Ia berangkat dari oase kecil dan bertransformasi menjadi besar. Ia bak gelombang yang tenggelam. Itulah sepenggal metafora yang pantas disematkan kepada Eliza Marten Kissya, Kepala Kewang Adat Haruku. Usianya sudah menginjak 71 tahun. Namun, semangat serta pengorbanannya masih terus bergelora hingga kini untuk menjaga alam di tanah leluhurnya, Negeri Haruku, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Pria tua yang sering disapa Eli ini memilih untuk mengabdi dan menghabiskan waktu di alam Haruku. Sebab, hutan dan laut menjadi sumber kehidupan yang pantas diselamatkan dari perilaku manusia yang syarat dengan keserakahan dan kejahatan.
Bertepatan dengan Peringatan Hari Pahlawan di 2020, di tepian sungai Negeri Haruku, Eli berkisah kepada tim Ekspedisi Maluku EcoNusa. Sudah 41 tahun dirinya mengabdikan hidup untuk menjaga hutan, laut, dan menjunjung tinggi kearifan lokal. Langkah ini semata-mata untuk menjaga warisan yang ditanggapi leluhur sejak ratusan tahun lalu.
Sembari duduk di sebuah kursi mini, di atas pasir putih berkilauan, Eli bertutur, sejak kecil ia sudah mengajar untuk menjaga alamnya. Eli pun tidak lanjut sekolah. Ia berpendapat, tanpa duduk di bangku sekolah rakyat pun setiap orang yang bisa menjaga alamnya asal memiliki keikhlasan mengabdi. Ketika memulai kiprahnya menjadi penjaga lingkungan di Haruku, dia menyadari bahwa tugas menjadi penjaga hutan dan laut (Kewang) itu berat. Terlebih kini di usianya yang tak lagi muda.
Di usia senjanya, alih-alih berhenti dan beristirahat, Eliza justru masih terus mengabdi kepada tanah leluhurnya dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga.
“Kewang itu pekerjaan berat. Kerja tanpa pamrih, tidak digaji, namun saya tetap mengabdi untuk alam. Kenapa? Karena, bumi adalah titipan Tuhan untuk anak cucu, ”kata penerima Penghargaan Kalpataru tahun 1985 ini.
Keberadaan Kewang di Negeri Haruku sudah ada sejak 1600. Jadi, jauh sebelum manusia-manusia modern dan ahli lingkungan hidup bicara soal berkelanjutan, konservasi, reboisasi, revitalisasi, Kewang sudah jauh lebih dulu bergerak untuk menjaga laut dan hutan melalui aturan adat, yakni sasi atau larangan.
Menurut para tetua di Haruku, diterapkan agar masyarakat tidak lagi mengeruk sumber daya alam secara berlebihan. Masyarakat Haruku percaya, menjaga alam sama dengan memakmurkan menciptakan dan anak cucu di negeri sendiri.
Kewang harus berjaga-jaga di hutan. Inilah salah satu bentuk sasi yang dilakukan. Misalnya, jika ada warga yang ingin tahu ke hutan memotong daun rumbia atau sagu untuk kebutuhan atap rumah, maka harus atas seizin Kewang. Hal itu tetap berlaku meskipun pohon dipotong adalah hak milik warga tersebut.
Setiap hari Jumat Kewang di Haruku menggelar sidang. Kita bicara banyak hal, termasuk jumlah pelepah sagu yang dipotong harus seizin Kewang. Karena sagu adalah kehormatan lokal kami yang harus dijaga. Jika lalai, generasi mendatang bisa-bisa tidak lagi mengenal sagu, ”sebut Eli.
Eli menambahkan, sasi yang paling terkenal di Haruku adalah ikan lumpat. Sasi ini merupakan perpaduan antara sasi laut dan sungai. Jadi, ikan laut dipanggil masuk ke dalam sungai. Sasi ikan lumpat ini pun ada tradisinya sendiri. Sebenarnya bentuk dan makna sasi banyak dan luas. Buah-buahan yang masih muda juga disebut sasi.
“Jadi sebelum kita lahir, kearifan lokal itu sudah ada. Hanya saja, kerap salah menerkanya. Sebab itu, mari menjaga dan memanfaatkan alam dengan arif, ”ajak Eli.
Eli juga menyinggung soal sampah laut. Ia berkata, dalam waktu-waktu tertentu, banyak sampah yang berserakan di laut Haruku yang berasal dari kampung lain. Jika hal itu sudah terjadi, maka semua raja-raja (kepala desa) harus duduk bersama, dan membuat aturan tentang larangan mencampakkan sampah di laut.
Pandangan terhadap misi pelestarian hutan dan laut yang dibawa oleh EcoNusa telah memasukkan daftar lembaga maupun komunitas yang bergerak melawan kejahatan lingkungan. Prinsip Eli, dengan begitu Kewang Haruku jadi punya teman baru.
Selain memberikan dukungan dengan menanam 520 pohon mangrove di pesisir pantai Haruku, bersih-bersih laut, dan menanam karang di perairan sekitar Haruku, tim Ekspedisi Maluku EcoNusa juga memberikan dukungan alat-alat kesehatan untuk mencegah Covid-19 dan pemeriksaan kesehatan. Dukungan tersebut merupakan wujud solidaritas EcoNusa kepada masyarakat Haruku yang telah sepenuh jiwa penjaga hutan dan lautan.
“Kalau berlayar ke utara memang badai tak terduga, saatnya EcoNusa dan Kewang Haruku angkat suara bumi sekarang juga,” Eli berpantun menutup perbincangan dengan tim EcoNusa.
Penulis: Nurdin Tubaka , untuk Yayasan Ekosistim Nusantara Berkelanjutan (Yayasan EcoNusa) .
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi