saya masih berkeras ingin menulis disertasi tentang Keindonesiaan dan Pancasila. “Pancasila sudah banyak ditulis. Narasi tentang perdamaian di Maluku belum banyak. Tulis tentang Maluku saja,” lanjut Pak Joe. Tahun 2011 ketika ide disertasi ini ditulis, pada aras internasional, memang persoalan perdamaian di Maluku masih belum banyak ditulis pada aras internasional.

Apalagi yang menulis anak Maluku sendiri. Masih Bisa dihitung dengan jari. Sangat sedikit disertasi insider (orang Maluku) tentang perdamaian ini. “Keahlian yang keluar dari hati, lebih baik dari sekedar logika. Bangun keahlian dari hati,” tegas Pak Joe di meja makan rumah mereka di Fulton St, Berkeley, California. Di rumah in, saya, Retno dan anak-anak selalu diundang makan pada saat Thanksgiving, perayaan pengucapan syukur Masyarakat Amerika Serikat.

“Jika nanti yang lahir perempuan, tetap pakai Lattu dan kasih nama gabungan Ibu Clare dan Ibu Sylvia,” lanjut saya kepada Retno. Ibu Clare Fischer dan Ibu Sylvia Tiwon adalah dua profesor yang membimbing disertasi saya di The Graduate Theological Union sekolah teologi yang berafiliasi dengan The University of California, Berkeley (Cal). Mereka adalah perpaduan antara guru dan Ibu.

Screen Shot 2021 03 25 at 18.42.23
Ilustrasi, Peta Berkeley, California, Amerika Serikat.(Foto: Dok. Google)

Ibu Clare dengan sabar mengarahkan saya untuk menghasilkan perspektif disertasi yang berbeda dari ahli lain. Fokus penelitian beliau tentang Hannah Arendt, filsuf dan sosiolog yang menulis banyak tentang narasi Orang Yahudi. Perspektifnya tentang membangun pengetahuan dari tindakan dan kehidupan (vita activa et vitae) menjadi pedoman keilmuan saya sampai sekarang.

Pak Joe dan Ibu Clare, dua profesor beretnis Yahudi-Amerika ini sama-sama mencintai Indonesia. Tahun 1950-an ketika UGM mulai dibangun, Pak Joe dan Ibu Clare ikut datang membantu pengembangan UGM. “Mobil Land cruiser saya dulu dipakai Presiden Soekarno ketika datang ke Yogya tahun 1950-an,” kenang Pak Joe waktu itu. Rumah mereka penuh ornamen Indonesia dari berbagai daerah. Salah satu Tifa Maluku, kenang-kenangan dari Bapa Manu Siaila, sepupu Mama saya, di Titawaai juga menghiasi ruang koleksi Pak Joe dan Ibu Clare.

Ibu Sylvia adalah orang Indonesia yang sudah puluhan tahun menjadi profesor di Cal Berkeley. Dari profesor campuran Manado, Belanda, dan Ambon ini, saya belajar tentang tradisi lisan dan pengetahuan lokal (folklore). “Pengetahuan tidak hanya datang dari teori besar, tetapi juga dari bagaimana ikan pindan dijual di
pasar,” kata Ibu Sylvia di kelas-kelas kami.

Bersama Ibu Sylvia, saya mengerjakan proposal Rajawali Scholarship yang membawa saya menulis disertasi di Harvard University selama satu tahun, 2013 – 2014. Waktu itu, beasiswa Fulbright dari Pemerintah Amerika Serikat untuk mahasiswa S3 hanya cukup untuk tiga tahun. Kampus tempat saya mengajar di Indonesiapun tidak dapat membantu saya. Beasiswa tahun keempat sampai lulus harus dicari sendiri.

“Jangan sampai terlambat mengirimkan proposal. Ingat, waktu pantai timur Amerika lebih cepat dua jam dari pantai barat,” tegas Ibu Sylvia sambil berdiri menunggu saya kirim proposal. Ibu Sylvia memberikan sentuhan akhir bagi proposal itu dan memastikan saya mengirimkannya tepat waktu. Dua perempuan hebat ini adalah palu dosen yang menajamkan pikiran dan senyum Ibu yang memotivasi mahasiswa.

“Saya dimakamkan di mana saja terserah kamu yah,” pinta saya pada Retno. Waktu itu, kami belum tahu korban Covid-19 dimakamkan terpisah. “Cari tempat supaya kamu bisa dimakamkan di samping aku satu waktu,” tambah saya. Retno berusaha tersenyum meski hatinya berontak. “Kalaupun dikremasi, pastikan abunya disimpan di rumah sampai ‘saatmu’ lalu ditaruh di satu tempat bersama,” ujar saya
lagi.

Terjadi pertempuran hebat antara semangat untuk hidup dan melihat wajah kematian dari jauh. Ketidaktahuan terhadap ventilator dan sikap positif Retno memberikan saya optimisme serta harapan untuk sembuh. Angka kematian pasien Covid-19 pada bulan Maret 2020 itu membuat saya berpikir realistis tentang
kemungkinan terburuk.

Pukul 11 siang, tanggal 31 Maret 2020, perawat kembali lagi ke ruangan. “Saatnya ventilator dipasang,” pikir saya dalam hati. Benar saja, setelah minta ijin, perawat mendorong tempat tidur saya ke ruangan lain. Saya tetap berada di tempat tidur ketika perawat itu mulai mendorong. Melewati beberapa ruangan, kami
sampai di satu ruangan cukup besar.

Ruangan baru ini ternyata Intensive Care Unit (ICU) khusus Covid-19 di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Ruang itu lebih besar, bercat putih. Seluas 10 x 8 meter, kira-kira begitu ukuran ICU room ini. Dua toilet berada di depan dan belakang ruangan ini. Enam tempat tidur berjejer teratur di dalam ruang ICU. Masing-masing tempat tidur dipisahkan dengan korden berwarna hijau yang dapat digeser.

Hari itu saya tidak melihat pasien lain di dalam ruang ICU. Barangkali tertutup korden. Mungkin saya tidak menyadari karena baru saja masuk ke ruang baru itu. Bisa jadi pasien yang sebelumnya dilayani sudah tidak ada lagi di sana. Bisa karena sembuh atau tidak sembuh sama sekali. “Saya pasti bisa sembuh. Tuhan tolong saya,” tegas saya dalam hati. Saya berusaha menyemangati diri sendiri. Sekuat tenaga mendorong keluar iman, harapan dan kekuatan terdalam dari diri. “Tunggu sebentar yah Mas, ventilator sedang disiapkan,” jelas perawat yang mendorong tempat tidur saya tadi. Saya hanya menjawab dengan mengangguk.

Sungkup yang menutup hidup dan mulut tidak memungkinkan saya mengeluarkan suara. Perawat itu menuju pintu keluar, dan hilang dari pandangan saya. Entah berapa lama saya menunggu proses menuju pemasangan ventilator. Setelah perawat keluar, saya tertidur sebentar. Jadi, tidak tahu berapa lama saya sudah
menunggu proses itu.

protective suit 5716753 1280
Ilustrasi perawat menggunakan APD.(Foto: Helena Jankovičová Kováčová dari Pixabay)

Saya tidak dapat lagi menghubungi Retno. Telpon genggam sudah saya masukan ke dalam tas punggung warna biru yang selalu setia menemani saya. Ingatan dalam pikiran tentang manisnya hidup bersama Papa-Mama di pojok-pojok Pulau Seram saya putar dan hidupkan kembali. Senyum manis Retno dan Jessy-
Jenny saya ingat dan pasang dalam pikiran saya.

Drama pikiran (theater of mind) saya pakai sekuat tenaga untuk menghidupkan harapan. “Virus Covid-19 menyerang imun. Untuk melawan virus ini, imun harus diperkuat,” begitu kata beberapa video di youtube yang saya dengar.

Drama pikiran tentang manisnya kehidupan dan orang-orang yang dicintai saya perkuat penampilannya dalam pikiran saya. Hanya bagian manisnya kehidupan yang berusaha saya ingat. “Ini akan memperkuat imun dan harapan,” pikir saya waktu itu.

Sejak dinyatakan positif, Covid, saya berusaha hanya mendengar berita baik tentang kesembuhan pasien Covid-19. Bagaimana mereka menghadapi Covid-19? Apa yang membuat mereka kuat bertahan? Bagaimana mereka bisa sembuh? Hanya ini yang saya dengar setiap saat, di samping lagu-lagu rohani. Semua berita negatif tentang Covid-19 saya hindari. Saya hanya mencoba mendengar berita baik untuk
mengembangkan sikap dan pikiran positif.

“Selamat siang Mas,” kata tenaga medis yang datang siang itu. Kembali, saya hanya mengangguk. Dari suaranya, saya tahu ini tenaga medis berbeda. Dengan baju APD lengkap, menggunakan pelindung diri lengkap; sarung tangan plastik, sepatu boots, dan helm pelindung diri warna kuning. Tenaga medis itu merapat ke tempat tidur saya. Dia melihat kondisi saya sebentar dan mempersiapkan alat-alat medisnya.

“Ventilator harus kami pasang. Jadi, Mas harus dibius yah. Apakah kami diijinkan membius?” tanya petugas medis tadi. Saya mengangguk kepala sebagai tanda bersedia. Sebelumnya, Billy, mewakili keluarga, dengan sepengetahuan Tantenya, Retno, sudah menandatangai ijin agar rumah sakit dapat memasangkan
ventilator pada saya. Itu memang jalan satu-satunya waktu itu untuk sembuh.

Paru-paru saya sudah dipenuhi cairan akibat virus Covid-19. Sistem kekebalan tubuh salah mengenal virus. Semua bagian di paru-paru diserang karena dianggap berbahaya. “Tentara” kekebalan tubuh menjalankan fungsinya, tetapi menyerang sasaran yang salah. Sistem kekebalan tubuh saya belum mengenal virus Covid-19. Serangan itu menyebabkan paru-paru penuh dengan cairan.

Pasien Covid-19 mengalami kesulitan bernafas karena penumpukan cairan ini. Makin lama, cairan makin banyak sehingga persentase saturasi, oksigen dalam darah, menjadi semakin kecil. “Perlu alat bantu supaya bisa bernafas dengan lebih baik,” saya ingat penjelasan perawat di rumah sakit Kaki Merbabu ketika pertama
kali memasangkan nasal pada hidung saya.

“Saat paru-paru dipenuhi air, pasien menjadi seperti orang tenggelam,” jelas Retno setelah saya sembuh. Paru-paru tidak berfungsi secara baik. Jalan satu-satunya adalah memasangkan ventilator sehingga oksigen dapat masuk ke dalam tubuh pasien. Hanya dengan menggunakan ventilator ini, pasien Covid-19 berat seperti saya bisa sembuh. Kemungkinannya sangat kecil, tetapi ini satu-satunya jalan. Tidak ada jalan lain lagi.

“Permisi yah,” kata tenaga medis itu membuka sungkup saya. Karet-karet sungkup dilepaskan. Sungkup diletakan di samping tubuh saya. Entah obat apa yang diberikan kehidung saya waktu itu. Saya merasa lubang hidung saya disentuh. “Obat apapun ini dari diberikan dokter ini, yang penting saya bisa sembuh, “pikir saya
waktu itu. Sekitar dua sampai tiga kali, hidung saya diusap dengan obat bius itu.

Pandangan saya makin lama makin meredup. Saya mungkin sudah tertidur ketika tenaga medis belum selesai mengusapkan obat bius. Bisa jadi saat petugas itu masih berdiri di samping tempat tidur, saya sudah tidak sadar. Saya tertidur tanpa tahu kapan petugas medis itu meninggalkan ruangan.

Dosis obat itu pasti tinggi. Sekitar pukul 12 siang tanggal 31 Maret 2020 itu, saat terakhir saya melihat sinar lampu. Saya ditidurkan dengan obat bius itu selama lebih dari satu minggu. Ventilator dipasangkan pada mulut saya. Apa yang terjadi setelah itu, gelap bagi saya.

(Bersambung besok)

 

 

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button