Lahan Alang-Alang: Prospek atau masalah dalam Meningkatkan Produkfitas Pertanian Di Dusun Kranjang Desa Wayame Kota Ambon
PENDAPAT
Lahan alang-alang merupakan lahan marjinal, karena tanpa masukan yang tinggi, hanya menghasilkan produksi yang rendah dan tidak menguntungkan atau merugikan petani sehingga seringkali lahan diterlantarkan (Purnomosidhi dkk, 1998)
Oleh: Dr. Bokiraiya Latuamury, S.Hut, M.Sc (Dosen Program Studi Ilmu Lingkungan, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura)
Pendahuluan
Alih fungsi lahan sesungguhnya bukan fenomena baru dalam kehidupan manusia. Fenomena ini sudah berlangsung lama, dan dianggap menjadi persoalan besar ketika berakibat pada kerusakan lingkungan dan menyentuh persoalan keberlangsungan hidup manusia. Sejalan dengan pertumbuhan populasi, penguasaan dan penggunaan lahan menjadi terganggu dan mulai dianggap bermasalah. Hal ini memunculkan kompleksitas permasalahan akibat meledaknya pertambahan penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika pembangunan.
Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian), perlahan berubah menjadi multifungsi pemanfaatan (Adiningsih dan Mulyadi, 1993). Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan lahan non-pertanian yang dikenal sebagai alih fungsi (konversi) lahan, yang semakin hari semakin meninggi.
Jika alih fungsi lahan pertanian ini tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, bahkan dalam jangka panjang dapat menciptakan bencana sosial. Salah satu dampak konversi lahan adalah luas lahan alang-alang yang semakin meningkat. Luas lahan alang-alang di Indonesia mencapai 8,5 juta ha atau sekitar 4,47% dari luas wilayah Indonesia.
Lahan alang-alang semakin bertambah luas seiring dengan pertambahan penduduk, dimana meningkatnya jumlah penduduk, menuntut ketersediaan lahan pertanian dan pemukiman, sehingga waktu pemberaan lahan menjadi semakin singkat. Semakin singkatnya pemberaan, menyebabkan lahan yang dibuka cenderung ditumbuhi alang-alang.
Lahan alang-alang merupakan lahan marjinal, karena tanpa masukan yang tinggi, hanya menghasilkan produksi yang rendah dan tidak menguntungkan atau merugikan petani sehingga seringkali lahan diterlantarkan (Purnomosidhi dkk, 1998). Ditinjau dari luasannya, lahan alang-alang merupakan lahan yang potensial untuk dikembangkan dalam program ektensifikasi lahan pertanian (Zaini dan Lamid, 1992).
Dalam memanfaatkan lahan alang-alang untuk pertanian tanaman semusim harus dipertimbangkan kendala seperti buruknya sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Permasalahan ini diperburuk oleh kebiasaan petani membuka lahan dengan cara membakar dan membuang bahan organik ke luar lahan, yang menimbulkan sifat-sifat tanah menjadi buruk seperti: berat isi (1,22 g cm-3), aerasi (9,65 % volume), C-organik (1,67 %), KTK (3,3 cmol kg-1) dan total mikroorganisme 3,96 x 106 spk g-1. Kesuburan tanah yang rendah mengakibatkan produktivitas lahan juga rendah (Sudharto dkk., 1992).
Pembakaran telah menyebabkan menurunnya kandungan bahan organik tanah yang pada gilirannya menurunkan biomasa mikroorganisme tanah di lapisan atas. Untuk mengatasi kerusakan tanah akibat kebiasaan buruk petani membuka lahan alang-alang, maka perlu model reklamasi lahan alang-alang yang dapat memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan (Mulyani, A., 2005).
Untuk pengembangan pertanian yang berkelanjutan pada lahan alang-alang di Desa Wayame Kecamatan Teluk Ambon, perlu pengembangan model agroekologi reklamasi lahan untuk meningkatkan produktivitas lahan.
Permasalahan utama pada lahan alang-alang antara lain adalah;
- laju konversi lahan yang menyisahkan dampak buruk terhadap sifat fisika, kimia dan biologi tanah, dan
- keterbatasan sumberdaya lahan pertanian dalam memenuhi kebutuhan pangan di tingkat desa, dan
- Fenomena perubahan iklim yang sifatnya anomalis, menimbulkan gairah produktivas pertanian menjadi terbatas.
Permasalahan ini diperparah lagi oleh kebiasaan petani dalam membuka lahan dengan sistem tebas dan bakar, sehingga merusak ekologi tanah terutama pada zona perakaran tanaman. Untuk mengatasi kerusakan tanah akibat kebiasaan buruk petani membuka lahan, maka diarahkan pada pengembangan model reklamasi lahan alang-alang yang dapat memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah.
Untuk membangun suatu pertanian yang berkelanjutan di lahan alang-alang. maka perlu dilakukan penelitian untuk menentukan model reklamasi lahan yang cocok, pola tanam yang tepat, dan komoditi yang memiliki nilai unggul. Dalam membangun pertanian berkelanjutan menurut Sinukaban (1991, 1994) adalah menerapkan sistem pertanian yang mengintegrasikan teknik konservasi yang bertujuan meningkatkan pendapatan petani, dan ramah lingkungan.
Solusi yang ditawarkan adalah pengembangan model reklamasi lahan alang-alang dan pola tanam berbasis zonasi agroekologi sehingga memperbaiki sifat-sifat tanah, penyesuaian pola tanam yang preventif terhadap erosi tanah dan ramah lingkungan.
Solusi Permasalahan Alang-alang
Dusun Kranjang Desa Wayame merupakan Dusun yang menjadi sentra produksi tanaman pangan dan horikultura untuk pangsa pasar Kota Ambon. Pengembangan lahan pertanian intensif di Dusun ini. Efek sampingan dari konversi lahan dan kegiatan pertanian intensif ini menimbulkan laju perluasan lahan alang-alang meningkat.
Alang-alang bukan hanya sebagai pesaing bagi tanaman lain terutama tanaman pangan dalam mendapatkan air, unsur hara dan cahaya, tetapi juga menghasilkan zat alelopati yang menyebabkan pengaruh negatif pada tanaman lain (Hairiah et al., 2001). Lahan alang-alang dikategorikan sebagai lahan yang telah terdegradasi atau kondisi tanah tidak subur, sehingga perlu usaha untuk merehabilitasi lahan alang-alang agar menjadi lahan yang lebih produktif.
Usaha-usaha untuk mereklamasi alang-alang telah banyak dilakukan oleh petani baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil tergantung dari kemampuan petani.
Jenis-jenis alang-alang memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Pada dasarnya, masyarakat petani di desa mitra melakukan pembersihan lahan dari alang-alang menggunakan dua cara konservatif yaitu:
- Dengan pengolahan tanah dengan sistem bakar dan
- pengolahan tanah tanpa bakar, yang dilakukan menggunakan bahan kimia sistemik berbahan aktif glyphosate atau dikenal sebagai herbisida (misalnya “Roundup”, “Spark”, “Polaris” dan lain-lain).
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi