Pendapat

Sengkarut Ibukota Sofifi dan Pembangkangan Konstitusi

PENDAPAT

Oleh : Usman Hi Sergi (Direktur Eksekutif PB. MAKABA INDONESIA)


Sengkarut ibukota Sofifi sejak berdiri sampai 23 tahun usianya, belum juga usai. Terbaru, upaya lobby cerdas Gubernur Abdul Gani Kasuba (AGK) kepada Presiden Jokowi pun terbaca masih mental. Berbagai upaya diikhtiari Gubernur Malut dua periode ini. Mulai dari meyakinkan stakeholder lokal sampai Presiden.

Sosok kyai kharismatik ini tak henti berharap agar instansi vertikal misalnya, untuk stay di Sofifi. Mumpung fasilitas perkantoran juga sudah tersedia dengan biaya yang tak sedikit. Kepada kota induk Tidore Kepulauan (Tikep), upaya peningkatan status ibukota Sofifi pun sudah ditawarkan. Pelbagai formulasi dan skema softly yang adil dibentangkan. Namun sampai kini si empunya tetap abai.

Apa pasal, sehingga mereka enggan dengan berbagai alasan yang terkadang bikin gubernur AGK meradang? Bukankan Provinsi Maluku Utara dengan ibukota Sofifi adalah keinginan dan perjuangan semua pihak walbil khusus kota Tikep? Bukankan instansi vertikal sebagai garda terdepan dalam mensukseskan misi Presiden Jokowi?

Menjawabnya cukup mudah. Mereka tidak memiliki niat dan political will untuk peningkatan Sofifi sampai sekarang ini. Mereka tak rela, wajah kota Sofifi lebih bermartabat.

Potensi Pembangkangan Konstitusi

Sejatinya, perjuangan peningkatan ibukota Sofifi adalah kewajiban konstitusional bagi seluruh stakeholder dan masyarakat Maluku Utara. Lebih khusus tentunya masyarakat Tidore Kepulauan. Sebab, ibukota Sofifi sebagai sebuah Daerah Otonom Baru (DOB) adalah perintah konstitusi. Seluruh stakeholder berkewajiban mengawal agar DOB mewujud.

Karenanya, sikap “ngeles” beberapa pihak justru mengundang tanya. Publik menilai alasan minimnya fasilitas sehingga Sofifi belum layak huni adalah alasan yang mengada-ada. Sementara pihak lain juga menuding alasan Sofifi belum layak fasilitas dan sebagainya adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Standing positioning keberadaan Ibukota Sofifi clear dan benderang, perintah konstitusi. Maka harus dilaksanakan.

Terkait “ngeles-ngeles” ini, kita patut mengingatkan mereka dengan beberapa contoh sebagai role model bahwa Sofifi sudah seharusnya difungsikan.

Ketika bangsa ini hendak diproklamirkan Sukarno -Hatta, muncul perdebatan di kalangan pejuang agar penyiapan tetek bengek infrastruktur kantor dan fasilitas pendukung didahulukan kemerdekaan diproklamirkan. Sikap Bung Karno berbeda. Dengan jiwa besar dan tegas Bung Karno menyatakan : “Kalau kita harus menunggu kesiapan ini itu maka percayalah bangsa yang kita cintai ini tak kunjung diproklamirkan”.

Contoh lain, abdi para prajurit ksatria TNI. Harus rela hidup di hutan belantara Papua nan mencekam. Tak ada kemewahan fasilitas apapun. Tekad para prajurit itu hanya satu, menunaikan perintah negara dan konstitusi.

Kepada mereka yang masih ngeles dengan ibukota Sofifi harus mencamkan pengalaman para pejuang dan proklamator ini. Niat baik itu harus kita tanamkan dalam setiap perjuangan.

Perjuangan peningkatan ibukota Sofifi menjadi tanggung jawab kolektif. Parade Pembenahan dan penataan Sofifi telah dimulai oleh Gubernur AGK. Tak ada kata lain, kecuali memberi dukungan penuh kepada Gubernur AGK untuk menuntaskannya. Presiden telah menunjukan keberpihakannya untuk memastikan program penataan Sofifi segera dimulai.

Ibukota Sofifi sangat penting sebagai martabat Jazirah Moloku Kie Raha. Sebagai ibukota sebuah provinsi, kota Sofifi wajib hukumnya sebagai sebuah DOB agar bisa dan mampu mengurus dan momoles wajah provinsi.

Tingkah dan pola pikir yang tidak konstruktif harus kita singkirkan. Apalagi hanya sekelas kepentingan politik semata dengan mengabaikan kepentingan rakyat Maluku Utara.

Instansi-instansi vertikal sudah seharusnya menjadi role model ketaatan konstitusional. Sikap ini harus sejalan dengan misi presiden yang linier dengan misi Gubernur AGK. Instansi seperti Telkom sudah saatnya mengambil langkah cerdas, dengan sejak awal melihat potensi dan kebutuhan telekomunikasi ibukota Sofifi. Sekarangpun belum terlambat, tanpa menunggu Sofifi harus mentereng dahulu.

Instansi-instansi lain seperti Polda, Kejati, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama serta Korem dan seluruh instansi vertikal lainya sudah saatnya hidup bersama Gubernur AGK di Kota Sofifi. Sikap ngeles instansi vertikal yang belum bermarkas di Sofifi, secara tak sadar ikut menguatkan polarisasi interes politik yang berkembang. Menunggu kesiapan segala tetek benget sebagai sikap kurang elegan yang berpotensi menghadirkan “Pembangkangan terhadap Konstitusi”.(*)

Screen Shot 2021 06 25 at 23.00.48
Penulis, Usman Hi. Sergi.

Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button