Pendapat

Pangeran Diponegoro, Daeng Nuhung dan Becak di Makassar

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Penulis SATUPENA Sulawesi Selatan)


Begitu selesai menunaikan sholat Ied, Nuhung Daeng Tola bersama anak-anak dan cucunya berziarah ke makam istrinya, Raden Ayu (RA) Nur Tenri Diponegoro, di Kompleks Makam Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro. Kompleks makam ini berada di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu. Kecamatan Wajo, Kota Makassar, tak jauh dari Pasar Sentral.

Istrinya, yang akrab disapa Daeng Datu, merupakan keturunan Pangeran Diponegoro (11 November 1785-8 Januari 1855), tokoh yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa, melawan penjajah kolonial Belanda, antara tahun 1825-1830. Ayah Daeng Datu adalah Raden Mas (RM) Sulaiman Diponegoro, anak keempat Pangeran Diponegoro dan Raden Ayu Ratu Ratna Ningsih, istri yang ikut dalam pengasingan hingga akhir hayatnya di Makassar. Sementara ibunya, Basse Daeng Sangnging, asal Panaikang, Kabupaten Takalar. RM Sulaiman, semasa hidupnya merupakan Kepala Lingkungan Maricaya.

Nuhung kelahiran Makassar, tahun 1952. Lelaki yang kini sudah berusi 72 tahun itu, begitu bersemangat saat diajak berbicara seputar pekerjaannya sebagai pagoyang becak, pada Jumat, 5 April 2024. Pagoyang ini sebutan bahasa Makassar untuk penarik becak. Saya kembali datang bersilaturahmi, saat momen perayaan Idulfitri 1445 Hijriah, pada Jumat, 12 April 2024. Nuhung ini sepupu satu kali saya, dari garis bapak.

Nuhung bercerita, dia menikah dengan Daeng Datu pada tahun 1979. Saat menikah, dia sudah bekerja sebagai penarik becak. Pernikahan mereka dikaruniai tiga orang anak, yakni Adiawan Nuhung, Sri Kusumawati (Ebo), dan Citra Ningsih (Putih). Anak-anaknya tidak lagi menyandang fam Diponegoro karena mereka lahir dari garis keturunan ibu. RA Nur Tenri Diponegoro wafat pada tanggal 7 September 2016.

“Saat diumumkan di Masjid Nurul Jannah Jalan Rappocini Raya bahwa almarhumah akan dimakamkam di Kompleks Makam Pangeran Diponegoro, banyak yang baru tahu kalau istri saya keturunan bangsawan. Mungkin itu banyak yang mau mengantar jenazahnya. Mereka mau lihat makam Pangeran Diponegoro. Saat di makam, para pengantar jenazah dipersilakan duduk di kursi pendopo makam oleh penjaga makam,” kenang Nuhung dengan mata berkaca-kaca.

Saya bertamu ke rumah Nuhung Daeng Tola, di rumahnya di Jalan Rappocini Raya Nomor 3, Kelurahan Maricaya Baru, Kecamatan Makassar. Dahulu, kawasan di sekitar rumahnya ini disebut agang je’neka, sebab jadi tempat air mengalir dari Tidung –di belakang DPRD Kota Makassar– hingga ke PDAM di Jalan Dr Sam Ratulangi. Setelah ada jembatan, di tahun 1960, jalan itu tembus dan menyatu dengan Jalan Rappocini Raya.

Nuhung melanjutkan ceritanya. Pada era 80-an, dia membantu Haji Nyomba, seorang pengusaha becak di Jalan Rappocini, yang masih punya hubungan keluarga dengan kami. Boleh dikata, Haji Nyomba, saat itu, merupakan juragan becak.

Jumlah becaknya ratusan mungkin ribuan. Meski becak-becak sebanyak itu tidak disimpan di rumahnya. Haji Nyomba hanya mengeluarkan becak-becak pesanannya dari pabrik pembuatan becak. Nanti, setelah itu, becak dicicil selama 12 bulan oleh tukang becak. Bila lunas, becak dimiiliki sendiri oleh si tukang becak tersebut.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2 3 4Next page

Berita Serupa

Back to top button