Kutikata

Seng Ada Hormat Apapa Ni

Oleh: Eltom (Pemerhati sosial)

 

Batamu (=bertamu) merupakan kebiasaan tua dalam masyarakat di dunia sebagai tanda kesosialannya, dan menunjuk pada aktifitas/tindakan berkunjung ke rumah saudara, sahabat, keluarga lain/kerabat.

Bila ditelisik dalam kebiasaan berbudaya di Maluku dan Maluku Utara, aktifitas itu terjadi otomatis dan tidak direncanakan bersama, lebih sering sepihak dan tanpa diketahui sebelumnya oleh “orang ruma” (=pemilik rumah/keluarga yang dikunjungi.

Umumnya juga terjadi secara spontan, “pas ada lewat la singga” (=saat melintas depan rumah lalu mampir), atau “lia pintu tabuka la sorong maso” (=masuk persis pintu sedang terbuka).

Kejadian-kejadian spontan itu menjadi bukti bahwa hal hidup bersama telah terpintal erat karena “hidop orang basudara” jadi aktifitas perjumpaan (=bakudapa) atau “singga” (=mampir) semakin mengentalkan persahabatan atau kekeluargaan. Apalagi yang terjadi ketika “ciong bobou sadap ale” (=mencium aroma dari makanan) lalu “singga“, maka kekentalan hubungan itu cukup mendalam, dan tidak ada lagi “malu-malu” karena kesalingan hidup itu sudah menjadi ciri kesosialannya.

Ale makang àpa tu bage lai deng beta e” (=apa yang kamu makan, dibagi juga ya dengan saya). Alhasil “biar deng kurang-kurang, katong dua bage rata jua e” (=walau kurang tetap dibagi merata), sehingga “biar kurang mar seng abis” (=walau kurang tapi tidak habis) karena itu “kalu talalu banya jua loko bage tagal simpang jua par biking busu o?” (=bila banyak sebaiknya dibagi daripada simpan dan membusuk).

Karena itu batas keengganan untuk “minta deng barbage” (=minta dan berbagi) tipis setipis kulit bawang. Bahkan bila seorang saudara datang ke rumah saat kita sudah selesai makan siang, dan ia berkata “dong makang apa tadi?” (=apa yang kalian makan tadi), “orang ruma” tidak pernah berkata: papeda, nasi, sup, atau jenis menu lain melainkan pertanyaan itu dijawab “ka blakang la lia di meja jua” (=silahkan lihat di meja makan).

Apakah ini sekedar kesosialan? Tidak. Makanan bagi kami adalah gambaran jalinan darah, makanan merupakan unsur material yang menguatkan hubungan batih (=satu darah), sebab itu ada ungkapan “sampe makanang su di mulu jua mar barbage akang deng sudara” (=makanan dalam mulut pun, jika bisa, rela dibagikan), atau “kalu makang isi jang lupa tulang buang akang par sudara” (=kalau sudah makan isi, biarlah tulangnya buat saudara), suatu ungkapan yang menjelaskan betapa dalamnya rasa kasih kepada saudara dan jangan mementingkan diri sendiri apalagi kalau hanya soal makanan. Maaf untuk kalimat ini: “makanang tu barang tai-tai, mar basudara tu bawa sampe mati“.

Karena itu bila seorang saudara datang ke rumah dan tidak ada apa-apa untuk disuguhkan, “orang ruma” dengan semacam rasa penyesalan berucap: “sio jang kurang hati, seng ada hormat apapa ni” (=maaf tidak ada suguhan alakadarnya). Hal itu malah membuat hubungan batih itu semakin mengental. Jika pun ada sesuatu alakadar untuk disuguhkan, dan “orang ruma” merasa alakadar itu kurang memadai, ia pun akan berucap yang sama, apalagi alakadar itu adalah yang tersisa dari yang telah dimakan.

Sekali lagi penting dipahami bahwa makanan itu bagian dari jalinan darah di antara kita, jadi “biar itu sisa lai, jang simpang par busu/buang” (=walau itu sisa, jangan disimpan sehingga busuk/dibuang), lebih baik diberi apalagi jika saudara kita memintanya. Ia meminta dari apa yang ada, dan ia tahu itu ada, bukan dari apa yang tiada dan ia tau itu tiada.

Jumat, 9 April 2021
Pastori Jemaat GPM Bethania, Dana Kopra – Ambon


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button