Kutikata

Tarima Beta E

KUTIKATA

Oleh: Eltom (Pemerhati sosial)

Tarima beta e” (=terimalah saya). Ini bukan ungkapan yang menunjuk pada semacam “maraju” (=merajuk) atau minta dikasihani, diterima, karena ungkapan itu hanya diucapkan karena kita “su bakutau luar dalang” (=sudah mengenal secara detail).

Jadi ungkapan itu bermaksud agar “katong jadi satu” (=kita menyatu). Tingkat penerimaan terjadi karena “su kanal dekat” (=saling mengenal) dan “laeng percaya laeng” (=saling percaya). Hakekat “orang sudara” itu “seng ada yang bisa kasi pisah katong” (=tidak ada yang memisahkan kita). Memiliki saudara memberi semacam kehormatan dan rasa bangga karena itu bukti bahwa kita “sakandong” (=sekandung), “hidop dari mama deng papa pung piara” (=hidup dari pemeliharaan mama dan papa). “Sampe rutu-rutu tongka langit, biar aer masing akang mau karing, jang pisah katong“, demikianlah syair Mainoro Vocal Group, sebagai cerminan hati “orang sudara“.

Tarima beta e” adalah ungkapan yang lahir pula sebagai keinginan untuk mengukuhkan kembali relasi, walau “beta su biking sala” (=saya telah bersalah). Mungkin relasi itu pernah retak “tagal beta pung kapala batu yang tukang malawang” (=kepala batu dan suka melawan), namun “su sadar” (=ada kesadaran baru) lalu ingin memperkokoh kembali hubungan itu. Dalam konteks ini ungkapan itu merupakan wujud dari kesadaran diri serta janji bahwa “beta seng ulang akang lai” (=tidak mengulangi kesalahan itu lagi). Jadi tujuannya untuk “bangong hidop baru” (=membangun hidup baru).

Tarima beta e“, penambahan “e” di belakang rangkaian kata itu menunjukkan bahwa sungguh itu sesuatu yang dirindukan. Itu permintaan yang lahir dari “mangaku sala” (=pengakuan akan kesalahan) dan “manyasal su sala” (=penyesalan pernah bersalah). Dan pihak yang dimohonkan itu tidak dapat “sambunyi muka” (=menyembunyikan diri) bahwa ia juga ingin “biking bae hubungan” (=hubungan itu terpulihkan). Jadi yang satu “mau bale” (=ingin kembali) yang lain “di hati kacil masi ada rasa sayang jadi seng bisa tola” (=jauh di hati kecilnya tidak bisa menolak). Apa yang membuat suasana hati itu menggelora? “Tagal katong dua sakandong” (=kita sekandung) atau “tagal beta seng bisa sandiri jao dari sudara” (=tidak bisa hidup sendiri jauh dari saudara). Apalagi bila itu dimintakan oleh seorang “ana yang datang minta ampong/mangaku sala” (=anak yang datang minta pengampunan/mengaku salah). “Biar apa lai, mama hati lombo sa” (=apa pun alasannya, hati mama tersentuh pula), “biar papa bakaras apa lai, tetap polo la goso kapala sa” (=sekeras apa pun papa, tetap memeluk dan mengelus kepala anaknya). Lagi-lagi ini “tagal kandung” (=kandungan), “ana darah daging” (=anak darah daging).

“Biar busu-busu, tetap sudara sa”
“Biar mau bilang apa lai, mama tetap mama sa”
“Jang kata eso dunya kiamat, papa tuh tetap papa sa”

Selamat merayakan hidop orang sudara.

Jumat, 30 April 2021
Pastori Jemaat GPM Bethania, Dana Kopra-Ambon

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button