
Oleh: Eltom (Pemerhati Sosial)
Kadang “bakumalawang-bakumalawang ni” (=adu argumen) menyeret hal-hal iman ke dalamnya.
Untuk membuktikan benar tidaknya pendapat sering diucapkan “sumpa e” (=saya bersumpah) sambil “taru jare telunjuk di lida lalu garis testa“; di Waemulang, pulau Buru malah sering diucapkan “sumpa e, gareja puti e” (=sumpah demi gereja yang cat temboknya berwarna putih) atau “sumpa, gareja satu e” (=sumpah demi gereja satu/gereja lama) atau “sumpa, gareja dua e” (=sumpah demi dua bangunan gereja – lama dan baru). Di Lease sering terucap, “lampu raja e” (=lampu yang terang benderang) sebagai penguatan atas kebenaran sebuah ucapan.
Mungkin pada semua masyarakat hal-hal iman/kepercayaan menjadi dasar legitimasi suatu pernyataan atau keputusan, dan mereka melakukannya dengan rupa-rupa tanda bahasa atau kode. Secara umum di Maluku, “cicak bataria” (=suara cecak) dijadikan pembenaran suatu informasi/pembicaraan. Pada musim omba, di Aru, bila ada rencana berlayar dan “bakumalawang ombak ka seng” (=besok lautan berombak atau tidak) lalu “anjing bagonggong baku balas” (=anjing menggonggong berbalasan) adalah tanda besok lautan tidak berombak. Itu tanda-tanda pembenaran. Karena hal-hal itu terjadi berulang maka tanda itu diyakini sebagai pembenaran.
Satu lagi yang memperlihatkan tingkat “bakumalawang sampe seng tau sapa batul” (=berantahan sampai tidak tahu siapa yang benar) yaitu “kalu Tuhan dua, se satu, beta satu” (=bila Tuhan ada dua, satu buatmu, satunya buat saya). Ini menandakan hampir pasti kebenaran dipertahankan masing-masing pihak, dan tidak ada yang mengalah. Bahkan sering ungkapan ini diucapkan dalam kondisi dimana seseorang “seng mau mangaku sala” (=tidak mau mengaku salah) karena tidak mau “dapa tudu/jang batudu sasabarang” (=dituduh). Jadi ungkapan itu menjadi semacam “baku taru keyakinan” (=adu kepercayaan) sebagai cara terakhir “bakumalawang tar ujung pohong” (=berbantahan tak jelas duduk perkaranya) atau “bakumalawang sampe aer masing karing” (=berbantahan sampai air laut mengering).
Orang yang benar dalam hal-hal “bakumalawang” itu ada yang suka pula mengucapkan: “suda jua, kalu memang Tuhan ada dua, ambel dua-dua par ale jua” (=kalau Tuhan ada dua, ambil keduanya menjadi milikmu) sebab “itu Tuhan kesia-siaan“. Bagi orang seperti ini, kebenaran itu bersumber dari Tuhan yang satu sebagai Tuhan yang “tau beta pung hati” (=mengetahui isi hatiku).
Ingatlah bahwa kebenaran itu bersumber dari rahim kehidupan sehingga kebenaran itu tetap akan muncul, bangkit, tumbuh, hidup, berkembang.
Rabu, 28 April 2021
KMP Feri Wayangan, Lautan Buru menuju Teluk Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi