
Penulis: Rusdin Tompo (warga Makassar kelahiran Ambon)
Seminggu sebelum Lebaran, biasanya orang-orang sibuk pigi ziarah kubur. Katong juga begitu. Sejak katong pung bapak meninggal, Maret 1976, kegiatan ziarah kubur jadi aktivitas rutin. Umat Islam di Ambon pung jadwal ziarah kubur itu pada hari Kamis. Kalau pigi di kuburan, katong bawa bunga, daun pandan yang sudah dipotong-potong dan air putih untuk disiram di atas katong pung bapak pung pusara.
Katong bapak dikuburkan di Gunung Lauwa, karena TPU Mangga Dua su seng muat lagi untuk kuburan baru, saat itu. Lokasi pekuburannya di atas bukit, itu mungkin orang bilang akang Gunung Lauwa. Untuk ke sana, bisa lewat kawasan Urimesing atau lewat kawasan Mata China. Pekuburan di sini lebe teratur rapi, dibanding di Mangga Dua, yang kuburannya bahkan su ada di pinggir-pingir jalan, dekat Petak Sepuluh.
Kalau lewat Urimesing, katong akan jalan di antara rumah-rumah warga. Sedangkan kalau lewat Air Mata Cina, harus jalan ke Ponegoro atas. Sebutan untuk Gunung Lauwa. Peziarah harus lewat anak tangga yang cukup tajam. Makanya, kalau orang naik tangga, kadang musti pegang lutut karena lala (capek). Begitu tiba di pekuburan, hawanya sajo (sejuk). Kawasan ini memang ditumbuhi deretan pohon cemara yang rimbun.
Pulang dari kuburan, singgah ambil alang-alang kering yang tumbuh di antara kuburan di Mangga Dua. Kalau sampe rumah, alang-alang ini akan diikat jadi satu lalu dipotong rata bagian ujungnya untuk dijadikan kuas. Katong pake kuas alang-alang untuk bacet (mengecat) rumah. Waktu itu, orang banya bacet rumah pake batu kapur.
Batu kapur ini dibeli kiloan. Nanti dikasi maso dalam ember yang berisi air. Ada semacam proses kimia yang bekerja. Muncul gelembung-gelembung, setelah batu kapur berada dalam air. Begitu batunya mencair jadi warna putih. Warna putih ini untuk dinding bagian atas. Kalau bagian bawahnya warna hitam, dari arang batrei. Habis bacet biasanya sisa-sisa catnya balabor di tanah. Itu masih rumah lama, yang dindingnya dari papan deng atap rumbia dari daun sagu.
Kalau menjelang Lebaran bagini, katong pung mama akan bikin makanan-makanan khas Makassar. Jadi nuansa Makassar sangat kuat, meski katong berada di rantau. Katong pung orang tua tinggal di Ambon mungkin sejak tahun 50-an. Tapi sempat ke Jayapura (Papua) lalu kembali lagi ke Ambon, tinggal di Air Putri, sejak tahun 70-an. Biasa katong batamang antua bantu ika buras/burasa dan lappa-lappa.
Buras/burasa itu dari nasi santan setengah matang yang dibungkus daun pisang lalu diikat jadi satu. Biasanya buras terdiri dari 3 susun, yang diikat jadi satu bagian. Sedangkan lappa-lappa terbuat dari beras ketan hitam atau putih yang dibungkus daun kelapa lalu diikat. Tidak semua orang bisa bikin lappa-lappa ini karena cara potong daun kelapanya agak unik.
Buras biasanya dimakan deng coto Makassar atau deng opor ayam, bisa juga dengan kari ayam/daging. Sedangkan lappa-lappa lebih nikmat dimakan dengan serundeng yang dicampur daging sapi. Segala macam makanan Makassar yang jarang ditemui, biasanya dibikin saat Lebaran untuk menjamu tamu. Toppa lada, gagape dan beberapa kuliner khas Makassar akan tersaji di atas meja setiap kali Lebaran. Semua makanan ini su jadi sampe malam takbiran tiba.
Besoknya, sebelum salat Ied, katong pigi mandi di Air Wainitu. Musti pigi pagi-pagi skali, sebelum Subuh. Karena setelah itu orang mulai banya. Katong mandi di bagian yang biasa orang ambil air minum juga di situ. Setelah itu, pulang bembeng (jinjing) air dalam jerigen untuk air minum. Waktu itu, belum ada air ledeng dari PDAM. Jadi orang masih andalkan air dari sumber mata air alami.
Walaupun mesjid-mesjid juga mengadakan salat Ied, tapi banyak orang yang suka pigi salat Ied di Lapangan Merdeka. Mungkin karena rame, orang bakumpul di lapangan, tepat di pusat Kota Ambon. Katong juga beberapa kali sombayang hari raya di sana. Padahal jarak Air Putri ke Lapangan Merdeka cukup jauh.
Kalau pigi sombayang di lapangan, selain bawa sajadah, katong juga musti bawa pengalas sajadah. Supaya seng kotor. Maklum, sombayang di lapangan, di atas rumput, yang kalo pagi masih basah oleh embun. Butir-butir embun itu tampak bagai kristal di ujung-ujung rumput.
Sehingga, di sepanjang jalan menuju Lapangan Merdeka, katong akan lihat orang-orang yang bapikul tikar, bawa terpal plastik yang digulung atau dilipat, atau bawa karpet yang akan dijadikan pengalas. Itu berarti dong pigi satu rombongan keluarga. Ada juga yang bawa koran sebagai pengalas sajadah. Makin dekat ke Lapangan Merdeka, suasana makin rame.
Begitu tiba di Lapangan Merdeka, katong ambil tempat pada saf-saf yang sudah dibuat. Panitia membuat garis putih dari kapur, yang agak menyerong supaya tepat menghadap kiblat. Sambil terus melafazkan takbir, tahlil, dan tahmid, katong bisa lihat suasana Kota Ambon di pagi hari.
Dari Lapangan Merdeka yang luasnya kurang lebih 2,25 hektare ini katong bisa lihat Benteng Victoria, yang dibangun Portugis, tahun 1775, yang kemudian diambil alih Belanda. Juga ada monumen Pattimura, yang berdiri tepat di lokasi di mana dia dihukum gantung pada 6 Desember 1817. Tak jauh dari situ berdiri anggun Gereja Silo, serta Kantor Gubernur Maluku, yang tepat berada di belakang jamaah salat Ied. Monumen dan bangunan-bangun itu su jadi landmark bagi Kota Ambon Manise.
Habis sombayang, katong saling salaman, deng orang-orang yang duduk di kiri-kanan. Bahkan deng orang-orang yang sama sekali katong seng kanal. Katong salaman, mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, lalu saling memaafkan. Suasananya begitu akrab dan hangat. Tak jarang juga bikin katong terharu. Ingat katong pung bapak saat antua masih hidup.
Pada tahun-tahun itu, biasanya Panitia Hari-hari Besar Islam (PHBI) sebagai penyelenggara salat Ied, taruh maket Masjid Raya Al-Fatah di tengah lapangan. Mungkin saat itu, dong tampilkan rencana pengembangan masjid yang dibangun sejak masa Presiden Sukarno, tahun 1963 itu. Orang-orang berusaha mendekat, dong mau lihat maket masjid yang tampak besar dan megah itu.
Makassar, 11 Mei 2021
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi