Namun, ini adalah aksi protes paling penting dan dalam. Dimana kritik berani disuarakan secara telanjang, tanpa intrik dan alasan-alasan ilmiah, yang bisa saja sudah terlampau “memuakan”. Seperti kebanyakan politisi, aktivis atau akademisi (yang memprotes dengan mencari dalih ilmiah di sana-sini, atau mengemas sesuatu biar sesuai kepentingan).
Secara politis, warga bereaksi bukan karena dia mengerti alasan politik seperti kebanyakan akademisi, politisi atau aktivis. Melainkan karena sesuatu sedang menyentuh atau mengancam kehidupannya secara langsung. Tanpa basa-basi. Bisa jadi karena :
- keterbatasan artikulasi yg ia miliki,
- terkuncinya saluran-saluran politik formal,
- telah melampaui batas protes yang telah disuarakan.
Ini tindakan yang sangat politis. Dibanding mendebatnya dengan alasan-alasan moril soal baik-buruk yang sebenarnya tidak mengubah apa-apa, lebih penting memaknai protesnya dengan berpikir : “mengapa dia begitu berani melakukan hal tersebut ?”. Apa alasan dan implikasi yang bersentuhan langsung dengan tindakannya ?. Dan lain-lain pertanyaan bisa diturunkan.
Ilmuan politik seperti Gerry Stoker memasukan protes macam ini sebagai keamatiran politik atau keawaman politik. Dimana (1) warga negara tidak menjadikan politik sebagai karier atau pekerjaan seperti para politisi utk bisa menyuarakan protes atau usulnya. (2) Amatir dalam pengertian, warga memang tidak terampil mengelola politik seperti akademisi di kampus, aktivis atau politisi.
Warga bereaksi karena praktis karena ada hal yang langsung bersentuhan dengan kehidupannya. Reaksinya spontan, fresh, polos dan tentu lepas dari segala alasan politik yang biasanya perlu dicari dengan susah payah oleh akademisi. Atau dibonsai dengan beragam intrik politik seperti kebanyakan politisi.
Keamatiran politik ini bukan karena warga tidak punya kecakapan politik, melainkan karena dampak dari sebuah kebijakan sedang dirasakannya langsung. Berdasarakan kehidupan nyata, bukan based on theory atau intrik politik yang penuh sekongkol.
Protes semacam ini menandai banyak hal penting dari lanskap politik yang sedang terjadi dan bisa kita pelajari dari Maluku. Misalnya :
- Terkuncinya saluran protes antara elit dan warga
- Buruknya desain kebijakan publik
- Lemahnya representasi politik dan artikulasi kepentingan oleh lembaga-lembaga politik resmi semacam Parlemen, Pemda, birokrasi, kampus, partai politik, LSM, lembaga kepemudaan.
- Terkuncinya saluran informasi warga
- Lemahnya desain politik kewargaan, sehingga warga tidak punya soliditas kuat untuk memprotes kebijakan
- Elitisme politik dan akademis,
- Kebijakan bias gender, dan macam-macam. Protes ini terlihat kecil tapi bisa menjadi pintu alternatif yang membuka banyak sekali situasi sebenarnya.
Apakah protes ini penting ? Tentu, sangat penting lagi bermakna, bagi desain kebijakan ketika saluran protes telah terkunci. Kalau diamati dengan dalam, protes warga ini misalnya saja, sedang merombak sebuah desain kebijakan dari alur yang berlawanan : evaluasi–agenda setting–eksekusi.
Aksi protes ini juga membatalkan banyak sekali desain politik kewargaan yg selama ini masih diangap bisa menghubungkan warga dan elit/pemerintah. Sejauh ini para elit kita yang biasanya mengartikan relasi antara warga dan elit dengan :
- memberi nomor kontak
- melaporkan jika ada pegawai/elit yang sewenang-wenang di lapangan,
- Tabiat melaporkan anggaran dengan memancangkan pamflet atau baliho di depan kantor-kantor resmi (seperti laporan Dana Desa/ADD)
- Mendatangi warga dengan ragam program sosialisasi, atau reses. Dan sebagainya.
Saat elit kita masih berpikir dengan model relasi seperti ini, lantas apakah relasi dan kepercayaan warga bisa dibangun dengan kuat ?. Tentu tidak. Lihat saja protes ini, secara tidak langsung telah mengubah pandangan kita soal relasi kewargaan tersebut.
Bahwa relasi kewargaan tidak dibangun di atas hal-hal seremonial, agenda rutinitas dan model-model administrasi yang kaku dan berbelit-belit. Melainkan dibentuk lebih pada : menyentuh tidaknya sebuah kebijakan secara langsung.
Aksi protes ini sederhana, tapi dalam. Ia seperti menampar banyak kelompok politik di Maluku : Partai Politik, Birokrasi, Kampus, Organisasi Kepemudaan, LSM, dan tentunya sejumlah elit politik kita yang terkesan tak bisa berbuat apa-apa.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi