Pendapat

Membincangkan Perubahan Kebudayaan: Pentingnya Contoh dan Perlunya Pembakti

Oleh: Falantino Eryk Latupapua (pengajar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pattimura Ambon)


Hari ini saya mendapatkan kesempatan berharga berbincang dengan Upu Atus Leleury dan Ina Joan Raturandang/Leleury di kediaman pribadi mereka di daerah Karai, Desa Amahai, yang berjarak kurang-lebih tiga kilometer tempat saya tinggal selama melakukan riset di Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah.

Pertemuan ini memang dimaksudkan untuk menggali data, yang berkaitan dengan konteks penelitian disertasi saya, berdasarkan perspektif beliau sebagai mantan Wakil Bupati Maluku Tengah, selama dua periode sejak 2012 sampai 2022.

Selama hampir tiga jam, saya terkagum-kagum, menyaksikan bentangan alam yang begitu menakjubkan dari rumah mereka. Pemandangan Teluk Elpaputih hingga Tanjung Kuako di Desa Amahai yang memesona, bagaikan dipagari oleh gugusan Pulau Nusalaut, Pulau Saparua, dan Pulau Haruku.

Lebih dari itu, saya sungguh-sungguh menikmati percakapan yang kaya akan wawasan dan nilai-nilai tentang optimisme dan positivitas. Baik dari Bapa Atus maupun Ibu Joan, demikian mereka biasanya disapa. Pikiran-pikiran mereka mengalir lewat tuturan yang lembut, ringkas namun visioner, dengan bahasa yang tertata dengan baik.

Pada beberapa menit awal kami berbagi kegelisahan yang sama tentang nilai-nilai budaya, yang semakin berubah karena kecenderungan mengagungkan anasir kebudayaan asing, yang belum tentu bermakna bagi kita.

“Generasi muda di Maluku hampir kehilangan role model. Di rumah-rumah kita, orang-orang tua sering tidak menjadi contoh yang baik tentang hidup yang bernilai. Anak-anak kita sering dibiarkan bertumbuh tidak dengan warisan nilai yang sebenarnya sudah mengajarkan kita tentang caranya bertutur, bersikap, dan bertindak,” demikian Bapa Atus bicara tentang pandangannya dengan nada prihatin.

Tidak jauh berbeda, Ibu Joan mengartikulasikan perspektifnya sebagai “orang luar” yang mengalami gegar budaya ketika pertama kali harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dalam kapasitasnya sebagai istri wakil bupati, pada waktu itu.

“Saya beruntung punya banyak pengalaman berinteraksi dengan orang-orang di dalam lingkungan kerja sebelumnya. Saya rasa kunci keberhasilan dari persentuhan antarbudaya adalah kemauan membangun persepsi yang positif dan saling menghidupkan, serta melakukan upaya terus -menerus untuk belajar satu sama lain. Budaya kita ini kaya, tetapi kadang kita sendiri tidak sadar akan keberadaannya,” tutur Ibu Joan.

Kegelisahan kami ini tentu tak jauh berbeda dengan kegelisahan banyak orang lain, yang menaruh perhatian atas nama kecintaan terhadap kebudayaan Maluku.

Banyak orang gelisah tentang bahasa daerah yang punah, tradisi-tradisi yang tidak lagi mengakar, lambang-lambang budaya yang sakral berubah menjadi profan dan atributif, serta generasi muda yang menafikan warisan nilai yang “menghidupkan” karakter kelompok masyarakat tertentu selama berabad-abad.

Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, secara tidak disadari, kita belum secara sungguh-sungguh memperlakukan kebudayaan sendiri sebagai jiwa, serta menghayati dan mengamalkan maknanya. Kebudayaan kita menjadi sekadar pemuliaan atas tradisi-tradisi serta pengagungan simbolik yang semu dan sementara.

Dalam situasi yang demikian, diperlukan orang-orang yang “rela” memberikan dirinya untuk mengabdi dan menularkan kecintaan terhadap budaya melalui serangkaian aktivisme yang bisa digerakkan mulai dari diri sendiri, maupun dilakukan setelah digerakkan dari luar oleh pihak lain.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2Next page

Berita Serupa

Back to top button