Berapa hari lalu, sempat whassapan ke Usi Theo, yang dengan sangat – malu hati – cuma mau bilang untuk titip sagu seplastik. Sagu yang sudah siap jual di pasar ato toko Petak 9 Ambon. Seng ada ekspektasi apapun. Hanya berharap, karena setelah Covid melanda dan memilih untuk tidak pulang. Sagu adalah pelipur rindu yang lebih dari cukup, meski cuma berapa panggal saja.
Saat Usi Theo tiba di Labuan Bajo, dan di pojok ruang pertemuan. Dia buka tas dan mengeluarkan satu tas baribut yang sangat besar. Isinya potongan-potongan sagu – sebagian orang menyebutnya Sagu Lakar, sagu lempeng dan yang lain menyebutnya Sagu Porna. Porna atau forna adalah cetakan dari tanah liat yang digunakan untuk membuat sagu. Porna sendiri serapan dari bahasa portugis Forno yang artinya oven.
Sagu porna yang dibawa Usi Theo ini bentuknya kecil dibanding cetakan sagu normal yang pernah beta ingat. Saat dibuka ada aroma yang berbeda. Setidaknya bukan aroma sagu yang biasa dijual pada toko-toko. Ada sedikit bau hangus yang sangat akrab di hidung. Aroma hangus dari daun atau cetakan dan biasanya aroma ini hanya ditemui pada sagu porna yang baru dibuat. Minimal seminggu setelah dijemur aroma itu mulai menghilang.
Usi Theo bilang, ini Om Pierre yang pigi beli. Dan benar, Pierre konfirm kalo sagu yang dikirim adalah sagu yang dipesan ke pembuat. Yang membuat sagu ketika orderan itu datang.
Setidaknya, dari sagu yang dibawa, selain buku Percakapan Paling Panjang Perihal Pulang Pergi – yang masih saya baca pelan-pelan untuk mengikuti setiap bait- percakapan perihal pulang, telah membuka ingatan tentang heu-heu kecil di belakang rumah orang-orang di Pulau Seram. Tempat dimana, sagu porna dibuat, sagu tutupola diciptakan. Dan lagu “Mama Bakar sagu” tercipta. Kami, anak-anak kecil selalu berada di sekitar heu, sekedar berharap dari sekian forna, ada terselip satu atau dua forna yang berisi sagu gula merah yang bisa kami nikmati sore nanti dengan secangkir teh.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi