Pendapat

Menebak Koalisi Politik PDI-Perjuangan -Demokrat di Pilkada Bursel 2024

PENDAPAT

Oleh : Yani Sigmarlatu (Mahasiswa Pascasarajana Politik & Pemerintahan, FISIPOL UGM)

Belakangan, Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku, mengalami krisis kelembagaan. Hal tersebut terekam dari sejumlah aktor eksekutif dan legislatif dalam beberapa bulan lalu, yang diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Krisis tersebut juga mengisyaratkan keterlibatan aktor eksekutif dan legislatif sehingga menjadi problem struktural yang serius. Padahal harusnya tidak demikian.

Krisis kelembagaan di dua lembaga politik tersebut mendorong kita untuk memeriksa, kira-kira kompromi apa yang dibangun antara kedua lembaga tersebut? Bagaimana relasi politik antar kedua lembaga, pasca itu? Atau misalnya, perjanjian apa yang sementara dikelola untuk melanggengkan kekuasaan di daerah.

Posisi kedua lembaga tersebut secara konstitusional berbeda sehingga mengharuskan kontrol politik yang kuat. Misalnya dari DPRD ke Bupati/Wakil Bupati sebagai lembaga ekskutif. Namun yang terlihat akhir-akhir ini sangat sulit untuk menciptakan kontrol tersebut.

Kedua lembaga politik, eksekutif dan legislatif memainkan ritme yang sama dalam kompromi-kompromi politik tanpa kontrol politik yang berarti. Dugaan politiknya, kemungkinan elit birokrasi dan elit legislatif di Buru Selatan terkonsolidasi pada satu sumber kekuasaan yang sama.

Ketika kondisi tersebut terus berlangsung, bisa berdampak bagi pelembagaan demokrasi di tingkat lokal. Utamanya terhadap akomodasi kepentingan masyarakat yang diwakili oleh DPRD sebagai institusi perwakilan rakyat di daerah.

Kita bisa perika asumsi berikut. Apakah ketiadaan kontrol politik dalam kedua lembaga tersebut, dihasilkan dari gemuknya koalisi partai penyusun di Pilkada kemarin. Sehingga ruang untuk menciptakan keseimbangan antar kedua lembaga sulit terjadi.

Jika demikian, lantas bagaimana keberlangsungan koalisi politik antar elit di kedua lembaga tersebut untuk mempertahankan kekuasaan mereka di Pilkada 2024? Pasalnya kompromi politik antar elit di legislatif dan eksekutif, yang diikuti krisis kelembagaan akibat kasus korupsi yang menimpa mantan Bupati Buru Selatan, yang juga elit Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan (PDI-P) bisa saja berdampak bagi langkah politik masing-masing elit di kedua lembaga, termasuk di kedua partai yang notabennya sejak lama telah berkoalisi. Berubahnya formasi politik tersebut bisa berdampak di Pilkada 2024.

Pilkada 2024 Kabupaten Buru Selatan bisa mengubah format politik antara PDI-P dan Demokrat yang sebelumnya tampak erat. Koalisi politik tersebut bisa saja semakin kabur.

Hal tersebut terlihat dari interaksi antar kedua elit partai yang tampak kaku, atau takut dalam melakukan politik transaksional berbasis kepentingan partai.  Atau juga mempertahankan status kekuasaan mereka menjelang Pilkada 2024.

Pada sisi yang lain juga urusan birokrasi tampaknya tidak lagi ideal dalam pembagian tugas bupati yang berasal dari PDI-P dan wakil bupati yang berasal dari Demokrat. Sehingga ikatan emosional yang terbentuk sesama elit dalam koalisi dua partai terebut, tidak lagi seharmonis dulu.

Keadaan tersebut mungkin sulit untuk dilihat. Namun bisa diperiksan melalui pendekatan instrumentalisme elit lokal, yang tampaknya selalu berusaha memanipulasi emosi simbolik dalam struktur kelembagaan, untuk menutupi ketidak harmonisan mereka dalam urusan birokrasi maupun di depan publik.

Indikasi yang terlihat adalah muncul pengunduran diri dan sikap saling menjauh secara politik dari masing-masing elit politik yang berasal dari kedua partai (PDI-P dan Demokrat). Masing-masing tampaknya mulai melepaskan diri dari kekuasaan yang selama ini menjadi tempat berlindung kepentingan mereka.

Langkah tersebut  kemungkinan besar berdampak bagi pembentukan koalisi partai politik keduanya lagi di Pilkada 2024. Termasuk berubahnya formasi koalisi dan kompromi politik keduanya di Pilkada.

Sebagai catatan, koalisi dua partai ini menyumbang dukungan yang besar di Pilkada Bursel. Misalnya Pada Pilkada 2015 kedua partai tersebut berkoalisi mendukung Tagop Soulisa dan Ayub Seleky dan memperoleh 18478 suara (59,99 %). Pada Pilkada 2020, kedua partai tersebut berkoalisi di Pilkada 2020 dengan mengusung Safitri Malik Soulisa dan Gerson Selsily dengan perolehan suara 16847 (43,45 %).

Langkah politik masing-masing elit dari kedua partai koalisi pasca ditetapkannya Tagop Solissa yang adalah elit PDI-P dan teman koalisi Demokrat yang tampaknya mulai saling menjauh dan berhati-hati bisa mengubah formasi koalisi mereka ke depan. Kemungkinan buruknya adalah PDIP-Demokrati sulit untuk menjadi teman koalisi Demokrat di Pilkada 2024 lagi.

Pada sisi lain gerakan melepaskan diri dari jejaring koalisi lama dan mencari posisi aman tampaknya menjadi siasat baru bagi elit politik Buru Selatan secara diam-diam (laten). Gerakan ini menjadi strategi elit-elit, karena mereka di satu sisi tidak memiliki sumberdaya ekonomi dan politik yang memadai. Sehingga selalu bergantung pada jaringan kekuasaan lama.

Artinya, dimana ada kekuatan politik dan ekonomi yang kuat, berlindung pada kekuatan tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan kedua partai tersebut bisa berkoalisi karena keharmonisan anta relit dirawat melalui urusan birokrasi dan kepentingan partai.

Dari watak elit tersebut, kita bisa membuat semacam pengukuran suara elektoral PDIP dan Demokrat di Pileg 2024. Suara kedua parta bisa bertambah melampaui jumlah suara di Pilkada sebelumnya.

Hanya saja perolahan suara tersebut mungkin bisa dihasilkan dengan membajak kekuatan birokrasi yang terwakili oleh koalisi dari kedua partai, bupati  (PDI-P) dan wakil bupati (Demokrat). Peningkatan jumlah suara masing-masing partai tersebut, bisa juga membubarkan koalisi kedua partai karena suara elektoral masing-masing partai, memiliki dukungan politik yang besar secara terpisah. Sehingga keinginan untuk menjadi yang terkemuka di Pilkada juga bisa semakin kuat. Disamping juga masing-masing partai secara terpisah bisa menjadikan keunggulan mereka sebagai nilai tawar kepada partai politik yang lain untuk berkoalisi.

Hitungannya, gemuknya koalisi antar kedua partai di parlemen maka akan semakin kecil kesemibangan antar DPRD dan Bupati/Wakil Bupati terjadi. Dampaknya bisa lebih konkrit, terhadap distribusi kesejahteraan di masyarakat. Belum termasuk watak elit politik yang seringkali berusaha untuk mencari posisi aman demi mempertahankan kekuasan politiknya di Pileg nanti. Dari kondisi tersebut, bisa saja kedua partai tidak berkoalisi karena hilang kepercayaan publik terhadap kepemimpinan mereka akibat dari ketiadaan keseimbangan
dan kontrol politik yang baik selama berkoalisi. Dampaknya terburuknya jika ditinggalkan oleh publik, adalah secara elektoral, suara kedua partai bisa menurun di Pileg yang pada gilirannya bisa  berdampak pada koalisi pada pilkada.

Hilangnya kepercayaan publik, inkonsisten visi dan misi terealisasi, dampak politik dari kasus korupsi, serta ketiadaan kontrol politik di tengah koalisi kedua partai, bisa memberi kesan buruk bagi dukungan politik publik terhadapnya. Dari sejumlah uraian di atas, kurang lebih ada tiga posisi yang bisa dipetik. Pertama, ketiadaan keseimbangan antar kedua lembaga yang diinisiasi oleh kedua partai, berdampak pada distribusi kesejahteraan di masyarakat. Kedua, ketidakharmonisan kedua partai pasca kasus korupsi. Ketiga, menurunnya kepercayaan publik di momen elektoral mendatang. Ketiga posisi ini dianggap layak mewakili kondisi politik yang di kedua partai tersebut. Namun kondisi politik yang lain bisa saja berkembang atau berubah saat perhelatan politik dimulai. Masih banyak hal juga yang dapat kita lihat di masa mendatang, apakah ideal PDIP dan demokrat berkoalisi lagi?.(*)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button