Oleh: Eltom (Pemerhati sosial)
“Huwa turut berpri rendah” (=Tuhan pun rendah/murah hati-Nya) jadi apa alasan kita “hidop tinggi hati?” (=sombong). Kepada kita diajari untuk “tau taru hormat” (=menghormati) atau dalam bentuk paling sederhana “kasi suara” (=memberi salam) saudara atau siapa saja yang dijumpai. Ibarat “jang langgar sama kapal kayo la seng stom” (=tidak memberi salam).
Bentuk-bentuk penghormatan itu adalah didikan tata kesopanan yang bukan hanya harus ditunjukkan orang yang rendah, kecil, muda kepada yang tinggi, besar, tua, melainkan secara timbal balik.
Di Maluku Utara, Suba Jou, dengan jalan mengatup dua tangan di depan dada merupakan wujud “bri hormat” satu sama lainnya, yang tidak sekedar tanda saling menghormati, namun terkandung di dalamnya doa, karena tanda salam itu sekaligus cara menyalurkan kuasa Jou (=Tuhan) seorang dengan lainnya. Malah sikap itu laksana memberi segala berkat dari orangtua, Kolano, dan Tuhan kepada seorang saudara/rakyat.
Suba Jou juga gambaran bahwa seorang pemimpin itu dekat dengan rakyat, dan ia memberi segala berkatnya kepada rakyat. Jadi sikap tangan di depan dada dan ucapan itu lahir dari ajaran hidup yang berbagi sebagai wujud kerendahan hati.
Di Maluku Tengah ada banyak ucapan, seperti Sou Salamate (SBB), Tabea (Seram Selatan-Ambon Lease), somba upu, Horomate (Ambon sebagai pengaruh bahasa Melayu).
Ucapan “Tabe” juga ada di Tanah Evav, Kei, dan mungkin ada unsur serapan Melayu Ambon atau malah kosa kata asli bahasa Kei sebagai sub rumpun bahasa tua di kepulauan Maluku.
Rata-rata ucapan itu disertai sikap membungkukkan diri (=somba) sebagai wujud “bri hormat“, dan itu pun adalah pelajaran tentang “pri rendah” (=kerendahan/kemurahan hati).
Namun di Manusela, ucapan “tabea” dilakukan dengan sikap “bongko badang, lalu tangang kanang tabuka, tangang kiri tongka siku kanang“. Waktu melihat cara itu saat di Manusela (2015), saya menduga ada pengaruh Jawa. Itu dibantah tua adat di Manusela dan menerangkan begini: “tabea tuh ama tarima ana/aupu jadi ama pung bageang, jadi ana/aupu tuh su dalang ama hidop. Ama makang apa, ana/aupu makang, ama minong apa, ana/aupu minong” (=tabea itu tanda saya mengambilmu menjadi bagian dari diriku. Apa yang saya makan dan minum, anda juga).
Lalu mengapa “tangang kanang tabuka lalu tangang kiri loko siku?” (=tangan kanan terbuka dan tangan kiri menopang pada sikut kanan). “Tarima ka ambel orang par jadi bageang hidop tuh tanggungjawab. Tagal itu kasih sagala hormat, jadi musti minta Ina sumbayang. Kalu Ina su sumbayang, katong kuat par jaga hidop” (=menerima/mengambil seseorang menjadi bagian kehidupan kita itu tanggungjawab. Harus dihargai. Maka harus minta topangan doa dari mama karena kalau sudah didoakan oleh mama kita akan mampu memelihara kehidupan).
Makanya “katong hidop tagal mama pung piara. Katong kuat tagal mama pung sumbayang” (=kita hidup atas pemeliharaan mama, kita kuat karena doanya). Jadi dalam “tabea” pun ada realitas berkat dan penyertaan Tuhan atas hidup kita. Tuhan sebegitunya “berpri rendah“.
Di Maluku Barat Daya, “Kalwedo” tidak sekedar merepresentasi salam, tapi doa damai. Sebab yang akan menyusul setelah ucapan itu adalah “lir marna” (=pesan suci, pesan damai) yang tidak boleh dilanggari siapa pun. Karena itu masyarakat di kawasan itu tidak pernah larut dalam konflik berkepanjangan karena “lir marna” itu, dan mereka sangat menjaga simbol-simbol pemersatu antar masyarakat/antar kampung.
Menariknya pula adalah cara orang Buru. Antara ucapan “muan modan” atau “oras gosat“, cara mereka memberi rasa hormat merupakan cara menyeimbangkan hidup di dalam hari sebagai satuan waktu yang utuh. Sebab itu bagi orang Buru, antara masa “matahari nai” dan “matahari maso” semua orang berkewajiban melakukan tugas apa pun untuk memelihara kehidupan dalam keseimbangan kai-wai (ade-kaka).
Hari atau waktu itu ada kuasa yang mengendalikan (Oplastala) dan ada kuasa yang menjaga sebagai ruang peran manusia sesuai pembagian dalam adatnya. Apa pun posisinya, dengan mengucapkan salam hormat itu (oras gosat/muan modan), maka orang Buru akan memelihara keseimbangan peran dan relasi seorang akan lainnya sebagai wujud menjalankan perintah Oplastala (Tuhan) yang juga kaya fungsi.
Jadi bila kita rajin memberi salam, rajin memberi hormat, “suara tuh akang seng jatuh di tanah” (=salammu tidak sia-sia) sebab dalam salam itu ada doa.
Di atas semuanya jangan lupa “Huwa pun turut berpri rendah” (Tuhan pun murah/rendah hatinya).
Rabu, 7 April 2021
Pastori Jemaat GPM Bethania, Dana Kopra – Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi