
Beberapa waktu lalu, viral berita tentang Effendi Gozali (EG) yang menanggalkan gelar ‘Guru Besar’, yang telah dia peroleh dari sebuah universitas swasta cukup ternama (populer) di Ibukota. Menyusul, namanya yang terseret kasus megakorupsi bansos oleh JB, mantan Menteri Sosial yang diganti oleh ibu Risma (mantan walikota Surabaya yang populer itu).
EG berkilah ia telah gagal mengajarkan prinsip jurnalisme, yang konon katanya sudah banyak tidak dijalankan lagi dalam praktiknya. Pendeknya, EG merasa malu karenanya. Malu yang sekaligus mengandung kritik bagi rupa jurnalisme kita kini. Hal senada juga dijelaskan oleh senior jurnalis sekaligus bos Jawa Pos Group, bapak Dahlan Iskan, dalam sebuah esainya.
Saya juga ikutan terdaftar sebagai salah satu pembelajar di bidang jurnalisme, soalnya. Untuk itu, merasa perlu juga untuk menuliskan keresahan saya ini.
Pada satu sisi, EG tampak berlebihan dengan menanggalkan status ‘Guru Besar’ tersebut. Padahal, jabatan akademik tertinggi dalam perguruan tinggi tersebut hanya bisa diraih dengan pengorbanan dan perjuangan yang tidak sedikit. Bukan perkara enteng. Super sulit. Untuk menyandang gelar mulia itu, seseorang akademisi harus aktif menulis makalah, buku, hasil penelitian (jurnal) dalam skala nasional dan internasional, dan persyaratan lainnya. Penuh perjuangan berdarah-darah seperti kata teman saya yang telah menyandang predikat luarbiasa tersebut. Professor.
Namun, pada sisi lain, EG menunjukkan kelasnya sebagai publik figur. Saya katakan publik figur karena EG sering wara-wiri di stasiun televisi sebagai narasumber. Didapuk sebagai Pakar Ilmu Komunikasi. EG mengambil sebuah langkah tak populis. Entah, apa dia tak mau lagi tampil atau bagaimana? Hanya EG dan Tuhan jua yang tahu tentu saja.
EG, bagi saya, satu dari tak banyak orang yang ‘berani’. Entah apa yang terbesit dalam kepala beliau sehingga nekat mengambil langkah ‘tak lazim’ seperti itu.
Mengembalikan gelar Professor karena merasa tak lagi layak menyandangnya. Dalam benak saya, EG sedang mengajarkan pada kami (para pembelajar ini) bahwa gelar setinggi apapun itu sejatinya tidaklah sebanding dengan pertaruhan nama baik. Karena dipanggil sebagai saksi dalam kasus penyelewengan dana baksos tersebut, dia pun menanggalkan predikat ‘luar biasa’ yang tersemat di depan namanya. Sebagai tanggung-jawab moral kepada publik sekaigus para mahasiswa yang telah diajarnya. Di samping, kekecewaan dia dengan kesalahan prosedur jurnalistik yang kemudian ikut menyeret namanya itu.
Moral story dari kasus EG adalah bahwasanya pers harus berani independen dan mengatakan sesuatu yang benar walaupun itu pahit. Karena, fungsi Pers adalah penjaga moral (kritik sosial) di samping fungsi informatif dan pendidikan yang menjadi misinya. Bukan, anjing penjaga tuannya. Apalagi, corong kepentingan pengamanan kekuasaan yang cenderung manipulatif.
Terlepas dari subyektifitas EG atau persoalan serius yang ditengarai tengah menderanya itu. Pers sebagai pilar keempat demokrasi memang harus berdiri di tengah: tak berpihak. Menyuarakan ketimpangan atau ketidakadilan yang terjadi di tengah-tengah publik dan menginformasikan kebenaran atas suatu peristiwa secara terperinci dan sesuai dengan kejadian sebenarnya.
Namun demikian, persoalan EG hanyalah kasuistik, dan saya yakin bahwa jurnalis kita masih banyak yang idealis. Mereka yang tetap tegar menyuarakan fakta dan mengabarkan peristiwa secara jujur (apa adanya), berimbang, dan bertanggungjawab.
Allahu’alaam bisshawaab.
Penulis: M. Ihwan F. Putuhena, pegiat media sosial, founder Pihar Madani dan pengajar di IAIN Ambon.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi