Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan)
Pemilu 1997 merupakan penyelenggaraan Pemilhan Umum terakhir di masa Orde Baru (Orba). Tumbuhnya kesadaran kritis warga melalui kelompok-kelompok masyarakat sipil yang kian terorganisir dan terkonsolidasi, mewarnai pelaksanaan pemilu tersebut. Salah satu fenomena yang kemudian menjadi bagian dari sejarah politik dan demokrasi Indonesia, yakni hadirnya pemantau pemilu independen.
Kehadiran pemantau independen ini tidak ujug-ujug. Kritik terhadap Orba atas penyelenggaraan pemilu sebelumnya yang dinilai penuh rekayasa dan kecurangan, kerap disuarakan dalam forum-forum ilmiah, dan oleh narasumber kritis, terutama kalangan NGO dan pegiat HAM.
Narasumber tipe ini jadi langganan media massa. Disebut langganan, karena suara keras dan kritis sangat disuka oleh media. Apalagi masih relatif jarang orang yang bersuara vokal di era rezim otoritarian, kala itu. Statement mereka biasanya kuat, kaya dengan kosakata dan istilah yang menarik untuk jadi judul dan lead berita.
Di media penyiaran, tak terkecuali juga merasakan tekanan penguasa. Misalnya, kontrol dan represi diberlakukan dalam bentuk wajib relay, pelaksanaan radio/TV pool, black list terhadap tokoh tertentu untuk tidak dijadikan narasumber, dan praktik sensor yang berlebihan. Paling terasa itu, kalau akan ada pengumuman terkait kebijakan tertentu, maka bersiaplah untuk mendengar penjelasan panjang dari Menteri Penerangan (Menpen), Harmoko.
Relay siaran dari RRI, seperti ketika Menpen menyampaikan pengumuman kebijakan pemerintah, bukan saja membuat radio-radio swasta tidak bisa memutar lagu, tapi juga tidak bisa menayangkan iklan dari mitranya.
Dapat dipastikan, penyiar yang bertugas akan kelimpungan, dan terpaksa “menyate” pemutaran iklan dari klien yang menjadi sumber kehidupan radio-radio swasta tersebut. Relay bisa berupa paparan rencana kenaikan harga bensin, terkait harga komoditas pertanian, atau situasi di jalur pantura (Pantai Utara) Jawa, saat mudik Lebaran.
Begitulah realitas media penyiaran di masa Orde Baru. Tak cukup bebas berkreasi bilamana bersentuhan dengan tema-tema politik. Produk legislasinya belum mendukung. Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran belum ada.
Tak heran bila jauh sebelum penyelenggaraan pemilu 1997, suara-suara kritis sudah dilantangkan. Paling disorot adalah menyangkut pemberlakuan 5 paket undang-undang politik. Regulasi yang dianggap biang dari praktik politik manipulatif ini, selalu didesak untuk diiganti.
Kelima UU paket politik dimaksud, yakni: 1) UU No 1 Tahun 1985 tentang Pemilu; 2) UU No 2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, dan DPRD; 3) UU No 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya; 4) UU No 5 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila; dan 5) UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tujuan regulasi ini dimaksudkan agar pemerintah Orba dapat memperkuat perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kehadiran pemantau pemilu independen bukan cuma karena didorong oleh kondisi Tanah Air, tapi juga karena ada gema dari negeri tetangga yang resonansinya sampai ke Indonesia. Letupan yang terjadi di Filipina, yang mampu menumbangkan pemerintahan otoriter Ferdinand Marcos, menjadi contoh kasusnya.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi