Kutikata

Jang Tawar Hati

KUTIKATA

Oleh: Eltom (Pemerhati sosial)


Seng usah tawar hati par lia beta su macang bagini, tagal beta pasti kuat, kas’ tinggal dong bicara iko dong suka sa jua” (=jangan terbeban perasaan atas keadaanku yang begini, karena saya pasti kuat, biarkan saja apa kata mereka). Ungkapan itu sering disampaikan kepada seseorang yang tidak puas/marah orang berkata/berlaku buruk kepada saudaranya. Karena itu ungkapan “jang tawar hati” tergolong pula sebagai semacam teguran/larangan halus supaya tidak terjadi hal yang tidak diharapkan.

Sebab itu, bila teguran itu dipatuhi, saudara itu selalu berkata: “untung bae kata ale bilang bagitu, kalu seng tu dia par dia, beta par beta” (=untung anda berkata demikian/tegur, jika tidak maka saya untuk saya, dia untuk dia). Ini semacam ancaman untuk membuat perhitungan dengan orang yang berkata/berlaku buruk atas kita. Namun, anjuran “jang tawar hati” membuat situasi buruk itu dapat dicegah sejak awalnya. Budaya kita selalu menyediakan cara-cara ampuh guna mencegah timbulnya konflik besar. Ini menunjukkan bahwa “baku bae” (=damai) merupakan suasana kebathinan yang paling agung dalam relasi antar-orang di masyarakat kita.

Ungkapan “jang tawar hati” juga merupakan nasehat yang membimbing kita untuk peduli dengan sesama tanpa harus menghitung “dia pung sala dolo-dolo” (=kesalahannya yang lalu). Di sini penting “kas ampong” (=mengampuni), sehingga “seng usa inga hal dolo-dolo, akang su busu” (=tidak perlu perhitungkan hal yang sudah lalu, tidak ada faedahnya), sama dengan “jang babangke” (=jangan minta pamrih). Maka nasehat ini penting, mengingat adakalanya niat untuk menolong seseorang terhambat karena kita menghitung perbuatan orang itu, “dolo dia tar suka ose mo, jadi loko bawa buang dia” (=dulu dia tidak suka denganmu, jadi tidak usah pedulikan dia) atau “angka blempar dia” (=tidak usah peduli) atau “jang mister/brekeng deng dia” (=jangan perhitungkan/peduli dengannya). Dalam budaya kita, hal-hal itu telah dapat dicegah sehingga kepedulian kepada sesama tetap terwujud dan yang paling penting adalah “kas’ ampong” (=pengampunan/mengampuni).

Jadi kita tetap dapat berbuat baik dalam situasi apa pun kepada semua orang. Ikatan-ikatan sosial di antara kita benar-benar kokoh, dan nilai “hidop bae” (=kebaikan hidup) sebagai nilai kesosialan kita tetap menjadi cerminan jati diri. Dalam kondisi itu kita dapat menunaikan panggilan kita tanpa hambatan dari dalam diri sendiri. Sebab itu, nasehat “jang tawar hati” memampukan kita mengendalikan diri sendiri dan mengelolah suasana bathin agar kita mampu melakukan “apa wajibmu par samua orang” (=kewajibanmu untuk semua orang).

Ingatang, jang tawar hati par sudara. Busu-busu, sudara sa (=jangan tawar hati untuk saudara, sebab seburuk apa pun dia adalah saudaramu).

Jumat, 16 April 2021
Pastori Jemaat GPM Bethania, Dana Kopra-Ambon

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Lihat Juga
Close
Back to top button