Jejak Terakhir di Lembah Yahe: Ketika Langkah Terakhir Firdaus Menjadi Awal Gugatan
PENDAPAT

Kalau hutan bisa bicara, mungkin Gunung Binaiya sudah lama menjerit kesal. Bukan karena cuaca ekstrem atau medan yang tak bersahabat, tapi karena manusia di bawah—yang seharusnya menjaganya—lebih sibuk dengan protokoler daripada pertolongan.
Dan dalam tragedi hilangnya Firdaus Ahmad Fauji, suara yang paling nyaring justru datang dari mereka yang paling dekat dengan tanah: masyarakat adat dan relawan, bukan dari kursi empuk Balai Taman Nasional Manusela.
Sementara jenazah Firdaus ditemukan setelah 21 hari menghilang, perjuangan para relawan di medan berat tak pernah jadi headline. Yang muncul di media justru adalah suara-suara dari balik radio komunikasi—nyaring tapi hampa aksi. Lalu kita pun bertanya: di mana peran negara ketika nyawa manusia dipertaruhkan di ketinggian?
Oh, bukan, bukan karena tim relawan tidak mau memberi kabar atau informasi, atau mereka “kalah cepat” menyampaikan berita, tapi mereka lagi berjibaku mengurus almarhum untuk dievakuasi dalam medan dan cuaca yang berat. Saat itu, hanyalah soal evakuasi jenazah yang jadi fokus utama mereka.
Dua Dunia, Dua Sikap
Oke, mari kita bicara soal kontras. Di satu sisi, ada masyarakat adat dan para relawan pecinta alam Maluku—mereka ini bukan PNS, bukan pejabat, dan jelas bukan pejabat struktural dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Tapi justru mereka yang bergerak pertama, tanpa seragam, tanpa birokrasi, dan nyaris tanpa anggaran. Mereka yang menggendong janazah Firdaus menuruni lembah Yahe, tempat yang bahkan Google Maps pun belum tentu bisa bantu navigasi.
Di sisi lain, ada Balai Taman Nasional Manusela. Institusi resmi yang punya tupoksi, anggaran, dan (harusnya) prosedur tanggap darurat. Tapi saat pendaki hilang, yang muncul bukan aksi cepat, melainkan alasan panjang, seperti disampaikan pendaki Janter Jan: dari “medan ekstrem” hingga “air sungai meluap.”
Saking banyaknya, dia sarkastik sampai menambahkan alasan baru: “ban mobil pecah”, “bahan bakar habis” dan “pasang muka tembok.”
Ketika Petisi Bicara Lebih Lantang dari Laporan Resmi
Akhirnya petisi untuk mencopot Kepala Balai BTN Manusela, Deny Rahadi, kini viral. Isinya bukan sekadar tuntutan emosional, tapi refleksi dari keresahan publik yang sudah menumpuk. Mereka bertanya: bagaimana mungkin jalur pendakian dibuka tanpa kesiapan sistem tanggap darurat?
Bukankah membuka jalur pendakian berarti membuka tanggung jawab? Atau, dalam logika BTN, pendaki yang masuk dianggap sedang ikut ujian survival—lulus berarti pulang, gagal berarti salah sendiri?
Petisi itu juga menyinggung evaluasi menyeluruh, pembentukan tim independen, dan permintaan maaf kepada keluarga Firdaus. Semua hal yang seharusnya muncul dari dalam institusi, bukan dari luar. Tapi sekali lagi, yang bersuara justru rakyat.
Manajemen Resiko atau Manajemen Alasan?
Mari kita sedikit realistis—tidak semua bencana bisa dihindari. Gunung tetaplah gunung, penuh misteri dan risiko. Tapi justru karena itu, institusi seperti BTN dibentuk: bukan untuk menonton dari bawah, tapi untuk bertindak di saat krusial.
Ketika yang diunggah ke media justru suara dari balik handy talky, sementara para relawan sedang menggotong mayat pendaki, narasi kepahlawanan pun terasa absurd.
Mengelola taman nasional itu bukan cuma soal menutup jalur saat cuaca buruk, tapi soal tanggung jawab menyeluruh: dari konservasi, edukasi, hingga keselamatan.
Dan yang paling ironi: nama taman nasionalnya “Manusela”—yang berasal dari kata manu dan sela, manusia dan alam. Tapi dalam tragedi ini, manusianya diabaikan, alamnya dijadikan alasan.
Sebuah Akhir yang Belum Usai
Firdaus Ahmad Fauji sudah ditemukan—sayangnya dalam kondisi tak bernyawa. Tapi kasus ini belum selesai. Karena pertanyaan besarnya belum dijawab: apakah kita akan terus membiarkan institusi berlindung di balik prosedur dan menyalahkan medan? Ataukah sudah waktunya kita menuntut perubahan?
Dan yang lebih penting: siapa yang akan menjadi Firdaus berikutnya, jika sistem tetap dibiarkan rapuh?
Atau mungkin kita memang harus bertanya ke gunung: siapa sebenarnya yang paling tinggi, dia yang di puncak, atau mereka yang berani turun ke lembah?(Embong Salampessy)
IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi