Perempuan Indonesia menuntut Keadilan Gender dan Keadilan Ekonomi Untuk Perempuan
PENDAPAT
Selasa, 8 Maret 2022 bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, sebanyak 45 perempuan dari berbagai latar belakang di 10 wilayah/daerah di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Bengkulu, Jakarta, Purwokerto-Jawa Tengah, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, dan Papua, melakukan Konsultasi Nasional untuk merumuskan agenda desakan perempuan atas situasi ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi yang dialami 320 perempuan dari perempuan petani, perempuan nelayan/pesisir, perempuan adat, perempuan miskin kota, perempuan pekerja informal, transpuan, perempuan disabilitas, perempuan penyintas bencana dan perempuan marginal lainnya.
Sampai hari ini, pengabaian hak-hak perempuan, terutama bagi perempuan miskin, terus dilakukan oleh negara dan non negara. Perempuan masih diabaikan hak atas pendidikan yang layak bagi perempuan miskin, jaminan perlindungan kesehatan perempuan dan kesehatan reproduksi perempuan, akses ekonomi dan pengakuan kerja perempuan, terutama perempuan pekerja rumahan dan pekerja informal lainnya, dan pengabaian hak perempuan atas lingkungan yang sehat dan baik, dan perlindungan akses perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Pengabaian hak perempuan juga terlihat dengan masih terjadinya diskriminasi perempuan dalam rapat pengambilan keputusan di semua level, sehingga hak perempuan untuk berpendapat berdasarkan pengalaman menjadi terabaikan. Begitupun, pengabaian pada hak perempuan korban kekerasan seksual dan hak perempuan penyintas bencana.
Negara sampai hari ini belum memiliki hukum yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual, justru diskriminasi sering dialami perempuan korban kekerasan seksual. “Fasilitas rumah aman dan penguatan ekonomi bagi perempuan korban kekerasan seksual atau KDRT juga belum menjadi agenda utama Negara dalam menjamin perlindungan perempuan korban” Ungkat Ibu Ketut – Forum Puspa BALI
Perempuan dari berbagai latar belakang dan sektor mengungkapkan bahwa negara masih melakukan pembiaran dan bahkan menjadi pelaku atas ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan. Ini terlihat pada fakta-fakta terjadinya diskriminasi akses administrasi kependudukan bagi perempuan miskin, tidak dilibatkan secara penuh dalam pengambilan keputusan dan persetujuan perempuan berkaitan kebijakan dan proyek/program pembangunan yang merusak lingkungan, menggusur, merampas tanah dan sumber kehidupan dan penghidupan perempuan.
Misalnya proyek reklamasi, privatisasi pulau-pulau kecil, proyek perkebunan sawit dan tebu skala besar, proyek pulp dan paper, proyek food estate, proyek tambang semen, yang menghilangkan akses dan kontrol perempuan atas lingkungan sumber daya alamnya.
Situasi ini diperparah dengan kondisi perubahan iklim. Bencana iklim, seperti banjir, banjir rob, abrasi, siklon seroja, kekeringan, dan lainnya, semakin menambah beban perempuan dalam bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga dan komunitasnya.
Sayangnya, pemerintah merespon perubahan iklim dengan proyek-proyek mitigasi yang tidak memperhatikan hak asasi manusia, lingkungan dan kondisi sosial yang dihadapi perempuan. Pun kebijakan pemerintah dalam merespon perubahan iklim belum responsive gender, baik kebijakan mitigasi maupun adaptasi.
Misalnya proyek PLTA, pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) yang mencemari air, menghilangkan sumber mata pencaharian/ekonomi perempuan, dan sumber pangan, telah menambah rantai pemiskinan perempuan. Sementara, inisiatif perempuan dalam mitigasi dan adaptasi menghadapi perubahan iklim belum diakui oleh pemerintah.
Pandemic COVID 19 yang terjadi sejak 2020, semakin memperburuk situasi ekonomi perempuan, termasuk perempuan pekerja informal (nelayan, pedagang kaki lima, petani, usaha rumahan, dan lainnya). Perempuan terus berupaya mengembangkan inisiatif usaha ekonomi untuk bertahan di masa pandemic. “Masa pandemic sangat sulit bagi kami pekerja informal. Pendapatan menurun, tapi subsidi pemerintah pun kami tidak dapat” Cerita Ibu Muh – Jakarta.
Sayangnya, Negara tidak memastikan jaminan perlindungan terhadap perempuan dalam mengakses fasilitas, kapasitas, akses izin usaha, akses pasar dan subsidi modal usaha yang mereka butuhkan dalam mengembangkan inisiatif ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak sedikit pula, tempat aktivitas ekonomi perempuan digusur paksa oleh Pemerintah atas nama proyek/program pembangunan.
Wajah ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi perempuan yang diatas, menunjukkan wajah pemiskinan perempuan yang diakibatkan oleh sistem negara dan non negara. Kebijakan dan proyek/program pemerintah yang dibangun tanpa pelibatan penuh dan persetujuan perempuan, telah memperparah ketidakadilan gender dan ekonomi bagi perempuan.
” Negosiasi-negosiasi G-20 semasa Indonesia presidency, tidak boleh mengabaikan suara-suara perempuan akar rumput. Usaha-usaha pemulihan ekonomi juga harus mendengar suara dan inisiatif mereka dengan memastikan perlindungan hak dan akses perempuan atas lingkungan dan sumber daya alamnya” Ungkap Titi Soentoro – Direktur Eksekutif Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi.
Meskipun Indonesia telah memiliki UU No.7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender, sayangnya kebijakan ini seperti “dimatikan” karena tidak diintegrasikan dalam seluruh kebijakan dan proyek pembangunan, apalagi proyek-proyek yang merusak lingkungan dan eksploitasi Sumber Daya Alam.
Justru, perempuan pembela HAM dan Hak Atas Lingkungan Hidup yang memperjuangkan hidup dan sumber kehidupannya, sering mendapatkan intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi oleh Negara akibat suara-suara perjuangan perempuan.
Untuk itu, pada Hari Perempuan Internasional, Organisasi Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi bersama 22 organisasi[1] dan perempuan komunitas dari 10 daerah di Indonesia, menuntut Negara untuk:
- Menjamin pelibatan penuh perempuan dengan ragam identitas, di dalam setiap tahapan proses pengambilan kebijakan maupun persetujuan terhadap proyek atau program pembangunan.
- Menghentikan program dan atau proyek-proyek pembangunan yang melanggar Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan, merusak lingkungan hidup dan mengekploitasi sumber daya alam yang menggusur sumber kehidupan dan memiskinkan perempuan.
- Mencabut kebijakan iklim dan menghentikan proyek-proyek respon perubahan iklim yang mengabaikan hak asasi manusia, keberlanjutan lingkungan hidup, tidak responsive gender dan tidak berpihak pada perempuan.
- Mencabut UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang mempermudah negara dan atau perusahaan untuk melakukan perampasan lahan, pengrusakan lingkungan dan eksploitasi SDA, serta mengancam hidup dan sumber kehidupan perempuan, termasuk meningkatkan kriminalisasi bagi perempuan pembela HAM dan lingkungan.
- Membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pembela HAM, serta menghentikan segala tindakan ancaman dan kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM dan lingkungan.
- Menjamin perlindungan ekonomi perempuan, termasuk perempuan pekerja informal, dengan menyediakan jaminan akses ketersediaan fasilitas, akses izin usaha bagi perempuan miskin, akses modal dan pasar untuk memperkuat ekonomi perempuan.
- Mengakui dan mendukung inisiatif-inisiatif perempuan dalam pengembangan ekonomi, maupun menjaga sumber-sumber ekonomi komunitas.
- Sahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan menjamin perlindungan perempuan korban kekerasan seksual, dengan menyediakan layanan bantuan hukum dan menyediakan fasilitas rumah aman dan penguatan ekonomi bagi perempuan korban kekerasan seksual.
- Perlindungan dan Pemenuhan hak-hak perempuan penyintas bencana, termasuk penyintas bencana iklim, baik tempat tinggal, akses pangan, akses pemulihan ekonomi, dan perlindungan dari berbagai ancaman kekerasan seksual, termasuk pemulihan dari trauma akibat dampak bencana.
[1] Genesis- Bengkulu, KPPSM – Sumatera Utara, WALHI DKI Jakarta, Jaringan Pekerja rumahan Jakarta (JPRI), Serikat Tani Kabupaten Toba, Konco Sinau Purwokerto, Solidaritas Perempuan Kinasih-Yogyakarta, Esbisquet Palangkaraya, Solidaritas Perempuan Mamut Menteng-Kalimantan Tengah, Jaringan Perempuan Indonesia Timur -JPIT Kupang, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri – Sulsel, Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan Maju Bersama (Bengkulu), Live Indonesia- Bengkulu, LBH Bali WCC Bali, Forum Puspa Kab. Tabanan Bali, Forum Puspa Propinsi Bali-Denpasar, IWAPI Kab. Tambanan, Fatayat NU, LAPAN – Maluku, TIKI Papua –Jayapura, Lekat – Jayapura, Yayasan Harapan Ibu
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi