
Inna lillahi wainna ilaihi rajiun. Alfatiha. Hari ini, Maluku kehilangan satu lagi tokoh kuncinya, Drs. M. Nour Tawainella. Sosok intelektual, budayawan sekaligus sejarawan. Sosok sederhana, berkharisma dengan kepantasan keteladanan.
Setidaknya, tulisan beliau berjudul “Ketika Hati Nurani Bicara” yang diwariskan lewat buku “Carita Orang Basudara” (h. 227-237), relatif representatif menggambarkan pesona personalitas beliau.
Sementara, bagi masyarakat Tulehu, kepergian beliau adalah sebuah kehilangan yang teramat sangat. Betapa tidak, dalam amatan saya, beliau adalah sosok yang super duper langka bin tiada duanya di Tulehu. Dan, hingga hari ini, jejak pesona beliau hanya menjadi miliknya. Padalah jejak itu tampak demikian jelas.
Sebagai penghormatan atas kepulangan beliau, saya merasa terpanggil secara moral untuk mengutip beberapa pesan bertuah dari tulisan di dalam buku yang saya sebut di atas.
“Beta ingat, di tahun 1980-an, banyak “mama-mama” orang Tulehu, di atara mereka ada adik-adik dari ibu, pergi ke Saparua dan Nusalaut menjajakan jalan mereka. Di sana, di Saparua, Haria, Porto, Paperu, Mahu dan Titawae, mereka tidak dilayani dan disapa sebagai edagang asongan orang orang muslim, tetapi dilayani dan disapa sebagai “tuang hatii jantong,” (h. 228)
…. Ketika suatu ketika kenalan-kenalan mereka dari Ambon hendak ke Saparua tetapi terlambat motor, mereka pergi ke basudara “tuang hati jantong”-nya, bermalam sebagaimana mereka telah dilayani dengan ramah dan penuh persaudaraan oleh saudaranya di Saparua, Haria, Papreru dan Titawae,” (h. 229).
“Maka hubungan basudara — muslim Ambon — yang diwakili oleh muslim Tulehu dengan basudara Nasrani Saparuanya adalah satu diantara ratusan gejala kearifan lokal orang Maluku. Maka sesungguhnya barang siapa mendustakan realitas tersebut, dia telah melakukan dosa sejarah dan budaya yang tidak dapat dimaafkan oleh sejarah persekutuan basudara dalam gagasan kultur muslim dan Nasrani,” (ibid.).
“Pluralisme adalah kekayaan dan keindahan penciptaan. Menziarahi pluralisme adalah meziarahi eksistensi kemanusiaan yang mempesoan dan menggetarkan,” (h. 236).
Selamat jalan Pa Noer. Keteladanmu adalah warisan yang tiada ternilai bagi masyarakat Maluku dan terkhusus masyarakat Tulehu. Saya, dan mungkin Kita semua, dalam harap-harapa cemas berdoa semoga warisamu benar-benar benar menjadi cahaya — sebagaimana namamu, Noer — bagi para penjejak yang menapaki jejakmu, hidupmu dan kehidupanmu.
“Allahumma figlahu warhamhu wa’afihi wa’afu ‘anhu. Amin ya rabbal ‘alamin”.
Penulis: Zainal Arifin Sandia
Volunteer pada Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi