Dari Nostalgia ke Tragedi : Tiga Peristiwa Tragis dari Pulau Seram
PENDAPAT
Setiap cerita heroik selalu menyimpan sisi tragis. Persis seperti kejatuhan yang berselang dengan kejayaan. Indonesia Timur adalah daerah yang menunjukkan sisi-sisi tragis dan kejayaan itu.
Ibarat manusia, Indonesia Timur dalam dirinya sendiri mengandung pertentangan-pertentangan. Secara geografis terletak di garis waktu terkemuka, namun secara geografis terlempar sebagai daerah tertinggal dan termiskin.
Secara politik, ia adalah daerah pembuat rempah (pusat rempah-rempah) yang terhubung dengan dunia luar sejak lama. Tapi dalam struktur politik, kehadirannya masih terpinggir dan kurang diperhitungkan.
Tania Muray Li (1999: 2) dalam jurnalnya Kekuasaan: Pembangunan dan Pemerintahan di Indonesia , menggambarkan baik nasib wilayah pinggiran di Indonesia. Menurutnya, wilayah pinggiran adalah situs nostalgia, keterpukauan sekaligus ejekan. “ Margin secara khas adalah situs nostalgia dan daya tarik serta cemoohan ”. Kesan Tania ini lebih relevan untuk menjelaskan sejumlah kejayaan yang alami daerah-daerah pinggiran di Indonesia, khususnya Maluku namun pada akhirnya tertinggal dan bernasib tragis.
China, Arab, Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda adalah deretan bangsa yang pernah berlabuh ke Maluku. Mereka datang untuk mendulang rempah-rempah, melakukan perluasan, membiarkan agama, berencana untuk menukar Pulau Run dengan Manhattan (sekarang New York) di Amerika. Sebuah barter yang amat gila antara Belanda dengan Inggris.
Sebagai daerah pinggiran di Indonesia, Indonesia Timur seolah tak terlayani definisi ekonomi-kesejahteraan. Melainkan bersama menjadi gudang nostalgia, arena pelarian dan lahan eksploitasi baru bagi mereka yang telah digunakan untuk berpuas diri di kota-kota metropolitan.
Itu tepat, kita perlu membayar sanksi dan peraturan, saat mendengar istilah “membangun dari pinggiran”. Secara cepat, konsepsi ini, bisa saja menjadi pintu masuk ke daerah-daerah pinggiran (pheripery), semisal Maluku dan Indonesia timur sebagai kanal-kanal eksploitasi baru setelah daerah-daerah pusat (pusat) di wilayah barat sudah dikeruk.
Sadisnya, ketertinggalan dan promosi pembangunan di timur kemudian dinarasikan tumpang tindih dengan peminggiran. Baik terhadap ruang hidup, hutan atau kebudayaan masyarakat Indonesia timur. Indonesia timur pada akhirnya jadi daerah yang tertinggal seketika sebagian besar karena kemurnian alam dan kebudayaannya yang “perawan”.
Sebuah catatan penelitian yang ditulis Birgit Brauchler dan Maribeth Erb (2011: 114),
berjudul Pengantar Indonesia Timur di Bawah Reformasi: Global, Nasional dan Lokal menyebutkan begini: “bagian timur dari apa yang saat ini adalah Republik Indonesia, telah menjadi pernah menjadi lambang kemiskinan dan marjinalitas, sementara pada saat yang dipandang sebagai salah satu gudang terakhir dari alam dan budaya murni ”.
Maksudnya adalah, Indonesia timur hari ini telah menjadi miniatur kemiskinan dan keterpinggiran namun pada saat yang sama juga dilihat sebagai penampungan terakhir karena kemurnian alam dan kebudayaannya. Sebuah ilustrasi yang tepat dengan menggambarkan pesakitan untuk merengguh makna terdalam. Semakin dalam sakit yang ditanggung oleh seseorang maka dalam pula yang diperoleh. Akibatnya terus berharap agar terus sakit.
Situasi pesakitan ini menempatkan sebagian besar daerah di Indonesia timur seperti Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat konsisten sebagai daerah termiskin sejak 2015 hingga 2020 dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS).
Situasi serupa juga ditunjukan melalui data Kementerian Pembangunan Desa dan Daerah Tertinggal juga menunjukan keadaan yang tertinggal di bagian timur sebesar 84% dari total 122 daerah tertinggal di Indonesia. Yang berarti ada 102 daerah tertinggal di Indonesia timur dan hanya 20 daerah tertinggal yang berada di bagian barat dan tengah.
Ketertinggalan-ketertinggalan ini kelak menyisakan ketimpangan paling lebar antara daerah-daerah Jawa di Indonesia barat dan timur. Pusat populasi Rilis per Februari-Desember 2018, menunjukan skor ketimpangan antara daerah-daerah Jawa dan Luar Jawa tepat berada di angka tertinggi 61,2.
Seolah-olah membelakangi cerita-cerita kejayaan puluhan abad silam Ketertinggalan Indonesia. Dapur-dapur orang Eropa tak lagi butuh, lada dan cengkih dari Maluku. Segala ramuan makanan dan pengobatan telah diganti dengan fasilitas medis modern, dokter-dokter terampil dan pusat-pusat kesehatan terbaik di segala penjuru kota.
Sialnya, di tengah ketertinggalan hari ini, nostalgia kita tentang kebesaran Maluku dan Indonesia Timur masih populer untuk dijadikan kebesaran sekaligus pelarian bagi anak-anak Maluku yang tak mampu keluar dari ketertinggalan. Termasuk elit politik, akademisi dan para birokrat yang tak jarang, masih larut dalam kenangan sembari memperteguh diri persis ambtenar ala kolonial. Feodal, malas dan senang dipuji.
Beberapa kejadian tragis baru-baru ini seolah datang dan saling berbalas dari sudut-sudut Pulau Seram. Sekitar minggu kedua Februari 2021 (sekira tanggal 11 Februari), di Kabupaten Seram Barat, Kecamatan Taniwel, seorang warganya Neniari Gunung ditandu menggunakan bambu untuk dilarikan ke Puskesmas yang berjarak 10 Km.
Warga desa tersebut ditandu keluarganya melewati sungai, hutan dan gunung menuju Desa Riring, soalnya adalah akses yang sangat jauh dari pusat perawatan. Kasarnya, tidak ada fasilitas kesehatan di sekitar daerah tersebut.
Situasi yang tepat juga melaporkan seorang warga di Kecamatan Kilmury, Kabupaten Seram Timur yang diangkut dengan gerobak dorong menuju Puskesmas. Penyebabnya masih sama, yakni akses terhadap pusat-pusat kesehatan yang sangat sulit.
Dua kejadian itu adalah fakta pilu bagi warga yang tidak saja dari akses kesehatan, melainkan juga hidup di tengah keterpinggiran. Mereka mungkin berharap sembuh, namun pada saat sama juga sedang berupaya mengumpulkan uang bagi sekolah anak-anaknya di perkotaan atau dipaksa untuk mengolah bahan makanan untuk konsumsi keseharian.
Mereka dihadapkan pada situasi-situasi tersulit yang pilihan-pilihannya saling. Jika ingin sehat, maka tak bisa makan. Atau sebaliknya, jika ingin sehat, maka makan dan sekolah anak yang dikorbankan. Kesemuanya merupakan pilihan-pilihan bebas namun tragis.
Dua kejadian ini tidak sendiri melainkan beriringan dengan berita miris dari pulau Seram Tengah, Maluku Tengah. Di Kabupaten Maluku Tengah, Limbah buangan dari perusahan Sawit PT. Kelompok Nusa Ina sudah mencemari lingkungan dan biota laut di daerah sekitaran daerah operasinya di Seram Utara Timur Kobi.
Ikan dan biota laut tercemar dan mati. Lautan dan pantai juga terjangkit limbah buangan. Mirisnya, Per 1 Februari 2021, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Maluku berkunjung dan mengapresiasi model pengolahan limbah PT. Nusa Ina yang menurutnya ramah lingkungan. Setelah 3 minggu kemudian limbah pun tercemar.
Tiga tragedi lengkap yang bertautan sedang merobohkan nostalgia kejayaan Maluku. Tiga tragedi dari Pulau Seram ini juga secara langsung tidak ditentukan oleh peran elit dan struktur politik yang dibangun di tiga daerah. Seram Barat, Serat Timur dan Maluku Tengah.
Sejauh mana para elit di daerah tersebut mampu menerjemahkan cita-cita kesejahteraan sebagai cara berstrategi untuk menghindari keterbelakangan di daerahnya ?. Cerita kejayaan yang terlampau retoris patut dirayakan sebagai jawaban massal para warga yang sedang mengalami tragedi konkrit. Apalagi pengalaman-pengalaman nostalgia sejauh ini tidak berfungsi secara praktis bagi kemajuan Maluku.
Desentralisasi telah membawa demokrasi ke tingkat di daerah. Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk membayar warganya. Soal, urusan dan masalah-masalah di daerah tak berwujud disanksikan saja pada pemerintah pusat.
Urusan urusan urusan itu harus diserahkan dan dipertanyakan pada pemerintah daerah. Tempat warga daerah dan pemerintahnya berada. Pemerintah daerah adalah representasi paling dekat dari kehadiran negara
di daerah. Olehnya itu, tiga tragedi Pilu di Pulau Seram itu, seyogyanya menjadi pengingat pemerintah daerah di ketiga wilayah tersebut, selain pemerintah daerah di tingkat provinsi.
Kita tidak menerima sejumlah keterbelakangan, ketertinggalan, dan sebagai hal yang normal. Status Seolah miskin yang bisa dimaklumi sebagai staf yang berada dalam kelompok yang jauh dari pusat – pusat metropolis.
Penerimaan yang demikian, pada akhirnya memperkecil kita mental, sebagai orang Maluku bermental inferior (mental inlander). Kalah orang-orang mental yang suka ketidakmampuannya dengan cerita-cerita kepasrahan ataupula dilarikan diri ke nostalgia masa lalu sebagai pembelaan. (*)
Penulis: Ardiman Kelihu
Fasilitator pada gerakan Interfaith di Maluku
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi