Komunitas

Mengenal Lebih Dekat Kalesang FC, Wadah Sepak Bola yang Menghimpun Jurnalis di Maluku

potretmaluku.id – Dua belas tahun sudah Kalesang FC hadir di tengah-tengah publik Maluku, banyak suka maupun duka pernah terjadi dalam wadah ini. Dulunya, hanya sebuah tim bola biasa, dan berorientasi sebatas menghimpun jurnalis guna menyalurkan bakat olahraganya.

Tim ini mulai dirintis saat Levianus Kariuw, Manager Kalesang, menjabat sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Maluku. Dia berinisiatif menghimpun para jurnalis yang punya bakat di dunia olahraga, termasuk sepak bola.

Levianus Kariuw saat bincang-bincang dengan potretmaluku.id, di Kedai Kopi Ujung Jembatan Merah Putih (JMP), Kamis pekan lalu (23/2/2023) mengatakan, para wartawan atau jurnalis memiliki berbagai latar belakang, dan tentu berbeda-beda. Selain itu terdiri dari beragam organisasi profesi jurnalis.

“Nah, kalau kita starting dari awal, media mereka pun beda-beda, karakter media dalam hal ini managemen juga beda-beda. Sementara kalau menuju ke organisasi pers, maka ada Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), PWI, juga lainnya,” kata Bos Spektrum yang akrab disapa Levi ini.

Dengan beragam organisasi profesi ini, kata Levi, tentu muncul pula berbagai perbedaan, meskipun tidak kelihatan sampai ke dasar permukaan. Namun bisa jadi, akibat perbedaan tersebut dapat melahirkan dampak tidak baik untuk sepak terjang pers sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia.

Melihat kondisi tersebut, lalu ada asumsi, kenapa para jurnalis ini tidak bisa berkumpul dalam sebuah wadah untuk kebaikan bersama?. Karena itulah Kalesang FC dibentuk, dan kini usianya sudah 12 tahun.

Para tokoh pencetus idea Kalesang, ungkap Levi, seperti Sahlan Heluth, M. Yani Kubangun, Anton Kompas, dan juga sejumlah senioritas jurnalis lain, termasuk dirinya sendiri.

“Kita beramai-ramai membentuk tim bola yang diberi nama Kalesang Futsal,” katanya.

Dulunya, kata dia, mereka hanya bermain futsal, dan lapangan Tantui Ambon sering menjadi pilihan utama. Namun tertumbuk padatnya jadwal atau banyaknya tim futsal yang berlaga di sana, Kalesang lalu berpindah lokasi ke lapangan futsal Wijayah. Semua jurnalis yang menyukai sepak bola kumpul di sana, mereka menghabiskan libur akhir pekan di lapangan Wijayah.

“Kalau soal kumpul-kumpul biasa, kan tinggal datang ke rumah kopi, kita ngopi sambil omong kosong. Sebab itulah kita memilih olahraga sebagai alternatif perhimpunan,” katanya.

Menurutnya, saat menjadi Ketua PWI, dirinya membentuk tim bola wartawan. Namun setelah berhenti menjabat, tim itu kemudian fakum.

“Kita lalu inisiatif membentuk satu tim bola lagi, yang tujuannya mewadahi wartawan. Ada Bang Yani, Bang Sahlan, juga bung Anton Kompas,” ungkapnya.

Tim bola yang dibentuk tersebut, diberi nama Kalesang FC. Tim ini awalnya hanya fokus untuk main futsal, namun kemudian merambah hingga ke gawang besar. Sekarang, setiap akhir pekan (Jumat), Kalesang berlaga di lapangan Halong, atau tepatnya di Mako Lantamal IX Ambon – TNI AL.

“Pokoknya ada banyak suka dukanya, tapi prinsipnya saat kita ketemu, ya memang karena olahraga. Tetapi perlahan-lahan, Kelesang juga masuk pada segmentasi-segmentasi lain, seperti menjaga solidaritas dan lainnya,” ujar salah satu Tokoh Pemuda Seram Barat ini.

“Puncaknya itu, ketika kita sampai diproses Musda IJTI kemarin, hingga terpilih Noel Kabiro Kompas TV Ambon. Ya bukan apa-apa, tapi soal identitas ini kan dia bisa masuk sampai ke mana saja, termasuk di dunia wartawan, walaupun di sisi lain harus netral dan lainnya. Karena itu kita masuk dan merubah paradigma itu,” katanya.

Kemudian ada soal lain juga, seperti pemberitaan provokatif yang berpotensi memicuh konflik dan lain-lain di wilayah Maluku. Jadi jurnalis yang tergabung dalam Kalesang, jika melihat ada berita-berita yang menjurus ke aras provokasi yang menggiring unsur Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan atau SARA, mereka segera bertindak untuk meluruskannya ke publik.

“Satu ketika ada insiden kawanan pemabuk di Passo. Mereka ini berteman, sama-sama mabuk dan salin barantam dan berujung baku potong. Namun diframing oleh satu media, bahwa peristiwa tersebut merupakan SARA, padahal itu kawanan pemabuk,” kisahnya.

Kebetulan, lanjut Levi, saat itu, dia bersama rekan-rekan jurnalis sedang main futsal di Wijayah. Usai bermain, mereka lalu berkumpul dan bersepakat untuk membuat framing di media masing-masing, bahwa pertikaian yang terjadi di Passo bukan bernuansa SARA, tapi berkelahi biasa antara kawanan pemabuk.

“Kita bersepakat membuat framing bahwa konflik yang terjadi di Passo itu bukan SARA,” katanya.

Saat ini, lanjut dia, Kalesang bukan lagi sekedar tim sepak bola, namun lebih dari itu soal hubungan kemanusiaan. Bahkan atas ikatan tersebut, Pemerintah Daerah atau stakholder lain belum merasa lengkap jika tidak menghadirkan Kalesang dalam sebuah kegiatan yang akan digelar.

“Ini terasa lucu, ketika Kalesang tidak hadiri sebuah agenda yang digelar pemerintah. Padahal wadah ini bukan organisasi pers. Bahkan ada pernyataan bilang begini, kalau kita undang Ketua PWI, maka yang datang hanya PWI doang, kita undang Ketua AJI, belum tentu PWI datang. Atau kita undang IJTI belum tentu AJI dan PWI datang. Tapi kalau kita undang Kalesang, maka itu paket hemat dan lengkap. Jadi di dalamya dapat nasi, dapat ikan, dapat kentan, dapat minum juga, karena yang sudah pasti datang itu semua,” katanya menirukan pernyataan salah satu pejabat, yang enggan menyebut namanya.

Bos Spektrum ini juga mengatakan, di Kalesang tidak hanya sekedar menghimpun wartawan atau jurnalis, ada pemilik media, pemimpin media, ada ketua organisasi lain, bahkan ada anggota polisi dan lainnya yang ikut bergabung.

Prinsipnya, sambung dia, semua orang saling menghargai. Masing-masing orang memposisikan diri sebagai adik, juga selaku kaka. Meski begitu, kata dia, tidak ada senioritas maupun junioritas di tubuh Kalesang, namun pada posisi saling menghargai antara satu dengan yang lainnya.

“Kalau yang tua bicara, yang muda menghargai, begitu pun sebaliknya,” ujarnya.

Saat sekarang, Kalesang tidak sebatas main bola, namun sering juga melakukan aksi-aksi sosial, meskipun dalam skala kecil. Konteks-konteks keagamaan juga sering mereka lakukan. Jadi ada segmentasi lain, selain jurnalis dan sepak bola.

Dia bilang, di Kalesang tidak ada persaingan. Semua orang yang terhimpun, tahu bagaimana memposisikan diri, bahkan dalam berperspektif pun terkadang sama.

“Kalaupun ada persaingan, yaa itu hanya sebatas mencari sensasi atau popularitas aja. Kadang-kadang kalau kita berdebat di sosial media, ada orang lain yang menganggap itu serius, padahal ngga,” cetusnya.

Dia mengaku, memang tidak semua bisa dilakukan di Kalesang, tapi ada sentuhan-sentuhan kecil yang tidak terlepas dari perhatian mereka. Jadi lantaran kepekaan dan lain-lain inilah, tidak sedikit pula club-club bola profesional di Maluku yang merasa tidak lengkap, kalau belum bertanding lawan Kalesang.

“Kalesang itu bukan soal lainnya, tapi kalau soal kekompakan, menurut saya belum ada organisasi sehebat mereka,” sebut Levi, bangga.

Menyoal ikatan silaturahim dan model kerukunan (toleransi) yang dibangun di Kalesang, Levi mengaku, pihaknya tidak punya harapan setinggi itu, namun jika ada anggapan atau penilaian orang setinggi itu, tentu ini atensi yang cukup mendamaikan. Prinsinya, semua yang dibangun di Kalesang, berjalan natural tanpa rekayasa.

“Artinya melakukan semua hal, jangan menyisipkan tendensi. Jadi di saat berkumpul, ya kita berkumpul bukan karena soal identitas agama ini dan itu. Bukan karena Islam, Kristen atau lainnya. Ngga ada kaya gitu, kita kumpul karena kita punya komunitas. Dan komunitas Kelesang tidak ada agamanya. Tetapi kalau ada teman-teman lain yang mau menjalankan ibadahnya, kita yang di luar komunitas itu tetap mensupport mereka,” katanya.

“Mensupport itu kaya gimana? Contoh, ketika datang bulan Ramadhan, kita bikin buka puasa bersama, atau kalau Hari Raya Natal, kita bikin Open House. Jadi ada banyak cara yang buat kita untuk berkumpul bareng,” katanya lagi.

Artinya, lanjut dia, jika jurnalis tidak netral dalam berbagai macam politik identitas, lantas bagaimana nanti dengan publik?. Prinsipnya, jurnalis adalah role model atau sebuah teladan untuk sebuah demokrasi bermartabat.

Sisi lain, dia mengaku, lantaran begitu dekat antara satu sama lain dalam lingkup Kalesang, mereka terkadang marah hingga mengeluarkan kata-kata kasar. Tetapi semua itu semata-mata hanya mengingatkan, kalau setiap dari mereka yang terwadahi dalam Kalesang bukan orang lain, namun keluarga dan sudah seperti serahim.

“Jadi kalau saya berkata kasar kepada yang lain, ya karena kita menganggap diri adalah saudara, atau abang atau juga lain, tidak ada tendensi buruk dari itu. Kita adalah keluarga bukan identitas. Kita berteman dengan hati, dan ada norma yang tidak boleh kita langgar,” katanya.

Sebagai bagian dari Kalesang, Levi berharap hubungan yang sudah terjalin selama 12 tahun ini tetap solid dan kokoh. Artinya hubungan kemanusiaan yang terjalin di komunitas ini tetap menjadi teladan serta selalu bijaksana dalam setiap kali melangkah.

“Semoga kita tetap sama seperti dahulu, saling nasehat antara satu sama lain. Hubungan ini tetap harmonis dan humanis,” pungkasnya seraya mengatakan, Kalesang masih punya banyak visi untuk masa mendatang. (Pot-M)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button