Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Satupena Provinsi Sulawesi Selatan)
Jalan tak hanya punya nama tapi juga kenangan. Begitulah jika kita menyimak lirik lagu “Sepanjang Jalan Kenangan”, yang dinyanyikan penyanyi era 70-an, Tetty Kadi. Tapi, jalan-jalan di kota tak hanya terkait dengan kenangan cinta romansa semata, lebih dari sekadar kisah dua anak manusia. Kenangan tentang jalan-jalan di kota berkaitan dengan sejarah kota itu, sejarah suatu bangsa, bahkan sejarah manusia dan peradabannya.
Nama jalan lekat dengan identitas suatu kota. Kalau kita menyebut Jalan Malioboro, pasti ingatan kita pada Yogyakarta. Begitupun kalau menyebut Jalan Braga, akan identik dengan Kota Bandung. Sedangkan kalau orang Makassar menyebut Jalan Somba Opu, maka akan menunjuk pada kawasan perdagangan emas dan pusat oleh-oleh.
Karena itu, berbicara tentang nama-nama jalan kota, bukan perkara gampang, bukan asal patok nama jalan atau asal semprot plang nama. Idealnya, penamaan suatu jalan punya pedoman, punya aturan. Nama jalan, apalagi yang punya kaitan dengan nama-nama tokoh tertentu, pasti punya kaitan dengan konteks peristiwa dan punya argumentasi tertentu, mengapa nama itu disematkan. Tapi, justru di sinilah masalahnya.
Prof. Jimly Asshiddiqie (www.hukumonline.com) mengatakan, pola penamaan jalan di seluruh Indonesia sejauh ini belum jelas. Sehingga kerap dilakukan dengan cara berbeda-beda. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) itu menambahkan bahwa di seluruh Indonesia tak ada aturan pola penamaan jalan. Di beberapa tempat, penamaan jalan bergantung pada walikota, di tempat lain ditentukan oleh gubernur. Ada juga yang mesti melalui proses izin dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terlebih dahulu dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
Berkaitan dengan penyematan nama seseorang sebagai jalan, bisa diusulkan oleh perseorangan, oleh kelompok organisasi, atau inisiatif Pemda sendiri, seperti yang diberlakukan di DKI Jakarta. Yang dimaksud seseorang itu bisa merupakan pahlawan, tokoh-tokoh dari daerah bersangkutan, atau tokoh dari kisah-kisah hikayat masa lalu. Dalam beberapa kasus, nama-nama jalan tak berkaitan dengan nama orang tapi diberikan oleh perusahaan pengembang yang membangun suatu kawasan perumahan.
Jadinya, nama-nama jalan tersebut terkesan seenaknya diberikan. Yang penting terlihat mentereng karena padanya dilekatkan nama-nama berbau “asing”. Bukan saja lantaran menggunakan bahasa asing tapi benar-benar terasa “aneh” saat dilafalkan oleh lidah orang Indonesia.
Kata “jalan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bisa berarti tempat untuk lalu lintas orang (kendaraan dan sebagainya), perlintasan (dari suatu tempat ke tempat lain), yang dilalui atau dipakai untuk keluar masuk, bisa pula diartikan gerak maju atau mundur (tentang kendaraan). Sementara Wikipedia mendefinisikan jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Betapa luasnya makna jalan itu. Belum lagi, pengkategorian jalan umum dan jalan khusus. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum. Sedangkan, Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instasi, badan usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.
Maka, tak boleh serampangan memberi nama jalan. Sebab, di situ juga ada sejarah kota, sejarah suatu negara. Yang paling kita ingat adalah pembangunan jalan raya di Jawa, tahun 1808-1810, oleh Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36. Jalan raya bersejarah itu membentang sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer (Banten) hingga Panarukan (Jawa Timur).
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi