Pendapat

Perawat dan Pendoa Berjilbab

BERJALAN DALAM BAYANG-BAYANG COVID-19 (22)

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-22 dari tulisan bersambungnya

Sejak masuk ICU pada tanggal 31 Maret, kondisi saya sangat memprihatinkan. “Kondisinya sebenarnya sudah sangat jelek, mau menuju koma,” kata Perawat Suniah dalam satu webinar bersama saya pada pertengahan 2020.

Perawat Suniah yang saya kenal sebagai Mbak Suni ini, bersama tim, secara intensif merawat saya di ruang ICU RSUP Dr Kariadi, Semarang.

Perempuan berjilbab lulusan Sekolah Keperawatan Muhammadiyah Semarang itu telah bekerja di RSUP Dr Kariade sejak tahun 2008.

Awalnya, Mbak Suni bekerja di bangsal jantung. “Sejak 2013 saya pindah ke Intensive Care Unit (ICU),” jelas Mbak Suni. Ketika pandemi Covid menyerang dunia pada November 2019, RSUP Dr Kariadi mulai mempersiapkan ICU pasien Covid-19. “Sejak Februari saya mulai bekerja bersama tim di ICU ruang Rajawali,” tambah perawat ini.

“Perawat yang bekerja di ruang ICU Covid-19 adalah tenaga terpilih,” kata dokter spesialis penyakit dalam pada salah satu webinar. Memang perawat di ICU Covid-19 ini hanya memiliki kompetensi perawat klinis dua (PK 2) dan Advanced Cardiac Live Saving (ACLS).

Perawat Klinis 2 ini memiliki kemampuan melakukan perawatan secara menyeluruh (holistic) dan mampu bekerja secara tim untuk merawat pasien. PK 2 ini juga dapat dapat memberikan rekomendasi untuk penanganan pasien lebih lanjut. “Nanti kami akan sampaikan kepada dokter. Nanti kami konsultasinya,” itu kata-kata yang sering saya dengan dari perawat di ICU ketika sudah sadar.

Perawat di ICU Covid-19 harus memiliki kemampuan ACLS. Pasien Covid-19 dapat mengalami pembengkakan jantung. “Waktu masih dirawat di ICU, jantungmu membengkak,” kata Retno waktu saya sudah sembuh sambil membandingkan hasil rontgen saat masih di ICU dan setelah sembuh. Perawat ICU Covid-19 harus paham perawatan darurat jantung, paru-paru dan masih banyak lagi.

“Kami bergerak cepat supaya Pak Izak tidak koma,” lanjut Mbak Suni. Oksigen 100 persen diberikan kepada saya melalui ventilator. “Saturasi, oksigen dalam darah Pak Izak sangat jelek. Hampir 60 persen,” jelas Mbak Suni.

IMG 20210327 220017
Perawat Suniah bersama penulis di RSUP Dr Kariadi Semarang.(Foto: Dok. Penulis)

Keputusan memberikan ventilator waktu itu memang jalan terbaik dan satu-satunya. “Kami mencoba menjaga kondisi jenengan supaya tetap stabil. Berat sekali waktu itu,” tambah Mbak Suni dalam seminar online.

Kondisi saya sempat memburuk pada tanggal 3 April 2020. “Mungkin karena tidak nyaman, Pak Izak mencabut ventilator, infus dan alat bantu lainnya,” jelas Mbak Suni. Kondisi saya menjadi tidak stabil dan gelisah luar biasa waktu itu. “Ketika itu suasana ICU memang mengkhawatirkannya. Tiga orang pasien yang bersama Pak Izak di dalam ruang ICU itu meninggal,” lanjut Mbak Suni. Saya memang samar-samar, antara sadar dan tidak, melihat beberapa kematian.

Kemungkinan ketika dosis obat sedasi menurun, saya bisa agak melihat tetapi tidak sadar. Antara sadar atau tidak, saya melihat perawat menangis ketika melihat pasien Covid-19 di pojok ruangan meninggal dunia. Saya tidak yakin, sadar atau tidak, tetapi ruang ICU itu penuh dengan suasana duka dan kematian. Horor. Covid-19 ini memang pembunuh masal.

Dosis obat tidur saya ditambahkan agar tertidur dan tidak gelisah. “Kami pasang lagi ventilator. Padahal tidak gampang memasang ventilator itu,” kata Mbak Suni. Pengawasan khusus diberikan kepada saya. Kedua tangan saya diikat pada pagar tempat tidur. “Kami khawatir Pak Izak akan mencabut lagi ventilator. Padahal itu sangat berbahaya,” jelas perawat Suniah.

Dulu ketika masih kuliah S2 di CRCS UGM, Yogya, saya dan teman-teman pernah menjaga kenalan di rumah sakit. Kenalan ini juga menggunakan ventilator. Saya, waktu itu, belum tahu jika alat bantu nafas ini bernama ventilator. Sekitar jam tiga pagi, saat semua sudah tidur, saya melihat kenalan itu seperti bangun.

“Beliau sudah sadar,” pikir saya. Beliau ternyata melepaskan alat bantu nafas itu. “Biyung, biyung,” teriak orang tua sekitar 70 tahun itu memanggl Ibunya. Sakit luar biasa. Kurang lebih satu jam kemudian, beliau meninggal dunia.

Ruang ICU Covid-19 ini memang sangat menakutkan. “Pasien ada yang bertahan hanya satu jam. Ada yang masuk sudah meninggal. Ada yang bertahan sampai empat bulan,” jelas Mbak Suni. Saya sendiri cukup lama berada di ruang ICU dengan menggunakan ventilator. Semua pasien yang masuk dalam ruang intensive care ini memang masuk kategori berat.

Antara batas sadar dan tidak, beberapa kali saya seperti melihat pasien meninggal. Saya ditidurkan dengan obat-obat sedasi berdosis tinggi, waktu itu.

“Dalam keadaan tertidur dan tidak sadar, pasien selalu kami ajak berkomunikasi. Kami ajak bicara. Meski tidak sadar sama sekali, pasien tetap harus selalu diajak berkomunikasi,” ujar Mbak Suni.

Selama 13 hari saya dibuat tidak sadar, Mbak Suni sangat rajin berkomunikasi dengan saya. Setiap hari selama dua minggu itu, Mbak Suni memperkenalkan diri pada saya. Bagi Mbak Suni, saya yang terbaring itu tetap dapat diajak berkomunikasi, meski saya sering tidak merespons.

“Pasien yang tidak sadar itu sebenarnya masih bisa mendengar. Meskipun koma, pasien tetap masih bisa mendengar,” jelas perempuan berjilbab itu. Antara sadar dan tidak, saya setiap hari mendengar, “Selamat pagi Pak izak. Ini saya Suni,” kata Mbak Suni memperkenalkan diri setiap kali merawat saya di ruang ICU. Pasien dianggap sebagai subyek dan dihargai dengan sangat baik. Memperkenalkan diri dan merawat dengan sabar menjadi bukti penghargaan terhadap kemanusiaan.

Mbak Suni dan tim tidak hanya memberikan obat. Juga, tidak hanya mengecek alat-alat bantu nafas. Mereka menjalankan fungsi keluarga. “Pasien Covid-19 ini sendiri, jauh dari keluarga. Kami keluarga mereka di sini,” jelas Mbak Suni. Ketika tidak sadar, telinga saya masih selalu mendengar kata-kata motivasi dan doa dari Mbak Suni dan tim perawat lain. Mbak Suni dan perawat lain hadir sebagai keluarga bagi saya di ruang penuh tangisan dan kematian itu.

Waktu kecil, ketika sakit, saya tidak pernah dirawat di rumah sakit. Fasilitas kesehatan di pelosok Pulau Seram, Maluku, waktu itu, sangat terbatas. Akses menuju kota hanya melalui laut. Pada Musim Timur dengan gelombang setinggi tiga – empat meter, rumah sakit hanya milik orang kaya di kota. Mama-Papa harus menjadi dokter, perawat dan orang tua pada saat yang sama.

Mereka memberikan obat, memegang tangan dan mendoakan. Perhatian keluarga menjadi semangat penyembuhan. Doa keluarga menjadi kekuatan pemulihan. Cinta dan doa keluarga dapat menyembuhkan ketika fasilitas kesehatan terbatas. Kasih tanpa rumah sakit mungkin menyembuhkan, rumah sakit tanpa kasih, mustahil memulihkan.

“Saya dan teman-teman perawat setiap pagi dan malam mengajak Pak Izak berdoa,” ujar Mbak Suni. Para perawat ICU RSUP Dr Kariadi ini menjalankan fungsi ulama di dalam ruang yang penuh bayang-bayang maut itu. Bagi semua pasien di ruang ICU itu, mereka ajak berdoa menurut agamanya. Tidak ada orang lain yang dapat mendoakan pasien. Hanya perawat. Mereka tiang doa terakhir pasien Covid-19 di ICU. Mereka adalah perawat dan ulama kami.

“Setiap hari pasti pasien kami ajak berdoa. Pasien kami berlatarbelakang beragam. Agamanya juga berbeda,” jelas Mbak Suni. Doa dan perhatian perawat ini memang menjadi kebutuhan bagi pasien Covid-19 di ICU.

“Saya harus bersahabat dan menganggap perawat adalah saudara,” kata saya pada diri sendiri sejak masuk ruang isolasi rumah sakit. Hanya dengan menganggap perawat sebagai keluarga, pasien Covid-19 tidak merasa sendiri dalam penderitaan di ruang ICU.

IMG 20210327 215557
Perawat Suniah menggunakan Hasmat dan Helm Kuning sebelum masuk ke Ruang ICU RSUP Dr. Kariadi, Semarang (Foto: Tim Perawat)

“Agama saya dan agama Pak Izak berbeda. Saya tetap berdoa dengan cara saya. Hanya itu cara yang saya tahu. Meskipun tidak sadar, saya minta Pak Izak berdoa juga dengan cara sendiri,” jelas Mbak Suni dalam sebuah webinar yang kami buat Oktober 2020.

Identitas agama Mbak Suni tidak terlihat oleh saya yang tidak sadar itu. Kalaupun sadar, identitas itu tertutup oleh Hasmat, baju pelindung tenaga medis. Pasien Covid-19 tidak peduli didoakan dengan cara apa. “Kami hanya mau sembuh dan bertemu dengan keluarga,” mungkin dalam keadaan tidak sadar itu yang saya pikirkan. Doa bagi kami bukan hanya tindakan spiritual. Doa adalah dukungan dan perhatian.

Persoalan kekuatan spiritual memang menjadi masalah bagi penanganan Covid-19 pada bulan Maret-April 2020 itu. Protokol kesehatan dan penanganan Covid-19 tidak mengenal aspek spiritual. Mulai dari pasien masuk rumah sakit, dirawat, sampai kembali ke rumah atau “rumah yang kekal,” tidak ada elemen agama. Protokol ini memang dibuat oleh ahli-ahli kesehatan dunia yang hidup dalam konteks pemisahan agama dan negara secara ketat.

“Setiap kali masuk ke ruang Rajawali, kami pasti khawatir,” jelas Mbak Suni. Perasaan ini sangat manusia. Semua orang takut pada virus mematikan itu. “Apalagi ketika sampai di anteroom. Kami harus berdoa lebih dulu,” lanjut Ibu dari beberapa anak ini. Anteroom ini adalah ruang antara lorong ruang Rajawali dengan tempat tidur para pasien. Tenaga medis biasanya berganti hasmat dan memakai semua alat pelindung diri sebelum bertemu dengan pasien.

Pada ruang batas hidup dan mati ini, perawat mempersiapkan hati . Masuk ke dalam ruang penuh dengan virus Covid-19 ini tidak gampang bagi tenaga medis. “Saya mengucapkan bismillah di anteroom sebelum masuk kamar pasien,” jelas Mbak Suni. Banyak tenaga medis yang meninggal dunia karena terinfeksi Covid-19 ketika bertugas.

Para pahlawan kesehatan ini mengorbankan diri dan keluarga. Meski menakutkan, pelayanan bagi pasien Covid-19, terutama di ruang ICU, harus tetap dilakukan.

“Pada anteroom ini, kami berdoa untuk keselamatan kami sendiri dan pasien,” tambah Mbak Suni. Perawat punya keluarga yang menunggu. Keluarga pasien juga menanti korban Covid19 ini di rumah. Ruang kecil bernama anteroom ini menjadi ruang penyerahan diri. Tenaga medis berserah sepenuhnya kepada Tuhan, Sang Pemilik Kehidupan. “Sebenarnya kami juga takut, tetapi kami saling menguatkan di anteroom,” lanjut Mbak Suni. Semua kekhwatiran ditinggalkan tenaga medis di ruang berukuran 2 x 2 meter itu.

“Di ruang anteroom kami juga mengingat kembali sumpah tenaga medis,” jelas Mbak Suni. Sumpah itu sesuatu yang tidak hanya keluar dari bibir. Namun, juga dari hati. “Saya akan membaktikan hidup saya untuk kepentingan kemanusiaan terutama dalam bidang kesehatan tanpa membeda-bedakan kesukuan, kebangsaan, keagamaan, jenis kelamin, golongan, aliran politik, dan kedudukan sosial,” begitu bunyi butir satu sumpah perawat. Sumpah itu ditutup dengan “Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan kepada saya. Komitmen perawat pada kemanusiaan dan Tuhan Sang Pencipta.

“Setelah memakai hamsat dan mengingat sumpah perawat, kami seperti mendapat energi yang menguatkan,” kata Mbak Suni. Komitmen perawat yang pada tahun 2020 telah mengabdi selama 11 tahun di RSUP Dr Kariadi, mewakili tenaga medis di rumah sakit ini. “Kami melayani pasien tanpa pandang latar belakang. Sumpah itu sudah menjadi bagian dari hidup kami,”tambah Mbak Suni. Tenaga medis menjadi harapan penyembuhan dan pemulihan di dalam perawatan dan doa.

(bersambung Senin)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button