Pemilu Indonesia tahun 2024 bukanlah pemilu iklim
Kami juga menganalisis usulan visi dan misi dari ketiga calon yang mereka ajukan ke KPU. Tidak ada yang terlalu memperhatikan perubahan iklim dan pelestarian lingkungan.
Dengan memindai dokumen visi dan misi ketiga kandidat untuk empat kata kunci (“lingkungan”, “iklim”, “ekologi”, dan “energi”), kami menemukan bahwa kata-kata tersebut hampir tidak disebutkan (sekitar 1 persen).
Kandidat Ganjar-Mahfud paling banyak menggunakan kata-kata tersebut (47 kali) (1,09 persen), disusul Anies-Muhaimin sebanyak 44 kali (0,6 persen), dan Prabowo-Gibran sebanyak 44 kali (0,58 persen).
Dokumen-dokumen tersebut menunjukkan bahwa isu perubahan iklim dan lingkungan hidup bukanlah sebuah prioritas, meskipun masyarakat jelas merasakan ancaman dan dampak perubahan iklim.
Berdasarkan pantauan pemberitaan masing-masing kandidat , perubahan iklim, isu lingkungan hidup, dan transisi energi terutama terkait dengan buruknya kualitas udara Jakarta dan urgensi kendaraan listrik.
Kebanyakan kandidat hanya menyentuh masalah umum ekonomi hijau dan panel surya. Tampaknya tidak ada seorang pun yang benar-benar mendidik masyarakat tentang perubahan iklim atau menyatakan janji-janji untuk memecahkan masalah.
Dampak perubahan iklim dirasakan oleh semua orang, mulai dari desa hingga kota. Di perkotaan, polusi udara berdampak pada penduduknya, sedangkan di daerah terpencil, kekeringan dan gagal panen terus menjadi ancaman.
Namun, dalam debat calon wakil presiden mengenai perubahan iklim , mereka tidak menyinggung penyebab utama perubahan iklim yang dihadapi Indonesia, seperti penggundulan hutan , pembalakan liar , dan pertambangan .
Pemilihan presiden Indonesia sejauh ini gagal mengenal isu lingkungan hidup.
Daripada memasukkan isu-isu iklim dalam agenda mereka, para politisi lebih memilih untuk mempekerjakan influencer dan tampil di platform media sosial kontemporer (TikTok dan Instagram Live) untuk menarik pemilih baru yang lebih muda.
Ketika mereka benar-benar mengatasi permasalahan yang ada, kemungkinan besar mereka akan melakukan hal-hal yang lebih populis seperti makanan gratis untuk siswa prasekolah, kenaikan gaji guru, atau subsidi keuangan langsung untuk perempuan hamil.
Kurangnya diskusi dan perdebatan tentang perubahan iklim terutama disebabkan oleh prioritas politik, kekhawatiran ekonomi, dan sikap politik saat ini terhadap masing-masing kandidat dan seringkali lebih diutamakan daripada pertimbangan lingkungan hidup jangka panjang.
Ika Idris adalah profesor madya di Program Kebijakan & Manajemen Publik, Monash University Indonesia.
Derry Wijaya adalah profesor madya di Program Ilmu Data, Monash University Indonesia.
Eka Permanasari adalah profesor di Program Desain Perkotaan, Monash University Indonesia.
Ketiga penulis tersebut merupakan peneliti di Monash Climate Change Communication Research Hub, Indonesia Node.
Awalnya diterbitkan di bawah Creative Commons oleh 360info ™.
IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi