Telusur Sejarah

Menelusuri Jejak Pemimpin Gerakan 30 September 1965 Lektol Untung Sutopo Bin Syamsuri di Kaimana Papua Barat

MENGULIK JEJAK SEJARAH

Hal ini yang membedakan Mayor Untung dengan para perwira TNI lainnya, sekaligus menunjukkan orientasi politik Mayor Untung sebagai seorang nasionalis yang mencoba membangun representasi ke-Indonesia-an di Papua.

Disusun oleh:  Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan (Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan)


KETERLIBATAN UNTUNG DALAM OPERASI TRIKORA

Nama Untung Sutopo bin Syamsuri dalam Operasi Trikora yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta, seolah sayup-sayup terdengar. Sangat sedikit literatur yang membahas kiprah Untung yang saat itu sudah berpangkat Mayor dan bahkan merupakan anak buah dari Panglima Mandala yaitu Mayjen Soeharto. Seolah-olah jejak Untung hendak dihilangkan dari sejarah khususnya di Tentara, lebih khusus lagi di Angkatan Darat.

Padahal, Mayor merupakan suatu pangkat tertinggi saat itu bagi prajurit yang diterjunkan di Tanah Papua. Biasanya, komandan satuan yang diterjunkan di beberapa wilayah operasi saja masih sebatas berpangkat Letnan Dua (Letda) atau Letnan Satu (Lettu). Ini juga terjadi di Sorong (Klamono, Sausapor dan Teminabuan), Fak Fak dan Merauke.

Mayor Untung adalah Komandan Batalyon 454/Diponegoro yang pernah diterjunkan di Tanah Papua, khususnya di Kaimana dalam Operasi Jatayu dengan nama gugus “Gagak”.

Baca Juga: Mengenal Negara Curacao Unikameral, Tempat Asal Suami Kopral Costavina “Cosje” Ayal

Pada 19 Januari 1963, Presiden Soekarno menyambut veteran pembebasan Irian Barat di Istana Merdeka Jakarta. Pasukan itu dipimpin oleh Mayor Untung. Hadir juga dalam kesempatan itu Panglima Mandala Mayjen Soeharto di Istana Merdeka Jakarta.

Sebagai anak buah langsung dari Mayjen Soeharto, pernikahan Untung di Kebumen juga dihadiri oleh atasannya itu. Pernikahan ini dilangsungkan beberapa bulan sebelum terjadi peristiwa Gerakan tanggal 30 September 1965 alias G 30 S/PKI.

Saat itu, Mayjen Soeharto menjabat sebagai Pangdam VII/Diponegoro. Soeharto dan istri menghadiri resepsi pernikahan Untung yang merupakan Komandan Resimen 15 di Solo. Untung adalah Komandan Kompi Batalyon 444.

SIAPAKAH UNTUNG SUTOPO BIN SYAMSURI?

Letkol Untung Sutopo bin Syamsuri merupakan Komandan I Pasukan Cakrabirawa yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 alias Gerakan Tanggal Tiga Puluh Gestapu atau G 30 S/PKI. Gerakan ini menculik “Dewan Jenderal” yang dituduh akan menggulingkan Presiden Soekarno tepat pada saat hari ulang tahun ABRI, 5 Oktober 1965. Gerakan ini diberi nama Dewan Revolusi Indonesia yang diketuai oleh Letkol Untung, seorang perwira Angkatan Darat.

Baca Juga: Haji Misbach; Sosok “kiri” Tokoh Pergerakan RI yang Diasingkan Belanda ke Manokwari

Letkol Untung dilahirkan di Kedung Bajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 26 Juli 1926. Nama kecilnya adalah Kusman, yang kemudian berganti nama menjadi Untung Sutopo.

Karena sejak kecil diasuh oleh pamannya bernama Syamsuri di Solo, maka kadang ditulis Untung Sutopo atau Untung Syamsuri atau lengkap sebagai Untung Sutopo bin Syamsuri. Padahal nama asli bapaknya adalah Abdullah, seorang pedagang peralatan batik di Pasar Kliwon, Solo.

Kusman kecil masuk sekolah dasar di desanya, Ketelan. Di sekolah itulah Kusman mulai mengenal permainan sepak bola dan bergabung dengan Keparen Voetball Club (KVC) di desanya. Setelah lulus, Kusman melanjutkan ke sekolah dagang namun tidak tamat. Waktu itu Jepang keburu masuk ke Indonesia. Akhirnya Kusman muda pun masuk ke dalam Heiho.

Heiho adalah pasukan yang terdiri dari bangsa Indonesia yang dibentuk oleh tentara pendudukan Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II. Heiho juga termasuk salah satu organisasi militer yang dibentuk oleh Jepang selain PETA dan Giyugun. Akan tetapi, pemuda-pemuda Indonesia yang bergabung dalam Heiho tidak pernah diberi pangkat atau jabatan yang tinggi.

Untung Sutopo Bin Syamsuri
Letkol Untung Sutopo Bin Syamsuri.(Foto: Dok. Penulis)

Kondisi ini berbeda dengan pemuda yang tergabung dalam PETA atau Giyugun, yang selalu mendapatkan promosi kenaikan pangkat atau jabatan. Diskriminasi ini berlanjut ketika seluruh Heiho Angkatan Darat atau Angkatan Laut harus memberi hormat kepada warga Jepang, baik itu sipil maupun militer.

Pasukan ini dibentuk berdasarkan instruksi Markas Besar Kekaisaran Jepang Bagian Angkatan Darat pada tanggal 2 September 1942 dan mulai merekrut anggota pada 22 April 1943. Departemen Humas (Sendenbu) mempropagandakan bahwa Heiho merupakan suatu kesempatan bagi para pemuda untuk berbakti kepada tanah air dan bangsa.

Syarat menjadi anggota Heiho adalah berusia 18-25 tahun, memiliki tinggi minimal 110 cm, berat badan 45 kg, sehat jasmani dan rohani, berperilaku baik, dan berpendidikan minimal tamatan sekolah dasar. Para pemuda yang terpilih dijanjikan menjadi anggota Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.

Selama dua tahun Untung menjadi Heiho dan diperbantukan untuk pekerjaan kasar Tentara Jepang. Beberapa pekerjaan itu di antaranya membangun kubu, parit pertahanan dan menjaga tawanan. Mereka tidak dibeli dengan senjata melainkan hanya satu taiken alias sangkur yang merupakan kelengkapan mutlak seorang Heiho. Namun, saat Jepang menghadapi Sekutu, barulah Heiho diberi senjata.

Baca JugaMengenang Kembali Revolusi Kain Timor di Ayamaru Papua Barat

Berikutnya, dalam ketentaraan Indonesia, Untung pernah menjadi anak buah Soeharto ketika ia menjadi Komandan Resimen 15 di Solo. Untung adalah Komandan Kompi Batalyon 444 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI, Alimin. Saat itu, Partai Komunis diwakili D.N. Aidit juga menyatakan, bahwa Irian Barat (Dutch Nieuw Guinea) merupakan bagian dari Indonesia.

OPERASI JATAYU DENGAN NAMA GUGUS “GAGAK” DI KAIMANA

Operasi Jatayu merupakan salah satu operasi yang dilakukan untuk pembebasan Irian Barat. Setelah sebelumnya dilakukan berbagai operasi, maka pada 14 Agustus 1962 Panglima Mandala Mayjen Soeharto melaksanakan operasi ini dari Ambon, Maluku.

Padahal basis atau markas Operasi Mandala adalah di Makassar, Sulawesi Selatan. Panglima Mandala perlu turun langsung ke Ambon untuk mengatur strategi.

Ada tiga fase yang harus dilakukan: infiltrasi, eksploitasi dan konsolidasi. Pada fase eksploitasi, Operasi Komando Mandala membuat target untuk melakukan serangan terbuka. Ini terjadi di Sorong (Klamono, Sausapor dan Teminabuan), Fak Fak, Kaimana dan Merauke. Beberapa bulan sebelumnya, terjadi juga penerjunan pasukan itu dalam Operasi Srigala, 19 Mei 1962 dan Operasi Naga, 23 Juni 1962.

Operasi lintas udara yang akan menerjunkan pasukan pada tengah malam pkl. 02:00 ini dipecah ke dalam tiga kelompok dengan rincian sebagai berikut. Operasi Elang, melibatkan dua C-130B Hercules yang diterbangkan Letkol (U) Slamet dengan wingman Kapten (U) Sukardi dan kopilot Letnan (U) I Siboen. Pesawat akan berangkan dari Laha untuk menerjunkan 132 anggota PGT di daerah Klamono, Sorong. Pasukan dipimpin oleh Kapten (U) Radik Sudarsono.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2 3Next page

Berita Serupa

Back to top button