AmboinaMalukuSeni Budaya

“Muis” Buku Cerita Anak Sebagai Upaya Lestarikan Bahasa Ambon di Belanda

potretmaluku.id – Lise Yian Sui de Fretes, seorang guru bahasa Inggris dan Belanda yang memiliki keinginan tinggi menjaga dan merawat kearifan lokal orang Maluku di tanah Belanda.

Perempuan blasteran Ambon-Belanda itu menerbitkan buku cerita anak berjudul “Tikus” atau Muis” sebagai upaya melestarikan dan memperkenalkan bahasa Melayu Ambon kepada masyarakat Maluku di Negeri Kincir Angin.

Buku yang mengkisahkan pertemanan tikus hutan dan tikus kota itu ditulis dalam bahasa Belanda dan Melayu Ambon. Buku yang dicetak begitu apik, mulai dari sampul buku, gambar, warna hingga kata-kata yang ditulis dalam dua bahasa itu begitu mengesankan.

Lise Yian Sui de Fretes yang juga Owner PT Biro Bahasa Ambon, Bahasa Melayu di Belanda, Bahasa Inggris, dan Belanda itu menyebut, cerita tentang persahabatan dua ekor tikus ini diadaptasi dari cerita legenda Yunani, yang kemudian dibuat dengan nuansa unik, lucu, dan menyenangkan.

“Jadi proses pembuatannya ini sekitar setahun, karena kita adaptasi dari cerita legendaris ke bahasa Belanda, setelah itu ke bahasa Melayu Ambon, ini yang agak sulit karena harus penyesuaian kata demi kata, agar tidak berbeda makna,” kata Lise saat ditemui wartawan di Ambon, Selasa (9/1/2024).

Kata dia, pesan yang mau disampaikan dalam cerita ini agar bahasa Melayu Ambon ini terus terlestari, apalagi untuk orang Ambon yang menetap di Belanda. Selain itu, untuk menyampaikan pesan bahwa ikatan persaudaraan di Maluku itu sangat kental.

Isi dalam buku cerita anak itu menggambarkan tentang ikatan persahabatan dua ekor tikus yang datang dari ekosistem yang berbeda. Saat bersama, kedua ekor tikus itu dihadapkan dengan berbagai tantangan.

Meski begitu, keduanya tetap bersama dan berbagi aneka makanan khas Maluku, mulai dari kue gogos, Kanari, ikan asar (ikan asap), waji, ampas tarigu, nagasari dan sejumlah panganan khas Maluku lainnya.

“Beberapa kata dalam buku ini juga merupakan bahasa Melayu Ambon yang hampir punah, karena sudah jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti “skrek” yang artinya sangat kaget, su takotang (sangat takut),” ungkapnya.

Ditempat yang sama, pelaku budaya di Maluku, Theoresia Rumthe yang sering menggelar panggung musik bersama Rempah Gunung, dan Aroma Dendang Sahaja, mengaku terharu saat membaca buku cerita anak dengan dialek Melayu Ambon itu.

Theoresia Rumthe sendiri lahir Ambon, 16 Oktober 1983. Setelah belasan tahun merantau dan tinggal di kota Bandung, kini ia pulang dan menetap di kota Ambon. Dia telah menulis puisi, mengajar wicara publik, dan membuat gelaran panggung musik bersama Rempah Gunung, Aroma Dendang Sahaja.

“Apalagi ada kalimat “tikus kota seng lupa bungkus makanan par dia pung tamang”, itu sangat menyentuh sekali. Sebab budaya ini sudah ada di Maluku sejak jaman dulu, sehingga harapannya terus ada,” kata Theo.

“Beta (saya) berharap, kedepan lahir cerita-cerita anak yang lebih beragam sehingga memperkaya kosakata bahasa Melayu Ambon,” tambah Theo. (HAS)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button