KutikataPendapat

Pengasihan Lupa Diri

KUTIKATA

Oleh: Elifas Tomix Maspaitella (Pemerhati sosial)


“Pengasihan lupa diri” merupakan satu ungkapan yang lazim didengar tentang “ilmu hidop”. Terkadang orang salah memahami ungkapan ini dan menganggap perilaku itu sebagai kesia-siaan atau “cari nama, cari muka makang puji”, padahal sejatinya tidak demikian maknanya.

“Pengasihan lupa diri” sejatinya adalah perilaku luhur yang tertinggi dari seseorang yang kebaikannya sudah “seng bisa bilang lai” (=tidak bisa didefenisikan lagi dengan kata-kata). Terlampau baik dan murah hatinya orang itu, karena rela memberi segala miliknya bahkan yang tersisa dari kepunyaannya setelah dibagi merata di antara saudaranya sendiri (=kasih diri sandiri pung bageang).

Perilaku ini sering dianalogikan juga dalam ungkapan: “makanang dalang mulu lai kasih kaluar par sudara“, suatu penegasan bahwa ia bahkan tidak memusingkan untung dirinya asalkan jangan saudaranya “lapar/seng makang” (=hidop susah).

Sering perilaku ini jadi bahan complaint anak-anak terhadap orangtua mereka yang kedapatan sangat rela menyerahkan miliknya kepada saudaranya, meski kesannya saudara itu sudah memperoleh bagiannya (=baringing).

Kesannya kalau milik itu diberi lalu anak-anaknya akan hidup dari apa lagi (=katong hidop deng apa lai?). Padahal bila didalami, kerelaan dalam “pengasihan lupa diri” itu didasari pada keyakinan dan harapan:

  1. Kalu kurang mau minta disapa, kalu labe mau taru di mana? Bila saudara kita kekurangan pada siapa dia harus meminta? Daripada kita yang malu, lebih baik kita memberi baginya bagian milik kita. Bila kita menumpuk apa yang lebih dan tidak berbagi, apa untungnya pun jika itu akan sia-sia (=simpang barang yang bisa busuk tuh par apa?)
  2. Makanang tuh barang tai-tai, uang tuh barang cari-cari. Artinya hidup orang basudara itu lebih mulia dari harta apa pun. Jadi untuk apa kita tidak rela terhadap saudara. Untuk apa “hidop deng hati culas”.
  3. Biar deng kurang-kurang asal jang putus hubungan sudara. Biar deng kurang-kurang asal jang sudara susah. Biar deng kurang-kurang asal kuat deng sumbayang. Jadi benar, “kalu ada, mau sambunyi akang par apa? Kasi sa, eso masih dapa yang baru lai”. Toch lebih luhur ketika kesusahan saudara dapat teratasi walau itu dari pemberian apa adanya kita.

Akhirnya, dalam pengalaman hidop hari-hari, bila papa/mama kita adalah orang yang “pengasihan lupa diri”, apakah anak cucunya hidop susah? Apakah mereka melarat karena tidak punya dusun? Saya yakin tidak, karena bagian milik mereka yang lain telah tersedia dan mereka hidop bae-bae sampe oras ini (=bahagia sampai sekarang dan nanti).

Bacalah dalam setiap kitab suci, atau temukanlah dalam pengalaman hidup, ternyata tidak ada orang yang rela mengasihi mati sia-sia. Mereka berkelimpahan dalam kebaikan dan anak cucunya berlimpah berkat.

Bandara Sultan Hasanuddin, Maros, Makassar, Selasa, 23 Maret 2021


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button