Pembangunan jalan raya ini merupakan bagian dari kebijakan Daendels di bidang pertahanan untuk mendukung mobilitas militer, terutama menjaga pos-pos pertahanan penting di sepanjang pantai utara Jawa (Prakitri, 2006).
Belakangan, pembangunan Grote Postweg (Jalan Raya Pos) tersebut tidak hanya memberikan keuntungan di bidang militer saja, tetapi membawa arti penting bagi mobilitas ekonomi, sosial, bahkan politik. Berkat kehadiran jalan ini, semakin banyak produk kopi dari pedalaman Priangan bisa diangkut ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu.
Dampak lainnya, transportasi menjadi semakin mudah dan lancar. Jarak waktu antara Surabaya-Batavia yang biasanya ditempuh selama 40 hari, bisa dipersingkat menjadi hanya 7 hari. Hal ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang dikelola oleh dinas pos (Wikipedia.com). Karena itulah, nama jalan raya proyek Daendels ini dikenal dengan sebutan “jalan raya pos” (Kompasiana.com).
Nyata bahwa jalan menjadi penanda dinamika politik suatu negara, termasuk dari segi kebahasaan. Silahkan melihat cara penulisan nama jalan pada masa penjajahan Belanda. Sudah pasti nama-nama jalan mengikuti maunya mereka. Di Makassar, misalnya, ada Hospital Weg, yang sekarang menjadi Jl. Jend. Sudirman, ada pula Hooge Pad, sekarang berganti nama menjadi Jl. Jend. A. Yani.
Penamaan nama-nama dari para pelaku sejarah ini, sebagai pengganti nama-nama berbau kolonialisme, tentu juga punya sejarahnya sendiri. Kita tergelitik untuk mengajukan pertanyaan, tanpa bermaksud menggugat, mengapa pada setiap jalan protokol menggunakan nama Panglima Besar Jenderal Sudirman?
Sebelum cara penulisan nama jalan seperti sekarang, penulisan nama jalan mengikuti Ejaan Lama (Ejaan Van Ophuijsen), contohnya penulisan nama/kata yang menggunakan huruf “j” dibaca “ye”, sedangkan penulisan huruf “oe” dibaca “u”. Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu menurut model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda. Prof. Charles Van Ophuijsen adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda. Beliau yang melakukan pembakuan ejaan bahasa Indonesia pertama kali di tahun 1901, dan dibantu oleh Engku Nawawi gelar Sutan Makmur dan Moh. Taib Sultan Ibrahim.
Ini membuktikan, penulisan nama jalan berubah sesuai kebijakan bahasa saat itu. Pada tahun 1947, Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan, Soewandi, menetapkan perubahan ejaan bahasa Indonesia supaya ejaan yang berlaku lebih sederhana. Ejaan baru itu, oleh masyarakat kemudian diberi julukan Ejaan Republik.
Selanjutnya, muncul Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dipegang oleh Mashuri. Ejaan ini diresmikan pada hari Proklamasi Kemerdekaan berdasarkan Keppres Nomor 57 Tahun 1972. Tentu saja, sejak itu penulisan nama-nama jalan mengikuti ketentuan EYD. Sebagai menteri, Mashuri menandai pergantian ejaan itu dengan mengganti nama jalan di depan kantor departemennya saat itu, dari Djl. Tjilatjap menjadi Jl. Cilacap.
Dari segi dinamika perkembangan kota juga mempengaruhi pemberian nama jalan. Dalam buku “Pedoman Kota Besar Makassar” (1954), misalnya, sejumlah lorong di sepanjang Jl. Veteran berganti status menjadi jalan, seperti Lorong 22 menjadi Jl. Kidjang, Lorong 1 menjadi Jl. Kelintji, dan Lorong 71 berubah menjadi Jl. Mairo.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi