Oleh : Dr. M.J. Latuconsina,S.IP, MA (Staf Dosen Fisipol, Universitas Pattimura)
“Tak ada orang yang akan sukses jika tidak siap menghadapi dan menanggulangi kesulitan-kesulitan dan mempersiapkan diri memikul tanggung jawab.” (William John Henry Boetcker).
Terdapat sedikit dari para pimpinan, yang berada di negara dunia ketiga (berkembang), memiliki kepala pemerintahan/kepala negara, yang awalnya adalah pemberontak (gerilyawan) terhadap pemerintah di negara mereka masing-masing.
Sebegian kecil yang kemudian sukses menumbangkan rezim, yang berkuasa. Namun sebagian kecil juga mendapat amnesti dari pemerintah, lantas ikut serta dalam Pemilihan Umum (Pemilu), dan berhasil menjadi anggota parlemen, walikota, gubernur, menteri sampai menjadi presiden.
Sebut saja Prachanda seorang pemberontak (gerilyawan), yang aktif sebagai Ketua Partai Komunis Nepal, yang berhaluan Komunis-Maois. Selanjutnya Hun Sen seorang pemberontak, yang aktif di Khmer Merah Kamboja, yang berafiliasi Marxis-Leninis.
Kemudian Jose Mujica seorang pemberontak, yang aktif di Movimiento de Liberación Nacional-Tupamaros (MLNT) Uruguay, yang berhaluan Marxis-Leninis, dan Michel Djotodia seorang pemberontak, yang aktif sebagai pimpinan koalisi Seleka Republik Afrika Tengah, yang berhaluan Nasional Demokrat.
Rata-rata para pimpinan pemberontak ini, sukses mengambil alih dan mengakiri kekuasaan kepala negara/kepala pemerintahan di negara mereka melalui perang sipil. Bahkan ada diantara mereka, yang terjun langsung melalui Pemilu di negaranya, yang berada di kawasan Asia selatan, Asia tenggara, Amerika selatan dan Afrika tengah, setelah rekonsiliasi mereka dengan pemerintah di negaranya. Hingga mereka sukses menjadi perdana menteri, dan presiden di negara mereka. (Antara, 2013, Britannica, 2024, Wikipedia 2024).
Tidak hanya para pimpinan pemberontak di Nepal, Kamboja, Uruguay dan di Republik Afrika Tengah, yang sukses menjadi perdana menteri, dan presiden. Tapi juga terjadi di negara yang terletak di kawasan Amerika selatan yakni, di Kolombia.
Di negara penghasil kopi terbesar kedua di dunia ini, presidennya Gustavo Francisco Petro Urrego, yang populer dengan sapaan Gustavo Petro, dahulunya seorang pemberontak. Ia pernah memanggul senjata bersama kawan-kawannya di Movimiento 19 de Abril (M-19), yang berhaluan Marxis melawan Pemerintah Kolombia.
Gustavo Petro lahir pada 19 April 1960, di Ciénaga de Oro, sebuah kota kecil di wilayah peternakan dan perkebunan kapas di negara bagian Cordoba di barat laut Kolombia. Ia tidak menetap lama di tempat kelahirannya tersebut. Untuk penghidupan ekonomi keluarganya yang lebih baik lagi, Petro kemudian bersama keluarganya hijrah ke Zipaquirá, Cundinamarca sebuah daerah pertambangan garam, yang berada dipedalaman, kurang lebih 50 km (30 mil) timur laut Bogotá, ibu kota negara pengekspor minyak bumi tersebut.
Ia keturanan imgran Italia, kakek buyutnya, Francesco Petro, bermigrasi dari Italia selatan pada tahun 1870 lampau ke kawasan Amerika bagian selatan tersebut. Petro kecil hingga remaja menempuh sekolah dasar dan menengah di sekolah Katolik Colegio Nacional de La Salle, di Zipaquirá.
Petro pengagum Gabriel Garcia Marquez sastrawan tersohor asal negaranya, beraliran realisme magis, yang di ganjar Nobel Prize bidang sastra di tahun 1982. Kekagumannya, lantaran Marquez menempuh pendidikan awalnya di sekolah yang sama dengannya.
Usai menamatkan pendidikan menengahnya, Petro melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Externado Kolombia di Bogotá, dengan mengambil jurusan ekonomi, hingga ia meraih gelar sarjana ekonomi. Ia kemudian melanjutkan studi pascasarjananya di Escuela Superior de Administracion Pública (ESAP), Bogota dalam bidang administrasi publik, dan kemudian lulus. Ia lantas kuliah pascasarjana lagi di Universitas Javeriana, Bogota dalam bidang ekonomi hingga sukses meraih gelar magister.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi