Pendapat

EDD-SGA Diantara Gagasan Jurnalisme Sastra

Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA (Dosen Fakutas Ilmu Sosial Ilmu Politik – Universitas Pattimura)


Jagat Indonesia sedari lama mengaggungkan Seno Gumira Ajidarma (SGA), seorang penulis dan ahli sastra terkemuka tanah air sebagai pionir peran sastra, dalam mengkritik sikap “tangan besi” rezim Orde Baru terhadap rakyatnya sendiri. Penggunaan sastra itu sebagai akibat jurnalisme dibungkam, dimana peran pers dalam mengungkapkan sikap otoritarian rezim Orde Baru kala itu terhadap rakyatnya selalu dihadang. Bahkan berujung pada pemecatan jurnalis dan pembredelan pers.

Dampaknya posisi pers sebagai pilar keempat demokrasi setelah lembaga yudikatif, legislatif dan eksekutif pun “goyah”, dimana tak dapat menjalankan perannya secara maksimal dalam menjalankan fungsi kontrol di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun menjadi aspek problematik tatkala karya jurnalistik adalah fakta, sementara karya sastra adalah fiksi. Menyangkut itu, menurut Wahyuni (2019) bahwa, fiksi kerap dianggap sebagai karya imajinatif belaka yang tidak berangkat dari realitas.

Senada dikatan Nurgiyantoro (2018) bahwa ”kebenaran dalam karya fiksi tidak perlu dicari kebenarannya dalam dunia nyata. Ia berangkat dari pernyataan Abrams (1999) yang menyebutkan bahwa, karya fiksi tidak perlu merujuk pada kebenaran faktual sehingga kebenaran dalam karya fiksi tidak perlu dibuktikan dengan data empiris.

Akan tetapi, Ajidarma berkata lain. Ia berusaha menampilkan berbagai fakta melalui karya fiksi. Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara adalah sebuah buku yang dihasilkan Ajidarma tahun di 1997 sebagai bentuk kemarahannya ketika fakta sengaja ditutupi demi berbagai kepentingan. Melalui buku itu, Ajidarma memperlihatkan perlawanan sastra terhadap pembungkaman yang terjadi.

Menurutnya, kebenaran harus terungkap. Ketika jurnalisme sudah tidak dapat lagi menampilkan fakta yang berisi kebenaran, sastralah yang harus berbicara. Kebenaran tidak dapat ditutup-tutupi. Sebagai seorang pewarta sekaligus penulis fiksi, Ajidarma merasa bertanggung jawab menghadirkan dokumen (kebenaran) dalam bentuk pergulatan fakta dan fiksi. (Wahyuni, 2019). Dua karya sastra SGA perspektif saat jurnalisme di bungkam sastra bicara, yakni :

Pertama, “Penembak Misterius”, merupakan kumpulan cerpen, hadir sebagai protes terhadap rezim, dimana kasus Penembakan Misterius (Petrus), merupakan operasi rahasia pada masa Pemerintahan Soeharto di era 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu kamtibmas masyarakat di Jakarta dan Jawa Tengah.

Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah Penembak Misterius/Petrus. Sebagai akibat dari gelar operasi Petrus tersebut, kita masih ingat banyak kolega kita dari Ambon dan sekitarnya, yang miliki profesi sebagai preman di ibu kota Jakarta kala itu tiba-tiba pulang ke Ambon, lantaran takut kena tima panas dari Petrus. Pasalnya Petrus seperti ”malaikat pencabut nyawa”, dimana menjadi ancaman terhadap mereka.

Kedua, “Saksi Mata” merupakan kumpulan cerepen, berlatar Timor Leste semasa masih menjadi bagian Indonesia. Dalam karya ini kita bisa membacanya ada penderitaan yang dialami warga Timor Leste, sebagai akibat mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari para serdadu yang ditugaskan di ujung timur Pulau Timor itu. Sebelumnya kasus di Timor Leste itu pernah secara fulgar dinarasikan dalam bentuk berita oleh SGA bersama dua kawannya.

Kasus dimaksud yakni, Insiden Dili 12 November 1991, yang dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz (Pembantaian Dili). Insiden Dili ini adalah peristiwa penembakan terhadap kurang lebih 250 pengunjuk rasa pro-kemerdekaan Timor Timur di pemakaman Santa Cruz, Dili, pada tanggal 12 November 1991, di tengah pendudukan Indonesia di Timor Leste. Peristiwa ini diakui sebagai bagian dari genosida Timor Timur.

Konsekuensi buruk pemberitaan itu, SGA pun diberhentikan dari Pimpinan Redaksi Majalah Jakarta-Jakarta (JJ). Nasib serupa dialami dua temannya, WaskitoTrisnoadi (Redaktur Pelaksana) dan Usep Hermawan (Redaktur Dalam Negeri). Atas permintaan pihak luar mereka dipecat dari Majalah JJ. Padahal mereka telah menyiasati pemberitaan yang diturunkan dengan berbagai cara : (1)memperhalus bahasa pemberitaan; (2) menghadirkan saksi mata, dan (3) memberikan perimbangan dan pembenaran pemberitaan. (Wahyuni, 2019,Wikipedia, 2023).

SGA Terinspirasi Multatuli

Setelah saya membaca karya-karya SGA, maka konklusinya SGA terinspirasi Mulatuli, yang menggunakan sastra, untuk mengungkapkan sikap ”tangan besi” pemerintah kala itu terhadap rakyatnya. Multatuli dengan nama lengkapnya Eduard Douwes Dekker (EDD/1820-1887). Multatuli awalnya saat datang ke Hindia Belanda ia bukanlah seorang penulis atau jurnalis yang dapat menggunakan kekuatan penanya untuk menguak berbagai penindasan yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda waktu itu.

Pada tahun 1838 Eduard pergi ke pulau Jawa dan pada 1839 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard pun bekerja sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Hingga dalam dinamika kehidupannya ia kemudian menjadi seorang penulis. (Wikipedia, 2023).

Multatuli sebagai seorang ambtenaar, tak bisa leluasa memprotes Pemerintah Hindia Belanda melalui surat kabar, menyangkut dengan eksploitasi terhadap rakyat pribumi. Sebab bisa dikenakan haatzai artikelen yakni, pasal-pasal menyangkut penghinaan, kebencian, permusuhan terhadap pemerintah atau golongan tertentu di dalam KUHP Hindia-Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indië/WvS). (Berdikarionline,2022). Buruknya lagi ia bisa dikenai sanksi pidana dengan dibuang didaerah terpencil. Salah satu cara ampuh memprotes Pemerintah Hindia Belanda adalah melalui karya sastra, karena tidak bisa dikuak intel Hindia Belanda lantaran merupakan karya fiksi.
*
Multatuli membuka era ketiga penjajahan Belanda yaitu era Politik Etis. Multatuli adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker, yang menulis novel legendaris berjudul Max Havelaar. Tokoh utama novel ini adalah Max Havelaar ia merupakan pejabat tingkat bawah Belanda di Hindia Belanda. Tirani dan eksploitasi Pemerintah Belanda terhadap petani dan penduduk Indonesia mengusik pikirannya. Ia merasa dikhanati negerinya sendiri yang ia percayai sebagai bangsa yang beradab.

Pemerintah Belanda kerap kali menerapkan kerja paksa kepada kaum pribumi demi membuka lahan gersang untuk pertanian di Jawa. Tidak hanya itu, para petani yang bahkan masih sulit untuk swasembada pangan dipaksa untuk menanam komoditi ekspor yang hasil panennya dirampas atau dibeli oleh Belanda dengan harga yang tidak pantas dan kemudian diangkut dan dijual dengan harga tinggi di Eropa.

Penindasan ini memberikan harta yang melimpa kepada Pemerintah Pusat Belanda, tengkulak, dan Pemerintah Kolonial Belanda yang bersekongkol dengan pemilik tanah setempat dengan mengeruk uang gelap. Sementara itu, banjir dan kemarau panjang yang berulang kali melanda mengakibatkan gagal panen sehingga petani semakin terpuruk akinbat kekurangan pangan dan kelaparan.

Namun, tidak ada seorang pun yang menaruh iba dan perhatian kepada penderitaan bangsa Indonesia. Max Havelaar berteriak sekuat tenaga. “Di dunia ini hanya ada satu kejahatan, yaitu hilangnya hati nurani”. Max Havelaar dalam novelnya melanjutkan bahwa jika dosa besar yang dilakukan tanah airnya yang kini berubah menjadi negara perampok adalah takdir Ilahi, maka ia bersumpah tidak akan beriman kepada Tuhan.

Adakah reaksi publik internasional dari karya sastra Edward ini ?. Tentu ada, dimana seketika setelah diterbitkan pada tahun 1860, novel Max Havelaar mengunjang tidak hanya Belanda, tapi juga seluruh penjuru Eropa dan menjadi perdebatan hangat. Novel ini dibungkus sebagai sebuah kisah seorang pejabat yang berani mengadukan kepada dunia seklaigus mengkritik tajam perbuatan bejat tidak manusiawi, eksploitasi negerinya terhadap kaum pribumi Indonesia. (Yoon, 2022).

Baik Multatuli dengan SGA sama-sama menggunakan pisau sastra, untuk menguliti kesewenang-wenangan dua rezim pada zaman yang berbedap terhadap rakyatnya. Meskipun karya kedua penulis ini merupakan karya sastra, dimana dianggap hanyalah fiksi dan bukan fakta sebagaimana karya jurnalistik, namun memberikan perspektif “pressure” terhadap kedua rezim pada era yang berbeda tersebut, untuk dapat bersikap adil dan perlu melindungi warganya ketimbang “menghabisi” mereka atas nama pengendalian kamtibmas, politik, sosial dan keuntungan ekonomi yang didapatkan.(*)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button