Pendapat

Sengketa Hasil Pilpres : Mahkamah Konstitusi di Antara Keadilan Substantif dan Prosedural

Oleh : Praktisi Hukum, Fikry Rahantan, S.H., M.H.

14 Februari 2024 tidak hanya ditandai sebagai “Hari Kasih Sayang” melainkan juga sebagai “Hari Kasih Suara”. Konstituen di 38 Provinsi yang terakumulasi sebanyak 204.807.222 pemilih telah memberikan hak suara mereka untuk menentukan pemimpin bangsa ini 5 tahun ke depan.

Berakhirnya proses pemungutan suara bukan berarti rangkain tahapan Pemilihan Presiden (Pilpres) telah dinyatakan selesai sebab proses Pilpres secara yuridis formil belum dapat dikatakan selesai sebagaimana tahapan pemilu yang diatur dalam Peraturan KPU RI Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024. Secara yuridis formil Pilpres masih menyisakan tahapan rekapitulasi suara, penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil, hingga penetapan calon terpilih.

Terkait dengan penyelesain pelanggaran dan sengketa hasil pemilu dibagi menjadi dua yakni pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dan sengketa hasil pemilu. Berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif (TSM) merupakan kewenangan absolut dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sedangkan penyelesaian sengketa hasil pemilihan Presiden merupakan kewenangan lembaga Mahkamah Konstitusi selama belum dibentuknya pengadilan khusus pemilu.

Diberikannya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan permohonan sengketa hasil dalam Presiden sebagaimana amanat dari Undang Undang Pemilu tentu merupakan sebuah upaya hukum untuk menciptakan pemilu yang konstitusional dan demokratis.

Terkait dengan standar pemilu yang demokratis The Organization for Security and Cooperation in Europe’s (OSCE) Office for Democratic Institutions and Human Rights(ODIHR) menerbitkan apa yang mereka sebut dengan The Copenhagen Document  yang berisi standar untuk pemilu yang demokratis. Dua dari standarnya yakni; Pertama, Ensure that votes are cast by secret ballot, and are counted and reported honestly, with the results made public.

Kedua, Ensure that candidates who win the  necessary votes to be elected are duly installed and are permitted to remain in office until their terms expire. Apabila dipahami secara saksama maka tentunya asas inilah yang dituangkan dalam asas Pemilu yang bersifat JURDIL dan LUBER. Selain mewujudkan Pemilu yang demokratis, Mahkamah Konstitusi juga diharapkan dapat menjadi penyeimbang untuk mewujudkan Pemilu yang berkeadilan, salah satu prinsip Pemilu yang berkeadilan sebagaimana yang dirumuskan oleh The United Nations Democracy Fund (UNDEF), Open Society Foundations, dan TIRI, yakni harus terpenuhinya prinsip integritas, partisipasi, penegakan hukum, imparsial, dan profesionalisme.

Dari kesemua standar untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan berkeadilan tentunya masyarakat sebagai pemegang kedaulatan menaruh harapan yang besar kepada lembaga Mahkamah Konstitusi dalam fungsinya sebagai Lembaga Pengadilan penyelesaian sengketa hasil pemilu (Election Court), sebab kita ketahui bersama bahwasanya Pesta demokrasi selalu diwarnai dengan pelbagai persoalan hukum termasuk indikasi kecurangan dalam memobilisasi suara yang menimbulkan ketidakpuasan peserta pemilu terhadap penetapan perolehan hasil pemungutan suara.

Dalam pandangan penulis sendiri ada beberapa hal yang hingga kini masih menjadi problem dalam penyelesaian sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.

Pertama, Jika melihat ke belakang pada  Pemilu serentak 2019, Mahkamah konstitusi meregistrasi sebanyak 342 permohonan gugatan perselisihan hasil pemilu (PHP) yakni 331 permohonan gugatan DPR-DPRD, 10 permohonan gugatan DPD, dan satu permohonan pemilihan Presiden. Dengan demikian maka dapa dilihat besarnya volume perkara penyelesaian sengketa hasil pemilu yang harus diadili dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Di sisi yang lain dalam hal sidang gugatan selisih hasil pemilihan Presiden Mahkamah Konstitusi juga diberikan batas waktu oleh Undang-undang yakni paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku register perkara konstitusi, banyaknya volume perkara sengketa hasil pemilu dan singkatnya waktu bersidang yang dimiliki oleh MK tentunya akan berimplikasi terhadap kualitas Putusan MK. Dilematisasi inilah yang kemudian membuat Mahkamah konstitusi berada pada posisi antara mewujudkan keadilan substantif ataukah keadilan prosedural, antara mathematical court ataukah election court.

Kedua, Mahkamah Konstitusi dalam posisinya sebagai (The guardian of democracy) harus mampu memastikan bahwa sengketa hasil pemilu yang diputuskan telah memenuhi keadilan substantif tidak hanya keadilan prosedural, dengan demikian maka sangat tidak ideal jika mahkamah konstitusi membatasi objek perkaranya (objectum litis) hanya berada pada “perolehan hasil suara ” lalu mengesampingkan persoalan dalam “election process”.

Walaupun Mahkamah Konstitusi dapat berargumentasi bahwa mengadili pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM) bukanlah domain dari MK, namun mengabaikan proses yang dipenuhi dengan kecurangan tentunya sama saja dengan merenggut keadilan yang dicari oleh para pihak.

Sebagai badan yudisial  yang  memiliki nature inheren untuk   mengadministrasikan   keadilan dalam memberikan putusan atas suatu perkara, sudah sewajarnya jika Mahkamah Konstitusi dipercaya     untuk  menjalankan    perannya   itu  secara leluasa.  Hal  ini  sejatinya  telah  menjadi asas    atau    prinsip    universal    yang berlaku untuk badan   yudisial   yang disebut independent    judiciary atau judicial  independence.

Namun,  sikap prudent adalah    asas    atau    prinsip pertama (the    first    principle) dalam bagaimana Mahkamah Konstitusi secara ideal menjalankan independensinya tanpa bersikap kaku dalam melihat dan mengadili setiap perkara penyelesaian sengketa hasil pilpres dengan hanya berpatokan pada perolehan hasil suara dan mengabaikan setiap kecurangan dan pelanggaran yang terjadi pada proses pemilu.  Sebab setiap perselisihan suara yang dimohonkan untuk dinilai oleh Mahkamah Konstitusi tentunya punya alasan empiris maupun yuridis, dengan demikian harapannya Mahkamah Konstitusi dalam fungsinya sebagai lembaga pengadilan penyelesaian sengketa hasil pilpres terlebih dahulu memeriksa substansi perkara untuk dapat menilai dan memastikan bahwa suara sah yang ditetapkan oleh KPU itu bebas dari kecurangan, hal ini sangat penting untuk memastikan bahwa pemimpin negara yang lahir dari proses demokrasi tidak menabrak demokrasi itu sendiri.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Back to top button