Maluku

Soal Benhur vs Fraksi Golkar Maluku, Begini Tanggapan Bito Temmar

potretmaluku.id – Pengamat politik Maluku, Bitzael Silvester Temmar mengatakan, ada saja yang patut diingatkan kepada aktor-aktor publik di Maluku, yaitu pilihan diksi dalam keputusan politik, termasuk komunikasi publik. Hal ini disampaikan kala merespon polemik antara Benhur Watubun dengan Fraksi Partai Golkar.

Mantan Bupati Maluku Tenggara Barat (sekarang Kabupaten Kepulauan Tanimbar) dua periode yang akrab disapa Bito ini mengungkapkan, masih segar diingatan bagaimana seorang gubernur menggunakan diksi-diksi yang tidak patut, dalam merespons pertanyaan wartawan.

Bukan hanya gubernur, Fraksi Partai Golkar DPRD Maluku bahkan Ketua Fraksi PDI Perjuang Maluku, disebutnya juga terjebak dalam pilihan diksi yang sama buruknya.

Menurut Bito, Fraksi Golkar dalam kata akhir politiknya yang menilai pemerintahan Gubernur Maluku Murad Ismail (MI) dan Wakil Gubernur Maluku Barnabas Orno sebagai yang terburuk dalam sejarah pemerintahan daerah di Maluku, itu tidak sesuai tempatnya.

“Pilihan diksi ‘terburuk’ kalau pun faktual, tidak pada tempatnya digunakan secara vonistik dalam komunikasi publik,” tandas Bito, Selasa (21/12/2021).

Kata dia, harusnya Fraksi Partai Golkar memiliki kecerdasan untuk mengabstraksi penilaian politik atas kinerja Gubernur dan Wakil Gubernur sedemikian rupa. Sehingga di satu pihak mendorong perbaikan tanpa merasa direndahkan, dan di pihak lain mengedukasi masyarakat politik tentang bagaimana menyampaikan pesan politik yang kritis sekali pun tanpa merendahkan.

Sama pula dengan klaim Ketua Fraksi PDI Perjuangan Benhur Watubun tentang pembagian participating interest (PI) sebagai performa gubernur sekarang, dan bukan mantan Gubernur Assagaf atau Ralahulu.

“Klaim seperti ini dengan diksi yang cenderung meremehkan, tentu saja cacat logika penalaran,” terangnya.

Bito berpendapat, klaim tersebut juga pertanda betapa klaim ini menggambarkan ketidaktahuan kerja pemerintahan sebagai satu kontinum. Artinya, lanjut Bito, kalau baru sekarang pembagian PI diputuskan pemerintah, berarti timely.

Artinya bahwa proses pendalaman dan pilihan keputusan telah dilakukan sebelumnya. Yakni sejak masa Gubernur Karel Albert Ralahalu kemudian Said Assagaf. Karena dalam proses panjang itu semua pertimbangan sudah dilakukan, baru sekarang diputuskan.

Keputusan itu terjadi pada era MI sebagai Gubernur Maluku. Jadi apakah hanya karena keputusan pemerintah tentang pembagian PI terjadi pada era kepemimpinan gubernur sekarang. Logiskah jika kemudian diklaim sebagai prestasi dengan mengkomparasikan terhadap gubernur sebelumnya seolah-olah tidak berprestasi?

“Jadi terlampau prematur atau dalam diksi standar akademik dapat disebut sebagai loncatan generalisasi, jika melakukan klaim seperti Ketua fraksi PDI Perjuangan,” nilainya.

Bito juga menilai, klaim seperti itu buruk karena juga menebar edukasi publik yang menyesatkan. Dengan uraian tersebut, dia mengingatkan aktor-aktor politik lokal untuk saatnya belajar mengenali paling sedikit nature politik sebagai seni (art).

Namanya seni, kata dia, selalu berurusan bahkan beririsan dengan keindahan. Keindahan itu, tambah Bito, antara lain berkaitan dengan pilihan diksi yang diabstraksi sedemikian rupa sehingga tidak seronok dan kampungan. Sebab jika demikian secara tidak terhindarkan mengajari publik juga untuk meniru.

“Proses imitasi ini yang membuat politik lokal kita tampak begitu buruk bahkan cenderung primitif,” pungkasnya.(ZAI)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button