Mengenai Teineman yang Viral Belakangan Ini
Historisitas keberadaan masyarakat Teineman saat ini berkaitan dengan migrasi orang Selaru di selatan ke utara Tanimbar pada tahun 1940-an. Mereka bermigrasi untuk bekerja di Onderneming, perkebunan kelapa milik Belanda. Para mener (mandor) yang didatangkan dari Pulau Ambon selain bertugas untuk mengawasi perkebunan, tapi juga mendirikan sekolah rakyat sehingga Kekristenan tetap bertahan dan pendidikan dapat tersalurkan. Kini, masyarakat Teineman sudah sampai generasi kelima.
Sejak perkebunan kelapa tak lagi beroperasi, masyarakat Teineman menggantungkan sumber nafkah pada hasil laut. Peralihan sumber nafkah tersebut membuat mereka berlomba-lomba turun ke laut untuk menafkahi keluarga atau sekadar memenuhi subsistensi. Hasil tangkapan biasanya dijual kepada tengkulak lokal karena keterbatasan alat transportasi. Perahu sampan dan semang tidak mungkin pergi ke Larat untuk menjual hasil tangkapan. Karena itu, moral ekonomi yang terkonstruksi pun berkaitan dengan pembagian hasil tangkapan untuk kepentingan bersama. Mereka adalah nelayan yang berhati nurani.
Sebuah pengalaman autoethnography yang saya alami dan tak akan terlupakan adalah tradisi angka ana (anak angkat). Tradisi ini masih dihidupi orang Selaru di Teineman. Saya diangkat oleh keluarga Fordatkosu menjadi bagian keluarga mereka.
Saya diselimuti bakan (kain tenun) oleh ibu angkat lalu dipangku. Sebuah simbol jaminan sosial tradisional kepada saya yang orang asing ini menjadi anak mereka. Kini, saya memiliki orang tua sosial sekaligus dijinkan menggunakan properti keluarga Fordatkosu.
Mungkin itu saja narasi singkat yang ingin saya bagikan. Semoga banyak orang tertarik pada Teineman, bukan pada fenomena alam pascagempa, tapi karena keindahan alam, kehangatan sosial, kebudayaan lokal, dan ketangguhan kami di tengah derasnya lautan untuk mencari nafkah.(*)
IKUTI BERITA LAINNYA DIĀ GOOGLE NEWS
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi